Judul buku : Demokrasi Keintiman,
Seksualitas di era global
Penulis : Ratna Batara Munti
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : Mei 2005
Tebal : xiv+256 halaman (indeks)
Buku ini mengingatkan pada satu karya penting Anthony Giddens, the transformation of intimacy, 1992, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Diuraikan di situ bahwa seksualitas modern menandai era baru yang disebutnya sebagai seksualitas plastis (plastic sexuality), ketika akselerasi seks berkembang tidak berbatas pada hubungan reproduksi, yakni sebatas soal bagaimana mengatur keturunan atau kepantasan perjumpaan penis dan vagina (sexual intercourse).
Lebih dari itu seks telah menggelembung menjadi wacana yang direproduksi secara heterogen, dialektis, dan diapresiasi hampir tanpa lagi terbatas oleh legalitas dan hiruk-pikuk ritual perkawinan. Batas-batas larangan wicara seks perlahan-lahan bergerak secara evolutif dan revolusioner, dan sedang mengambil ruang liar yang merasuk menjadi komodifikasi hiburan (rekreasi), di mana setiap orang tidak lagi susah payah mencari realitas seks rekreatif.
Seksualitas plastik adalah cara apresiasi seks yang melintasi ambang batas normalitas-abnormalitas dan perayaan emansipasi praktik seks dengan beragam manifestasi kenikmatan (pleasure) tanpa batas dogma heterokseksualitas. Di mana pembenaran biologis bagi heteroseksualitas sebagai normal menjadi kepercayaan yang dianggapnya sebagai tradisi kelaziman, telah runtuh. Begitulah, heterosentris bukan lagi dogma apresiasi baku untuk memperoleh kenikmatan seksual, ia telah jauh dari tuntutan reproduksi, suatu bentuk seksualitas yang tidak terpusat (decentred sexuality) (hlm. 61).
Dalam buku ini, dijelaskan dunia tidak hanya berbalik, tetapi ragam alternatif yang berkaitan dengan orientasi seksual diperluas melalui cara emansipasi dan pluralitas-inklusif bagai perayaan baru ditemukannya sebentuk kaidah bahwa seks adalah kenikmatan, tanpa ada penetrasi berkedok pembakuan kinerja dua kelamin an sich yang heterosentris.
Seks bukan sebagai hal yang semata suci dan disakralkan, namun kehadirannya perlu untuk dihormati sebagai representasi hidup manusia. Itulah fenomena seks yang sudah menjadi mainstream global.
Kaidah-kaidah seks juga ikut didaur ulang dan dihadirkan dalam kerangka revolusi dan pembaruan cara pandang yang membebaskan. Karena seks adalah dunia plural yang memanifestasikan berbagai filosofi, pilihan hidup, wacana, atau representasi identitas yang mencerminkan adanya kekuatan self-awareness, self-knowledge, dan kontemplasi (hlm. 16). Ia hadir dalam bentuk refleksi kritis dalam beragam gaya hidup, politik tubuh atau gugatan atas wicara agama klasik ke pilihan hidup kontemporer dan membebaskan.
Perhelatan revolusi seks muncul berkaitan dengan menguatnya gerakan feminisme yang menolak represi seksisme dari kerja dominasi tradisi yang berpusat pada penis (phallosentris) sebagai biang penindasan perempuan. Seksisme yang eksploitatif terhadap perempuan bukan buah determinisme biologis adanya pembeda kelamin laki-laki dan perempuan sebagai takdir, namun penindasan itu adalah buah konsep seksualitas yang lahir dari konstruksi politik laki-laki. Uraian ini merujuk pada pemikiran pos-strukturalis Simone De Beauvoir, perempuan adalah produk imajinasi untuk kebutuhan dimiliki dan ditindas. Dan kenyataannya perempuan tidak pernah dibebaskan oleh masyarakat dari kebutuhan laki-laki, nafsu dan hasrat dalam melanjutkan keturunan yang selalu mereproduksi ketergantungan laki-laki dalam pemenuhan kesenangan seksnya terhadap perempuan (hlm. 50).
Inti kasus ini bahwa para feminis sedang menggugat dan mempersoalkan relasi kekuasaan dari relasi seksual. Seperti menolak praktik poligami yang dibahas di agama, Islam khususnya surat an-Nisa’ ayat ketiga atau mendesakralisasi keperawanan yang mendisiplinkan kelamin perempuan pada batas simbol kesucian untuk kemudian berusaha mencapai kesetaraan seksualitas.
Demokrasi keintiman dimaksudkan sebagai salah satu cara pandang emansipatoris yang menandakan dimulainya pembebasan perempuan dari ruang seksisme yang meletakkan tubuh dalam fungsi subordinasi laki-laki.
Pluralitas seksual adalah sisi lain bagi terbukanya penerimaan keramahan akan realitas subaltern seperti homoseks, gay, lesbian, waria, hidup melajang, menjadi wanita single parent atau budaya baru hidup bersama sebelum nikah (seks-pranikah). Semua mempunyai nilai dan komitmennya masing-masing. Seks itu pilihan. Setiap diri berhak memutuskan untuk memilih kesukaan dan tanggung-jawab mengenai seksnya. Apakah ia akan memilih kawin, menundanya, atau memutuskan untuk melajang cukup lama, semua bebas dari klaim bipolar kenormalan dan abnormalitas.
Begitu juga istilah perawan tua, hal ini tidak lagi menjadi salah satu muara bagi gagalnya perempuan dalam mencari pasangan atau perempuan dianggap tidak laku ketika tidak bersegera menikah. Keputusan ini merupakan hak bagi setiap orang. Ia bagian dari dunia eksistensial adanya fenomena persamaan seksualitas. Kesimpulan fenomenal tersebut memunculkan satu pandangan bagi perempuan bahwa "tidak ada yang “salah” pada diri mereka dan menjadi orang yang “berbeda” adalah pilihan” (hlm. 188).
Inilah efek dari seksualitas global. Demokrasi keintiman tidak hanya merubah pandangan, tetapi motivasi, orientasi, sikap, tujuan atau praktik seksualitas yang jauh melampaui kaidah-kaidah konvensional seperti disebut dalam bab tiga sebagai titik berangkat dari adaptasi hingga resistensi (hlm. 171-234). Buku ini kemudian merajut arena baru seksualitas dan gaya hidup seseorang dalam mengafirmasi pilihan seksualnya dan pengayaan untuk menoleransi perbedaan seksual.
Perilaku perselingkuhan kemudian juga ikut meluas. Perselingkuhan tidak identik dengan peluang laki-laki bermain dengan WIL (Wanita Idaman Lain). Perempuan juga mempunyai peluang sama untuk berselingkuh atau punya PIL (Pria Idaman Lain). Di sini dalam mengukur kesempatan atas hak, harkat dan martabat seksual sudah dipandang sebagai kegiatan yang ter-gender mainstreaming .
Pergeseran area tindak dan pandangan seksual telah menjauhi sistem kekerabatan yang diikat dalam bentuk perkawinan. Buku ini mengulas bagaimana ragam seksualitas menjadi sebentuk paradigma globalisme yang memuat relativitas pemaknaan dan fungsi-fungsi seksual manusia melampaui batas-batas dogma seksualitas konvensional. Tidak jarang dampak ini juga membawa ambiguitas ketika seksualitas tidak dipahami dalam konteks demokrasi keintiman karena pakem bagi proses seksualitas telah memudar dari tradisi kelaziman.
Lantas apakah munculnya pandangan menoleransi ragam dan relativitas seksualitas global ikut memudarkan nilai-nilai konvensional reproduktif dan dengan demikian terjadi semacam degradasi perkawinan ? Buku ini yang akan menjawab sembari mengurai problem epistemologis, advokasi paradigmatik dampak seksisme maskulin dari aliran feminisme dan ragam pandangan relativitas seksual yang menjadi kecenderungan baru model interpretasi sikap, nilai, atau perilaku seksual global.
M O H A M M A D M A H P U R
Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang
No comments:
Post a Comment