Sunday, April 15, 2007

Kelaminku karto domino

Kelaminku Kartu Domino
“Tak usah mencari kebebasan dengan kelaminmu. Tak usah mencari-cari kenikmatan terhadap senggamamu jika kau tak ingin mati kena AIDS atau belum siap terjangkit HIV. Ini adalah monster jelmaan malaikat sebagai pertanda bagi mereka yang suka bermain-main dengan kelaminmu, tanpa ikatan jelas”.
Begitu para penda’i biasa membuat joki-joki untuk menjelaskan betapa besar dosa kesalahan tempat bagi kelaminmu. Kelaminmu telah kamu jaja ke setiap pria yang kamu jadikan mainan domino tanpa hubungan yang aman.
“pake kondom gitu lo..”
Itulah saran yang aku sampaikan pada mahasiswaku. Apa yang menjadi pertimbangan dari saran saya ini karena banyak wanita hanya menjadi korban dari permainan lintas kelamin ini.
Jam 09.00 wib, usai aku memberikan kuliah mengenai “otoritas kelamin dan hegemoni patriarkhi,” mendadak ada mahasiswa tersingkuh memberhentikan langkahku.
Langit mendadak merah. Udara menjadi panas 360 C. Kemarau merubah suhu udara di setiap pojok-pojok dinding tempat kuliah. Lantai dua tempat saya kuliah bergetar, bergunjang. Gempa bumi.
“wah bumi ikut bergetar, mengapa ya…”, saya mencoba menyadari peristiwa ini
Suara lirih mau menangis kemudian ikut menyahut disela-sela gempa bumi dan mahasiswi itu berseloroh,
“ustadz…aku ingin ngomong tentang kelaminku……”
“ha……”, perasaanku seolah penat dan kiamat, menambah deret panjang kemarau yang mendadak datang lebih cepat dan sangat ganas, gempa bumi yang mengingatkanku pada tsunami di Aceh beberapa waktu lalu menjadikan aku sangat cemas. Kata-kata kelamin itu menambah guncangan batinku, dan memberhentikan nafas yang sedikit terengah-engah karena habis pidato kuliah terakhir hampir 3 jam lamanya. Tenggorokan menjadi kering dan sedikit saya terbatuk-batuk. Aku menjadi gelisah bukan kepalang. Aku kemudian menyahut dengan sedikit memaksa menghentikan batukku untuk sedikit aku ingin empati pada mahasiswiku ini, yang mencoba memecah himpitan persoalan kelaminnya.
“Sudah berapa kali kau bermain dengan kelaminmu?”
Langsung aja saya menyekak pembicaraannya, tanpa pikir panjang, karena saya sebelumnya sudah tahu persoalan kelaminnya beberapa semester yang lalu.
Tanyaku dengan nada agak gemetaran karena takut aku juga tertarik dan jatuh ikut memainkan kelaminnya. Sedikit aku merenung, membuat logika, mencari dalil….tapi tak juga ada yang berhasil aku recall dari memoriku. Pembicaraan dia telah mengambil alih kemampuanku. Ilmuku menjadi mati suri, dalilku hilang tak sedikitpun aku dapat mengingat, kesadaranku lepas landas. Oh…kayak negeri bergolak.
“Oh…tidak,” saya mencoba merehabilitasi syahwatku dengan imanku.
Itu hanya imajinasi syahwatku saja. Apapun batasan status, urusan kelamin adalah freedom, tergantung mau apa endak kita memanfaatkan apa yang nyata-nyata ada di depan mata. Tinggal merayu, sedikit menyentuh, dapatlah dikau. Inilah tarian imajiner kelaminku yang telah difasilitasi oleh nalar dan otak nakalku. Didepanku mahasiswi bicara kelaminnya. Sosok di depanku dengan wajah putih kemerah-merahan, hidungnya sedikit mancut, tapi tak semancung syeikh Iran yang pernah berkunjung di kampus ini. Pakaiannya tidak seketat mahasiswi di Jogja. Tapi tubuhnya memang menarik untuk ukuran-ukuran rata-rata. Tidak terlalu tinggi. Tapi karena sepatu jinjit-nya, seolah dia model busana muslim yang pernah aku tonton. Menarik dan sangat serasi dandanannya. Sedikit ia menggeser jilbabnya entah tanpa alasan yang tidak masuk akal setelah aku amati. Nampaknya hanya sebagai iseng untuk mengalihkan perhatian karena aku dan dia saling memandang sedikit terkejut.
Sedikit mau menangis mahasiswa ini. Sembari menjawab pertanyaanku tentang kelamin tadi, Ia sering dipanggil Ning. Sebuah sebutan yang memang ia berhak mendapat gelar itu.
“sudah yang kesepuluh kali pak”.
“Sepuluh!”
Jawabku dengan cepat, penuh dengan refleks, seperti aku sedang menangkis tendangan lawanku dengan kecanggihan tangan ini ketika sedang sabung dikala latihan pencak silat, olah raga kenanganku.
Aku agak terheran tetapi berusaha menangkap berita ini dengan situasi jiwa yang enjoy-enjoy aja, seolah itu wajar, bisa dimengerti, bahkan bisa disadari dengan sepenuh hati jika menengok derita ia sehingga ia tidak lagi sanggup mengontrol anarkhi kelaminnya.
Begitulah aku mencoba mengerti dan ingin meletakkan masalah dia dengan duduk perkara yang ia tanggung. Karena jauh hari aku sudah mendengar derita dia tentang kelaminnya.
Aku tak ingin mengata-ngatai bahwa perbuatan itu zina, dosa besar dan apalagi kamu nanti akan masuk neraka. Aku bukanlah tuhan, tetapi manusia. Aku tak ingin menuhankan tatanan yang biasa dijadikan alat legitimasi kuasa, persis seperti pimpinanku di lembaga ini.
Aku hanya mengajarkan pada dia sebuah cara kerja ilmu pengetahuan, karena dia adalah mahasiswaku 2 semester. Dan sebuah cita-cita bagi masa depan itu juga penting, karena disitulah kita bisa menghibur diri menanti kematian yang mesti terjadi.
Kembali aku konsentrasi mendengarkan dia bercerita.
“Bapak, sampean yang terlanjur mendengar kisah saya ?”
Ia tidak lagi memanggil ustadz. Katanya panggilan bapak lebih enjoy dan sedikit meringankan beban dosa dia. Ya…aku diam saja mendengar rasionalisasi itu. Justru aku buat dia bisa berasosiasi bebas.
“Iya, memang kenapa……”
Saya menyahut sedikit berempati dan mataku menatap ia yang sedikit membenahi jilbabnya yang seolah-olah mau aja dicopot, kemudian dikembalikan, tetapi sangat tidak rapi, ditarik kedepan, dirapikan kebelakang. Sebuah pemandangan yang mencerminkan suatu kegelisahan. Disusul sedikit kemerah-merahan di matanya, tetapi ia berhasil menarik kembali keinginannya untuk menangis. Wajahnya kembali normal, tindakannya yang kadang hilang kontrol kembali terkendali. Jilbabnya kembali tertata rapi.
Dialog kembali terjalin.
“Bapak masih ingatkan!” Sahut dia agak sedikit tersipu.
“Ingat apa ?”
Saya mencoba mencari-cari memori saya yang sudah tertumpuk dengan rutinis pengajaran, peraturan sebagai dosen baru yang detail, rumit, dan ideal, sambil iseng melihat-lihat tugas akhir final mahasiswa saya, termasuk tugas dia.
“sebentar,
“saya emang ingat apa yang kamu tulis pada saya semester lalu”. Saya mencari-cari kamu dan ingin meluangkan untuk membincang masalah kamu.
Sedikit aku berpikir agak panjang.
“tapi ini lo… takut-takut, saya nanti dibilang mencintai kamu, seperti gosip-gosip yang marak dikampus ini”, itu tu.. ada dosen yang tertarik dengan mahasiswa yang itu..tu…dosen yang seringkali memaksa mahasiswanya memanggil mas..itu”, yang suka meminta mahasiswanya menemani nonton sinepleks di Sarinah”.
Begitu aku sedikit memelankan pembicaraan pada dia.
“Oh iya, aku ingat Fat,”
demikian biasa ia aku panggil dengan nama singkatnya dari potongan nama yang cukup panjang, Fatimah Al-Zahra’ al-Akram. Sebuah nama yang cukup indah, yang menurut penurutan dia, itu adalah nama yang diberikan oleh Abahnya. Sembari saya mengingat dialog dengan dia beberapa waktu yang lalu demikian,
“Kok kamu memanggil abah, memang kamu anaknya kyai fat”. “
“Gimana sih bapak ini, aku kan udah bilang bahwa ada banyak temen-temen yang memanggil saya Ning, ya jelas to pak…., saya ini anaknya Kyai”.
“Wadalah dalah…….” Tanpa aku teruskan kalimat ini.
Kembali aku menyadarkan diri dari recalling memory.
“Oke, coba saya bantu mencari pemetakan untuk mencari jalan keluar atas semua persoalan kamu ini”.
“Iya pak…tolonglah saya pak, saya mau menghentikan fungsi kelamin ini yang sok nakal”.
“ngGletek Pak”
“apanya yang nggletek,” sahut saya menimpali pembicaraan dia.
