Sunday, August 28, 2005

Pedagogi Kritis untuk Kearifan
Gara-gara menunggak uang sekolah 10 bulan sebesar Rp. 5000,- per-bulan, pada Mei 2005 lalu Eko Haryanto (15), siswa kelas VI SD Kepunduhan, Kramat, Tegal nekad mencoba bunuh diri Di kabupaten yang sama pada April 2005 kasus ini pernah menimpa Bunyamin (17), siswa SMK kelas II yang juga frustrasi karena menunggak SPP 10 bulan dengan rincian Rp. 40.000,- perbulan, dan fenomena ini masih menyisakan keprihatinan mendalam.
Rasa malu karena ejekan teman, caci maki, atau dinamika pencitraan anak-anak teman sebaya acapkali menjadi atribusi bagi anak-anak usia sekolah karena secara psikologis pengakuan eksitensi diri anak sangat ditentukan oleh kekuatan penerimaan dan penolakan teman sebaya di mana ia menjadi penopang eksistensi kebanyakan anak. Jika mereka bunuh diri karena ejekan teman atau intimidasi guru karena tunggakan iuran sekolah, lalu frustrasi, maka masuk akal karena rasa frustrasi semakin kuat ketika penopang eksistensi mereka yakni teman sekelas dan lebih-lebih guru tidak lagi memberi ruang representasi yang ramah dan mendamaikan.
Pemberitaan itu menyingkap bahwa kemiskinan menjadi sindrom situasi tidak berdaya menghadapi tingginya ongkos pendidikan. Eko dan kawan-kawan merupakan sebuah contoh minor dalam menopang artikulasi pentingnya kematangan emosional dalam pendidikan agar anak didik paling tidak mampu memberi apresiasi empati dan simpati terhadap perbedaan kemampuan dan ini sebenarnya harus juga disadari oleh guru.
Ivan Illich (1970), dalam buku Deschooling Society menjelaskan bagaimana proses pedagogis dalam sekolah akhirnya hanya menjadi tujuan publik palsu (false public utilities) karena tidak lagi hadir sebagai proses pencerahan untuk memenuhi fungsi-fungsi yang bertujuan mengantarkan anak menjadi orang beradab dan bisa berinteraksi dengan manusia, melainkan sebagai sebuah alienasi baru dari kenyataan hidup yang hanya memenuhi implikasi ekonomi dari sumber kapital dan kesempatan kerja an sich.
Mengacu pada teori psikologi humanistik bahwa pendidikan modern yang termaterialisasi telah memutus mata rantai kebutuhan manusia untuk bisa mengapresiasi pemaknaan aktualisasi diri. Kebutuhan kebendaan dan biologis memangkas cara pandang bagaimana mencipatakan rasa aman, sense of belonging, rasa cinta dan aktualisasi padahal kebendaan dan biologis hanya perangkat minimal dalam proses mencapai pribadi aktual dengan beragam metakebutuhan manusia, seperti keadilan, kesejahteraan, spiritualitas, kearifan, dan budi pekerti yang tercipta dari rangkaian proses humanisme yang edukatif.
Menurut Howard Gardner dalam teori multiple intelligence, ada baiknya pribadi siswa itu ditopang oleh ranah kecerdasan yang tidak hanya mencakup fungsi intelek-nya, akan tetapi bagaimana kecerdasan itu dapat dikembangkan berdasarkan delapan ranah yang ada pada manusia dan kecerdasan ini bisa dioptimalkan satu-persatu sesuai dengan kecenderungan setiap potensi yang digemari siswa. Kecerdasan itu antara lain menyangkut natural, numerical, physical, social, motion, visual/spatial, self analitical, musical dan verbal. Jika dihubungkan dengan konsep psikologi humanistik, kedelapan kecerdasan ini bisa menjadi basis penguatan kearifan siswa sebagai proses humanisasi sikap dan tanggung jawab dalam hidup untuk aktualisasi diri.
Kedelapan ini sebaiknya dikenali dan menjadi konsep pengembangan pendidikan. Selama ini pendidikan hanya menyentuh dua “kecerdasan tradisional” yaitu linguistik (verbal) dan matematik (numerical) yang diwujudkan dalam angka-angka. Gardner menegaskan bahwa kecerdasan itu bukan benda mati dan dihitung dengan angka-angak akan tetapi perkembangan kecerdasan sangat ditentukan oleh daya dukung kebudayaan, sekolah, masyarakat, orang tua/keluarga dalam memberikan apresiasi terhadap tumbuh-kembangnya kedelapan potensi itu.
Kedelapan kecerdasan yang dijelaskan Gardner itu sebaiknya menjadi dasar bagi pengembangan potensi siswa sebagai bahan untuk menumbuhkan nilai-nilai kearifan dalam menyelesaikan persoalan hidup tanpa mencari sebuah solusi yang antah-berantah dan terkadang menimbulkan situasi kekerasan ekonomi dan psikologis dalam dunia pendidikan.
American Psychological Assosiation (www.org.apa) dan The National Association for the Education of Young Children (NAEYC) sebagai bagian proyek ACT Againts Violence (www.actagaintsviolence.org), yang saat ini sedang mengampanyekan sebuah program ACT (Adults and Children Together)—againts violence membuat brosur untuk mengantisipasi proses perkembangan anak yang diharapkan tidak akan menyelesaikan persoalan dengan model kekerasan. Karena saat ini suasana dunia telah berubah menjadi serangkain icon kekerasan yang berbentuk perang antar negera, konflik agama, kelompok, atau model-model kekerasan dalam negara seperti pemberontakan dan kejadian-kejadian kejahatan yang selalu mengintrodusir perilaku violence dalam media masa.
Dalam brosur itu dijelaskan bagaimana kekerasan akan menjadi model anak yang diambil dari tidak semata-mata mereka melihat tontonan telivisi tanpa pendampingan orang tua, akan tetapi sebuah nilai yang diambil ketika mereka melihat cara-cara kita orang dewasa menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang mungkin dilihat bertentangan dengan anak, maka ia akan mengambil model apa yang bertentangan itu. Seperti dikatakan Rhea Faberman (Apa’s executive director for public and member communications), “when children witness violence, they learn that that’s the way to solve problems. If the see the opposite, they’ll model opposite”.
Mungkin itulah yang terjadi dalam kurun waktu terakhir ini di mana tindak kekerasan menjadi alternatif penyelesaian masalah dari kondisi frustrasi yang gagal direhabilitasi sehingga ada anak yang hendak memutus masalahnya dengan bunuh diri atau pelajar melakukan tawuran karena perselisihan hal-hal yang sifatnya sepele.
Fenomena itu harus dijadikan tonggak betapa kesadaran akan arti penting kearifan untuk menghargai hidup telah mati karena muncul dari sebentuk kesadaran naïf, meminjam frase Paulo Friere. Ini artinya pendidikan harus berusaha meningkatkan sensibiltas kognitif dan manajemen emosional yang akan menopang munculnya bangunan pedagogi kritis dengan fundasi kognitif dan emosional berbentuk kesadaran kritis dalam mencari pemecahan masalah melalui dasar-dasar kearifan.
Untuk itu bagaimana pendidikan dikelola untuk mendorong satu pengertian kritis tentang artikulasi bagaimana menyelesaikan masalah dengan arif melalui bingkai kekuatan intelektual dan stabilitas emosional yang matang. Pendidikan diharapkan seperti dalam perspektif humanistik bisa menekankan kapasitas untuk pertumbuhan personal, kebebasan untuk memilih nasibnya, dan kualitas-kualitas positif lainnya.
Pendidikan harus membelajari anak untuk bisa menyelesaikan persoalan yang tidak hanya terfokus pada materi pelajaran di sekolah. Pun harus menyentuk dimensi interpersonal, membelajari menejemen emosi dan membangun suatu kesadaran kritis bagaimana siswa berpikir, bersikap, dan bertindak. Menurut Gardner (Gunawan 2003), ada tiga aspek yang akan menopang kedelapan kecerdasan itu, yaitu 1) kemampuan menyelesaikan masalah, 2) kemampuan menghasilkan persoalan baru untuk diselesaikan, 3) kemampuan menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa-jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya orang. Ketiga aspek ini baik jika mampu dikembangkan untuk menjadi dasar-dasar pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan mengantarkan sebuah proses pedagogi kritis. Yaitu pendidikan yang mampu tidak hanya menghafal, tetapi mengerti dan memahami (insight), juga sanggup merekonstruksi kesadaran diri, lingkungan dan sosial untuk mencari sebentuk kearifan baru dalam menghadapi serangkaian kejadian hidup.
Para psikolog humanistik menekankan bahwa sejatinya manusia itu memiliki kemampuan untuk mengontrol kehidupan mereka dan bukan tunduk dengan manipulasi lingkungannya. Bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk hidup dengan nilai-nilai tertinggi, seperti altruisme dan kehendak bebas (free will). Mereka juga berfikir bahwa kita memiliki potensi untuk menyadari pemahaman diri dan bahwa kita pun dapat menolong orang lain meningkatkan pemahaman diri dengan bieng warm, nurturant dan supportive.
Oleh karena itu, lepaskan dunia pendidikan dari permainan politisasi yang sangat menyiksa batin masyarakat atau bahkan mengorbankan mereka, seperti menggejalanya kasus bunuh diri anak-anak usia sekolah dan biaya psikologis bagi guru-guru yang terombang-ambing oleh berbagai regulasi yang jauh dari semangat pedagogis sehingga mereka tidak lagi sempat membangun kreatifitas melainkan disibukkan oleh penyesuaian yang silih berganti dari setiap perubahan kebijakan. Semoga politik kebijakan pendidikan tidak hanya menciptakan harapan palsu masyarakat mengenai sekolah.
M O H A M M A D M A H P U R
Staf pengajar fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Malang

No comments: