Thursday, May 10, 2012

Melukis Itu Membebaskan Imajinasi

Aktifitas melukis
di Zona Car Free Day
Metanarasi. Minggu ini (25/03) saya melaju untuk merenggangkan syaraf dan berolah raga sembari menyemarakkan Free Car Day (FCD) yang sudah digagas Kota Malang sepanjang jalan Ijen Kota Malang. FCD menjadi mode wisata baru di kota Malang yang lambat laun mewadahi subkultur Malang kedalam geliat kebudayaan sub-urban.

Di Minggu ini saya mengayuh sepeda lipat menuju iconnya kota Malang, yakni Jalan Ijen. Kegiatan minggu seperti ini memang menjadi alternatif bagi sebagian warga urban seperi saya ini, meskipun tidak rutin.

Kegiatan yang semula ke pasar minggu bersifat konsumtif karena hanya tertuju pada wisata belanja di pasar minggu. Namun sejak diberlakukan Car Free Day, geliat komsumtif terpecah menjadi wisata budaya karena jalan Ijen yang semula terisi lalu lalang kendaraan bermotor diganti sebagai ruang publik dengan beragam dinamika komunitas sub-urban yang berkelompok berdasarkan identitas masing-masing serta unjuk kebolehan dari masing-masing komunitas. Jalan Ijen menjadi jalan yang atraktif.

Satu dari sekian komunitas yang berkumpul adalah komunitas pelukis yang dikomandani oleh Ali. Begitulah sosok berambut grondong itu mengenalkan namanya ke saya saya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali, setiap minggu mulai jam 7.00 WIB di tempat ini berkumpul sekelompok anak-anak yang meminati dan mengembangkan bakat melukis. Mereka bersama-sama mengekspresikan imajinasi mereka kedalam goresan kanvas. Selain anak-anak, ada pula para pemuda yang meminati dan ingin belajar melukis. Mereka hadir dari berbagai latar belakang. Mereka sebagian besar datang justru bukan dari mahasiswa jurusan seni.

Perkumpulan yang saya lihat di CFD tersebut mengundang ketertarikan saya untuk lebih mengenalnya. Mereka bergulat mengkreasikan imajinasinya dan terus melatih ketrampilan tangannya menggoreskan tinta hitam ke selembar media kain dan kertas putih.

Berdasarkan keterangan dari Ali, jenis tinta hitam tersebut adalah tinta Cina. Tinta itu juga biasanya digunakan oleh para santri untuk mengaji kitab-kitab kuning di pesantren. Kalau anda pernah belajar di pondok salaf tradisional, tinta itu disebut asbak. Piranti inilah yang dominan digunakan oleh komunitas tersebut pada kegiatan Minggu ini. Tinta ini digoreskan menggunakan stik dari bambu yang dibuat sendiri. Sedikit dibentuk seperti ujung pena. Kanvas sederhana dari bambu kecil dicelupkan ke tinta dan digoreskan di atas kertas putih sesuai dengan bentuk yang diinginkan.

Ali, selaku kordinator komunitas tersebut mengatakan, “siapapun yang berminat belajar melukis bisa bergabung di lokasi ini, apapun latar belakang anda, termasuk anak Anda yang ingin mengembangkan bakat melukis atau sekedar membantu mengembangkan fungsi otak kanan anak-anak kita yang sehari-harinya telah dikebiri oleh ideologi pendidikan.”

Kepada Ali, anda juga dapat memesan perangkat melukis yang dibuat sendiri oleh Bapak satu anak ini seperti cat lukis dan perangkat lainnya. Dia sendiri yang membuatnya. Lebih murah dibanding harga bandrol toko. Hanya seharga Rp. 15.000,- kita bisa mendapatkan peralatan tersebut. Bapak yang juga mengikutkan anaknya di kegiatan pagi ini berusaha mengembangkan alat lukis yang terjangkau dan memudahkan orang tua dan anak-anak gemar mengkreasikan imajinasi melukis mereka tanpa harus berbiaya mahal.

Hancurkan!, libido pembebasan imajinasi
Saya kemudian berdialog lebih luas mengenai komunitas ini dan terlibat pembicaraan tentang perspektif kritis perkembangan anak, pendidikan dan seni melukis. Bagi Ali, melukis merupakan media pengembangan kreatifitas dan bakat anak yang tidak boleh dikungkung oleh intervensi otoritatif. Melukis selalu identik dengan kebebasan. Untuk mencapai kebebasan itu melukis tidak selalu taat pada azas dan teori-teori baku yang ketika teori diterapkan secara normatif justru akan bisa membatasi imajinasi seseorang.

Terkait dengan itu Dia pun mengungkapkan pengalamannya ketika memberikan privat pada kliennya, yakni seorang anak usia Sekolah Dasar.

Pada pendekatan tersebut anak diintervensi imajinasinya sehingga ruang bebas idenya diracuni oleh kemauan orang lain yang cenderung paternalistik, persis cara guru mendiktekan pelajaran di sekolah. Anak sekali lagi dipangkas kreatifitasnya karena terlalu sering idenya diintervensi oleh orang tua atau guru.

Namun, bagi Ali, membelajari anak melukis bukan mengajari anak laksana mengajari mereka menghafal dan latihan menghitung. Melukis adalah melatih gerak imajinasi yang tanpa batas. Tidak perlu dipatok dengan teori dan hasrat kuasa dari orang tua atau guru.

Kedudukan mereka tidak lebih mendampingi dan memotivasi. Mendampingi melukis adalah menstimulasi imajinasi sehingga imajinasi anak berkembang dengan baik. Ibarat melatih anak agar mampu berpendapat dan berpikir independen. Kamipun sampai pada kesimpulan mengenai kritik pendidikan, bahwa selama ini imajinasi anak dan pikirannya telah diseragamkan menggunakan kurikulum sekolah yang tekstual sehingga perkembangan kognitif anak menjadi semakin seragam. Anak semakin lama dikondisikan untuk patuh dan kurang diajari mencipta. Anak juga tidak terbiasa mengemukakan pendapat sehingga anak dibiasakan menerima ketimbang mencipta. Pikiran anak menjadi kerdil dan anak akan semakin kehilangan kepercayaan dirinya karena tidak pernah diberi ruang bebas bepikir, apalagi mengungkapkan pendapat. Kuriositas (rasa ingin tahu anak) hampir tidak difasilitasi dengan baik karena teks-teks kurikulum telah mengeneralisasi gaya berpikir anak secara seragam. Melalui pendidikan ini anak dibiasakan mengeja dan menghafal pengetahuan dan tidak didorong bebas difasilitasi rasa ingin tahu anak untuk mengembangkan pengetahuan mereka.

Bahkan sebagian dari cara memperlakukan anak di PAUD juga salah kaprah dalam menggambar. Apa itu? Pada pelajaran menggambar misalnya, kebanyakan guru PAUD terlalu terpaku pada sketsa baku seperti frame gambar bunga, burung, rumah dan banyak sketsa baku lagi bisa kita dapatkan, misalnya di buku mewarna. Anak tidak diajari mengembangkan imajinasi total tetapi setengah. Anak diajak untuk mengikuti alur gambar sketsa.
Sketsa rumah yang turun temurun

Contoh lagi yang lain. Cobalah Anda sekarang meminta anak Anda menggambar rumah. Caranya nyaris tidak jauh berbeda dengan cara kita (orang tua) dulu menggambar sketsa rumah. Gambar biasanya dimulai dengan membuat bangun persegi lima dan dilanjutkan frame bergaris baku ke belakang. Jika anak Anda tidak menggambar seperti yang saya jelaskan dan memiliki gambar berbeda, maka imajinasi anak lebih baik dan dia akan lebih kreatif.

Menggambar yang seharusnya merupakan apresiasi kreatifitas dan kebebasan berimajinasi telah dijinakkan oleh pendidikan instrumentalis (memaksa ikut arus kepentingan kurikulum). Selain itu, hasil gambar anak tidak harus dinilai secara kuantitatif oleh guru karena imajinasi lahir dari kemerdekaan diri. Statemen tersebut pernah dilontarkan oleh kolega saya Ahmad Mukhlis, ketika berbicara mengenai kegiatan menggambar anak-anak di sekolah.

Menggambar adalah upaya menghidupkan imajinasi dan bukan menilai hasil akhir. Nilai angka 80 tidak berarti itu rendah dari 100 akan tetapi penghargaan akan hidupnya imajinasi dilakukan bukan dengan angka tetapi sebuah penghargaan karya. Sebaiknya mendiskusikan hasil imajinasinya agar mereka semakin terstimulasi untuk mampu berbicara/bercerita.

Bagi Ali, penggiat komunitas tersebut kemudian membuat jargon perlawanan yang kata-katanya sangat khas yaitu hancurkan! Artinya anak jangan takut apa yang dia akan toreh di kertas lukis, tidak mesti taat pada bentuk lazimnya. Jika tidak sama anak kemudian dimarahi. Hancurkan bentuk baku itu dan lahirkan imajinasi itu seliar mungkin sesuai dengan pikiranmu. Tidak perlu takut, apalagi untuk pemula dan utamanya anak-anak.

Bang Ali lantas lebih memilih media cat untuk mewadahi ide bebas melawan kelaziman ini. Anak diajak mengapresiasikan kemauannya dan melempar-lempar cat di kanvas serta menyemprotkannya ke kain lukis. Bisa juga goresan kanvas digerakkan membentuk coretan abstrak atau pola bebas membentuk obyek. Anak tidak perlu didikte tetapi didorong untuk memaksimalkan keberanian imajinernya.

Hancurkan! tak perlu takut salah dan tidak harus menyamai bentuk obyek yang sedang diambil gambarnya. Pendekatan ini ternyata justru lebih disukai anak. Ali bercerita justru anak bimbigan privatnya tadi pada akhirnya lebih memilih menyukai pendekatannya daripada guru privat lain yang menggunakan pendekatan teoritis.

Hancurkan! adalah libido yang dilemparkan oleh komunitas ini untuk membangkitkan rasa percaya diri anak yang (saya pikir-pikir) sekian lama kebebasan imajinasi anak telah dirongrong dan tidak begitu leluasa diakui di dalam pendidikan. Begitu pula bagi pemula. Hancurkan adalah semangat yang digelorakan agar orang itu mau secara bebas menuangkan bentuk imajinasinya dalam berbagai obyek. Hancurkan adalah slogan yang mengakui suatu proses diri agar orang memiliki kuasa berimajinasi dan tidak terlalu menilai hasil akhir. Hasil akhir oleh karenanya ditempatkan sebagai bentuk obyektifikasi imajinasi yang telah dituangkan oleh subyek pelukis. Imajinasi itulah yang perlu diakui, bukan obyek nyata yang kadang dianggap tidak berbentuk, murahan dan jelek.

Di situlah harga dari lukisan, yakni imajinasi yang melampaui bentuk obyek gambar. Di sinilah karya diwujudkan dengan kehendak mencipta dan manusia telah dilatih untuk memberanikan diri membebaskan rasa takut dari kungkungan norma bentuk atau obyek-obyek yang terlanjur dibakukan oleh keteraturan, kelaziman bentuk atau bahkan kenormalan.

1 comment:

HARAPAN BAJULMATI said...

Patut disimak dan di ikuti langkah nyata dari pihak pemegang kebijakan/pemerintah untuk menumbuh kembangkan potensi anak bangsa di masa depan/meraih masa depan yang lebih cerah