“laki-laki itu sama saja, ya…….”, dilihat pembicaraannya dia alim, pinter, kopyahan, ceritanya sering pergi berjamaah ke masjid di dekat kosnya, tetapi sedikit aku sodori kelaminku, ia udah mengajak saya ke hotel, ya…tak ladeni…”.
Sedikit Fatimah bertutur agak meninggikan suaranya, seolah menunjukkan bahwa sayalah pendekar dari hidup ini. Ia juga hendak mengatakan, laki-laki itu telah tunduk padaku, lelaki pengecut berdarah agama berkelamin setan. Inilah kata-kata yang disembunyikan Fatimah rapat rapat, tetapi berkat ilmu ma’rifatku, yang dulu pernah aku pelajari telah menginformasikan kata-kata itu yang berhasil aku tangkap persis tanpa sedikit yang tertinggal.
Inilah mata batinku telah bekerja otomatis, tidak usah saya membaca mantra dari surat Jin ayat 32 di al-Qur’an yang dulu sempat aku wiridkan 3 tahun terus-menerus, informasi itu seolah langsung datang sendiri tanpa saya memintanya, apalagi harus dulu saya berniat ingin menerawang dia, informasi itu telah mendikte aku secara paksa, tidak kenal kompromi, seolah itu yang benar. Aku juga kadang bingung dan takut sendiri atas peristiwa itu.
“Apakah ini gara-gara saya menjalani laku batin puasa daud, ketika masih muda dulu ya…”, tanyaku dalam hati. “Entahlah! memang itu yang terjadi.
“Pak…!” Fatimah agak kencang memanggil saya.
Maklum saya larut dengan rasa penasaran keanehan dalam diri saya itu.
“e..e..eh, sorry ya….?”
“Nglamun ya pak.”
Dia mencoba merebut pembicaraan dan seakan memaksa saya untuk mengakui bahwa saya betul-betul melamun.
“Pak…”, aku sudah berusaha mencari orang untuk aku cintai pak, tetapi kadang itu gagal”.
“Setelah saya berhasil making love dengan pacarku, kejenuhan itu muncul, dan udah..aku tinggal laki-laki itu. Tapi saya kadang ketagihan dengan domino kelaminku pak”, lantas aku cari mangsa berikutnya untuk memainkan kelaminku ini…”.
Saya kemudian bertanya kepadanya, “jadi udah berapa kali, u main-main dengan kelaminmu ?”.
“sebelas kali pak”.
“Lo….. tadi udah saya saving dengan jari ini, katamu udah sepuluh kali”.
“Itukan yang dulu pak!, sebelum satu tahun ini ketika saya udah mendapat pacar yang berjanji sanggup menikahi saya, yang saya pikir dengan cinta saya ini, kelamin saya bisa saya jinakkan, tetapi....gimana pak…saya gagal lagi…”.
“Apanya yang gagal Fat” sahutku dengan cepat.
“Kelaminku ternyata masih suka menjadi kartu domino”. “Setiap ketemu pasangan, selalu saja bersambung kembali, tidak ada kartu matinya pak..”.
“ha..ha…ha…., kamu ini kok lucu”, begitu saya menimpali dialog ini, sambil sedikit punggung saya terguncang karena tertawaku.
“Sorry-sorry”, aku melanjutkan pembicaraan.
“ngomong-ngomong kamu pake kondom ndak”.
“Ndak sempat pak,”
“wah…?, cobalah kamu pake kondom, biar kelaminmu aman dari malaikat yang menaburi benih AIDS dari laki-laki berkelamin setan itu ?, Laki-laki bisa enjoy, tetapi kamu jadi korban. Kamu akan distigma oleh masyarakat nanti, sedang kalau laki-laki, aman-aman saja. Ini nanti bias jender lo….” begitu saya terangkan dia sedikit agak ilmiah dan sedikit saya mengingatkan dia akan kuliah tentang “seksualitas dan gaya hidup metropolitan” pada pertemuan yang ke-3 dari silabi yang telah aku susun untuk keperluan mata kuliah psikologi sosial.
“Tolong jika kamu belum bisa menghentikan kebiasan itu, pake kondomlah”.
“pak, sorry ya..saya tak masuk kuliah dulu”. Ia segera mengakiri pembicaraan ini.
“Ok!” Aku mencoba mengerti dia hendak menyambung ke jam kuliah berikutnya dan sedikit telat karena cerita ini.
“saya juga mau ada rapat ni……”
“semoga tuhan memberi rahmat”.
“Ya pak!”
Dia berbalik arah membelakangiku, belum sampai melangkah dia membalik badan dan memandangiku seolah masih ada setumpuk persoalan pada kelaminnya. “Promise ya pak! Langsung aku jawab, “Oke”. Dia ngacir mengejar jam kuliah yang sedikit terlambat, aku juga lari-lari kecil karena ada tanggungan rapat di universitas.

No comments: