Monday, September 22, 2008

warta buku


Nasehat Bermazhab dan Bermasyarakat Mbah Hasyim

Keterangan buku :
Judul : Wejangan Hadratus Syaikh Mbah Hasyim Asy’ari (Terj. dari At-Tibyan, fi nahyi an-muqatha’ati al arham wa al ikhwan) ; Penulis : KH. Hasyim Asy’ari; Penerbit ; Pondok Pesantren Tebuireng Jombang; Cetakan : 2007; Tebal : 106 halaman.

Nahdlatul Ulama memiliki pilar kehidupan yang bertumpu pada nilai-nilai historis dan keagamaan dalam meletakkan dasar bersikap dan tatalaksana dalam bermasyarakat. NU hari ini tidak hanya mewarisi model atau figur sentral melalui tokoh kharismatik yang dita’dzimi tanpa alasan. Mereka dita’dzimi juga karena faqih fi al-din dan memiliki keteladanan dalam berjejaring sosial, menumbuhkan semangat juang bagi pencapaian watak membangsa yang eksotik, damai, dan menyetahterakan bagi masyarakat di mana para kyai itu menghidupi komunitasnya.

Namun demikian khazanah pewarisan tradisi orang NU masih terbatas pada model simbolik melalui tradisi sowan, nyekar/ziarah ke makam para salih atau model gelar haul. Kita belum begitu banyak mela-kukan penjelajahan terhadap pernik pemikiran dan gagasan beliau terkait dengan sumber inspirasi keagamaannya dan kemasyarakatannya kecuali hanya sedikit terbatas di pesantren dengan mengaji kitab-kitabnya.

Kitab ini di kalangan pesan-tren tidaklah asing. Tetapi bagi warga di luar pesantren kitab ini perlu sekali dibedah dan didiskusikan lebih lanjut agar warga awam mengenal pemi-kiran pendiri NU secara lebih men-dalam terkait dengan visi keagamaan dan kebangsaan-nya.

Mbah Hasyim memberikan beberapa pedoman bagi warga nahdliyin dan masyarakat muslim. Dalam mengambil jalan bermazhab umat Islam agar tidak terjebak dalam bermazhab yang kaku dan monologis tetapi membuka sikap toleran dan bijaksana.

Mbah Hasyim mencontohkan bagaimana sikap fleksibilitas dan menghormati perbedaan pendapat pada masalah far’iyyah dengan begitu arif antara Abu Hanifah dan Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dengan gurunya, Imam Syafi’i.

Sikap bijak Imam Syafi’i yang tidak menggunakan qunut selama menginap di qubah (arena pema-kaman) Abu Hanifah. Ketika ditanya muridnya, Imam Syafi’i mengatakan “karena Imam Abu Hanifah tidak menghukumi sunah tentang membaca qunut, sehingga aku tidak qunut karena menjaga tatakrama dengan beliau” (Hal. 35).

Mbah Hasyim mengingatkan juga bahwa ketika zaman sudah jauh dari Nabi dan ketika amanat banyak diabaikan maka masyarakat muslim tidak boleh berpedoman kepada ulama su’ (jelek) yaitu qadli yang menyim-pang dari kebenaran, para juru fatwa yang mengumbar hawa nafsu. Beliau menyarankan agar bermazhab berdasarkan Imam empat (Hana-fi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali).

Keempat ini juga direko-mendasikan oleh ulama’ mazhab Syafi’i karena terjaga sanadnya dan dengan demikian terjaga aqidahnya dari perubahan dan pergantian dan yang shahih dari yang dhaif (Hal. 74-76).

Dalam kehidupan bermasya-rakat, beliau merujuk pada qaul Ali KW. “Sesungguhnya kebenaran akan lemah sebab perpecahan dan per-sengketaan, dan kebatilan kadang-kadang menjadi kuat dengan persatuan dan kemufakatan”(Hal. 58).

Begitulah, bahwa dalam kehi-dupan bermasyarakat kita disa-rankan untuk membangun persaudaraan dan tidak meme-lihara perpecahan.

No comments: