
Judul Buku : Teologi Seksual
Penulis : Geoffrey Parrinder
Penerjemah : Amirudin & Asyhabuddin
Penerbit : LKiS Yogyakarta, Februari 2005
Tebal : viii+ 475 hlm.
Peresensi : MOHAMMAD MAHPUR*
Penulis : Geoffrey Parrinder
Penerjemah : Amirudin & Asyhabuddin
Penerbit : LKiS Yogyakarta, Februari 2005
Tebal : viii+ 475 hlm.
Peresensi : MOHAMMAD MAHPUR*
Agama memberikan kejujuran seksualitas akan tetapi diwicarakan dalam model tabu hingga seksualitas berubah dalam dilema kemunafikan dan ketidakjujuran. Pandangan miring mengenai seksual terkadang terlalu berlebihan dan picik yang akhirnya jatuh dalam pengertian antiseksual, padahal seksual adalah kondisi alamiah manusia baik yang terkait pada fungsi fisiologis maupun psikologis perkembangan manusia.
Apa yang dijelaskan tentang seks dalam buku ini bukanlah semata mengukur dari intensitas nilai perjumpaan hubungan dua kelamin akan tetapi seks memiliki banyak nilai mulai dari pro-kreasi, re-kreasi, rekreasi dan mungkin bisa ditambah memiliki bobot “kriminal” (dalam tanda petik) serta hadir dalam beragam tarikan representasi teologi dan politik tubuh. Buku ini juga mencakup sekian nilai itu yang diformulasi untuk mengetahui perkembangan historis bagaimana seksualitas dalam tradisi agama dibentuk.
Kehadiran buku ini tidak mencoba mencari jalan menyucikan seks dari dilema dan praktik pornografi misalnya, akan tetapi buku yang semula berjudul “Sexual Morality in the World’s Religion” yang terbit tahun 1996 di Inggris, adalah sebuah narasi historis yang mencoba memaparkan tradisi seks dan praktik pewacanaannya dalam agama-agama besar dunia. Agama yang diselidiki di sini meliputi tradisi seksual di India, Budha, Yin dan Yang di Cina, Jepang, Afrika tradisional, Islam, Yahudi, Kristen, Baha’i dan lintas perkembangan wicara seksual dalam tradisi modern.
Parrinder seolah mengubur pentabuan seks yang selama ini terekam dalam penuturan agama ketika seks diasumsikan sebagai wilayah sacred yang hanya merupakan hak miliki suami-istri yang dilegalisasi dalam perjanjian akad nikah. Dibalik itu buku ini ingin menyuguhkan adanya kekayaan narasi seksual dalam tradisi-tradisi agama besar dunia hingga memberikan sebentuk pemahaman komprehensif bagaimana seksualitas mengambil ruang representasi.
Seks diceritakan sebagai fenomena yang ilahiah sekalipun dan menyeruak dalam metapora kenikmatan manusiawi. Cerita ini kemudian memberikan situasi paradoksal tentang seks yang satu sisi mencoba disingkirkan atau ditolak oleh praktik agama dan pada sisi lain hadir dengan narasi penuh kegairahan. Pada epik Mahabharata dan Bagawad Gita yang menggambarkan sebagian sakralitas seksual di India, kekentalan lelakon seksual hadir bersamaan dengan cerita para Dewa. Dikisahkan bahwa percintaan Krisna dan Radha misalnya telah memberi gambaran adanya keterkaitan ilahiah antara praktik percintaan dan hubungan seks yang coba dihadirkan sehingga cerita itu mempunyai makna-makna suci.
Kehadiran gadis-gadis cantik dengan telanjang bulat yang menggeluti arena percintaan Krisna yang terkenal sebagai penggembala perempuan telah ditafsirkan sebagai gambaran dari adanya ketelanjangan jiwa suci Tuhan sehingga cerita ini kemudian mewariskan berbagai situs yang hadir menjadi ciri kekayaan tradisi India dengan situasi mistik suci yang selalu dipuja dan memiliki nilai teologis di India (hlm. 7-16). Pengakuan yang lebih ekstrim adalah Kamasutra. Warisan ini telah menggambarkan penerimaan permainan seks yang harus dihadirkan dalam semangat spiritualitas sehingga seks bekerja secara lebih suci, mendetail dan bisa menumbuhkan dorongan ekstasi yang bisa menggiring pada dunia dan spiritualitas batin yang dalam.
Dalam hadits Nabi Muhammad juga banyak dijelaskan pandangan-pandangan seksual. Misalnya meski hubungan seksual diakui sebagai kebutuhan suami istri yang absah, namun jika perempuan menolak hubungan itu, dianggap perempuan adalah pendosa. Idza batat al-mar’atu hajiratan firasya zaujiha la’anatha al-malaikatu hatta tushbiha (ketika istri menolak atau enggan berhubungan dengan suami di tempat tidur maka istri akan dilaknat malaikat hingga waktu
subuh).
Ini juga terjadi dalam sakralitas tradisi seksual di India. Jika perempuan menolah hubungan seksual, maka laki-laki akan menyuapnya dan bila tetap menolak, si laki-laki akan memukul dengan tangan atau tongkatnya dan mengatakan, “dengan kekuatan dan kebanggaan, kuambil kebanggaanmu, maka perempuan itu menjadi tanpa kebanggaan” (hlm. 31).
Juga dijelaskan bagaimana variasi seksual suami-istri diatur, antara lain dijelaskan bahwa istrimu adalah ladangmu, pergaulilah sesukamu namun tidak diperkenankan bagi suami menggauli istrinya melalui jalan anus jika ia tidak ingin dilaknat tuhan (hlm. 283). Pada agama Islam terutama dalam hadits-hadits Nabi banyak keterangan yang berhubungan dengan nilai seksual dan aturan moral yang membolehkan dan menolak cara-cara tertentu hubungan seks seperti siapa yang boleh dikawini dan tidak boleh dikawini.
Contoh lain adalah persepsi mengenai darah haid yang ada dalam tradisi Parsi India. Bahwa darah menstruasi adalah bagian jelmaan ‘setan’ atau disebut merupakan orang yang dalam pengaruh Ahriman (roh jahat) sehingga misalnya perempuan menyentuh barang atau menggendong anaknya maka anak itu harus disucikan sebelum keluar rumah. Oleh karena itu perempuan menstruasi harus diasingkan atau dilokalisir ke rumah khusus (hlm. 124).
Pengetahuan seks dan tradisi yang berkembang dalam agama-agama didalam buku ini dijelaskan sangat terkait juga dengan alur historis revolusi pengetahuan tentang seksualitas mulai dari mitos seksual Dewa-Dewi, heteroseksual dan homoseksual, serta berbagai pola kekuasaan yang meminggirkan seks menjadi sesuatu yang tabu.
Pengetahuan seks dan tradisi yang berkembang dalam agama-agama didalam buku ini dijelaskan sangat terkait juga dengan alur historis revolusi pengetahuan tentang seksualitas mulai dari mitos seksual Dewa-Dewi, heteroseksual dan homoseksual, serta berbagai pola kekuasaan yang meminggirkan seks menjadi sesuatu yang tabu.
Pandangan seksualitas agama-agama kemudian menciptakan seperangkat moralitas yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan. Mulai dari perkawinan, hubungan inses, larangan dan anjuran variasi hubungan seksual suami istri, mitos kekuatan hubungan seksual, dan juga menyangkut kondisi perseliran dan pelacuran di rumah-rumah bordil, untuk menyebut semisal dalam tradisi terdahulu di China dan Jepang.
Membaca buku ini berarti sekaligus mengambil kesimpulan di antara dua ruang yang mencerminkan dua representasi faktual, sekaligus menarik garis kritis tentang warisan historis deskripsi seksualitas dalam tradisi agama-agama. Penekanan ini penting karena apa yang terurai dalam buku, sebagai data historis, betapa penuturan seksualitas berselimut kubang dogma misoginis yang menunjukkan adanya perebutan tutur seksisme yang cenderung mengeksploitasi setiap ranah tubuh perempuan sebagai bahan dan imajinasi kehadiran Tuhan.
Artinya ruang representasi kesucian tubuh perempuan sebagai sarana sembahyang terkesan sebagai salah satu bentuk subordinasi yang selalu dikehendaki oleh laki-laki. Tubuh perempuan diperalat guna menghadirkan dan mencari kesucian Tuhan sementara representasi tubuh perempuan, dan dengan demikian seksualitas perempuan telah hilang dari hasrat perempuan sendiri, bahkan secara anarkhis, eksploitasi narasi menjadi semakin membunuh representasi tubuh perempuan dalam dunia, dan mitos kesucian telah mereduksi eksistensi perempuan menjadi tanpa representasi karena ia telah disemayamkan dalam dogma kesucian yang dimetanarasikan oleh laki-laki untuk sekedar memuaskan ketuhanannya sehingga hampir tidak ada perempuan sebagai subyek yang hidup dan mampu membuat narasi ketuhanannya sendiri, karena ia telah dibunuh oleh imajinasi erotis-ketuhanan yang dikonsep berdasarkan paradigma dan mitos ketuhanan secara maskulin sebagai kuasa permainan imaji tuhan laki-laki.
Artinya, ketelanjangan perempuan yang banyak dimaknai sebagai kesucian adalah konsep yang selalu dimunculnya sebagai sebentuk nilai proyeksi untuk mengamankan kelamin laki-laki dari unsur-unsur eksploitasi spiritual. Bahwa tubuh perempuan implisit bukanlah sebagai makna dari representasi tuhan, tetapi sebagai proyeksi seksualitas kelelakian yang lahir dari kekuatan patriarkhis. Ketelanjangan perempuan hanya ada dalam konsep lelaki, sementara perempuan seolah menghilang dari peredaran konsep-konsep yang mencoba mengingklusifkan nilai-nilai seksualitas sebagai bagian dari kekuatan ketuhanannya.
Sakralitas seksualitas di India misalnya, seperti yang terjalin dalam Undang-undang Manu, bahwa perempuan harus selalu dalam situasi terkontrol oleh lelaki dalam rumah tangga dan apabila ia kemudian masuk untuk ikut terlibat dalam kenikmatan seksual hendaknya perempuan harus tetap dalam kendali seseorang. Wujud kontrol ini selalu harus diadakan sepanjang masa kehidupan perempuan. Ketika masih anak-anak, perempuan dibawah pengasuhan atau kendali ayahnya, masa dewasa ia ada dalam kekuatan suami, dan di saat renta ia berada dalam pemeliharaan anak-anaknya sehingga dikatakan bahwa „perempuan tidak pernah pantas untuk bebas“ (hlm.41). Atau dalam tradisi India lain, perempuan merupakan ancaman serius bagi tatanan keteraturan ketuhanan. Perempuan dianggap sebagai „lubang neraka“, „kobra hitam“, „buah yang beracun“, dan „api yang menyala“. Sebab perzinaan adalah tubuh perempuan, seperti bait sajak yang melihat gangguan destruktif kehadiran perempuan bahwa „perempuan adalah libah dunia, tempat memilih baik dan buruk, laki-laki terhormat akan menyingkirkannya, hanya orang-orang busuk yang akan menikmatinya“. (hlm. 113-114).
Selain itu konsep falilisme juga kuat dan hadir dalam mitos-mitos tradisional, seperti hampir semua agama dan tradisi yang terekam di dalam buku ini mempunyai orientasi falilisme sebagai bagian dari simbol-simbol seksualitas tuhan yang diwakili oleh bentuk falus dalam ukiran, patung, atau model tongkat (hlm. 186-187). Di Indonesia misalnya, mitos Kunto Bimo di candi Borobur adalah bagian dari praktik simbolisasi falilisme ketika seorang bisa menyentuk Kunto Bimo, ia akan dianugerahi rizki baik berupa jodoh atau kekayaan.
Dalam Kamasutra, unsur praktik pencarian kenikmatan secara poligamis juga menjadi salah satu metode bercinta (making love). Satu laki-laki akan dipuaskan oleh lebih dari satu perempuan, unsur laki-laki menjadi dominan yang sebagian diungkapkan adanya satu seorang laki-laki menikmat dua perempuan ata banyak secara bersamaan (hlm. 50). Sementara di dalam tradisi lain, poligami merupakan unsur yang melekat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ritual perkawinan dalam berbagai bentuk seperti adanya praktik perseliran. Ini terjadi pada sakralitas seksual di India, tradisi agama Budha yang terjadi pada orang-orang bangsawan (kaya dan berkuasa) yang beriringan dengan kekentalan dominasi laki-laki, perempuan menjadi barang untuk dimainkan, didagangkan atau fungsi kemanfaatan lainnya (hlm.85)
Namun pada agama Islam, buku ini mencoba memberikan artikulasi kemajuan praktik penolakan poligami dari jumlah menyusut dari banyak ke empat dan kemudian satu. Artinya bahwa tidak berpoligami (monogami) lebih diutamakan dalam Islam. Itulah inti dari surat an-Nisa’ ayat ketiga yang diijtihadi oleh penulis buku ini.
Seperti hal lain mengenai arkheologi khitan perempuan. Praktik ini juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam tradisi Jepang, India, Islam, Afrika tradisional (227) yang sampai sekarang mengakar dalam masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bagian tidak terpisahkan dari mitos-mitos yang berurat berakar dalam tradisi dan ikut andil menjadi salah satu yang berkembang dalam praktik-praktik agama yang telah diritualkan. Di Islam khitan perempuan, walau pun tidak ada dalil yang menunjukkan pada kewajiban ini, tetapi beberapa Sunah Nabi di buku ini menunjukkan bahwa khitan perempuan merupakan bagian dari ritual yang hampir diwajibkan dan diterima sebagai sebuah tradisi klitoridektomi. Klitoridektomi merupakan Sunnah sejauh ia melibatkan penghilangan ujung klitoris dan bibir kecil dan infibulasi yang mencakup penghilangan dan kemudian penjahitan vagina“ (hlm. 278). Praktik inilah yang banyak dikecam oleh kalangan feminis yang berusaha menghilangkan sejumlah kekuatan seksual terhadap perempuan dan menjadi salah satu tindak adanya kekerasan terhadap perempuan dalam tradisi.
Selain sejarah patriarkhal, di mana kekuasan laki-laki dalam praktik ritual kesucian seksualitas ketuhanan mendominasi, pun banyak dimensi matriarkhal yang menjadi salah satu bagian dari beberapa tradisi narasi seksual dalam agama-agama, seperti kekuasaan dewi-dewi dan nilai-nilai tubuh seksualitasnya yang bisa mencapai dimensi transendensi atau praktik poliandri yang juga ada dan muncul dari cerita-cerita dari beberapa tradisi seperti masyarakat Arab sebelum Islam (hlm.273). corak lain dari dominasi patriarkhal ketika pelaku homoseksual dihukum lebih ringan dari pada pelaku lesbian yang terjadi pada masyarakat India (hlm. 35).
Buku ini merupakan paparan seksualitas yang ditemukan dalam konteks arkheologis, antropologis, psiko-sosiologis sehingga membacanya justru akan memberikan pandangan yang luas tentang seksualitas dalam tradisi agama-agama dunia dan perlu diketahui bahwa isi buku ini bukanlah bersifat pronografis yang mengajari variasi hubungan atau hedonisasi seks pembacanya seperti model-model buku seksologis yang lagi marak di pasaran, namun dari sinilah pembaca akan dikenalkan berbagai variasi nilai tradisional seksual dan beberapa diskusi terkait wacana seksualitas dan penilaian terhadap berbagai praktik seksualitas diulas pada bab terakhir yang menunjukkan adanya pergeseran atau metamorfosis terhadap cara pandang seksualitas, seperti dari aspek pergeseran konsep dalam kedokteran mengenai khitan perempuan, feminisme, debat ulang praktik poligami dan nilai-nilai gaya hidup yang menjadi bagian dari praktik seksualitas kontemporer. Selamat mengaji buku ini.
No comments:
Post a Comment