Saturday, January 07, 2006

Tentang teroris

Teroris Dan Sidik Jari Santri

Kontroversi pengambilan sidik jari bagi seluruh santri yang bergulir dari Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi fenomena dilema identitas sebagai stigma hidden antagonizer atas peristiwa terorisme di Indonesia. Dalam melihat kasus terorisme di Indonesia sebenarnya ada disparitas makna yang dikonstruksikan antara pelaku teror dengan kaum santri secara makro.

Pelaku terorisme mengambil atribusi dan sublimasi keagamaan sebagai landasan psikoreligi untuk mengklaim perbuatan jahatnya agar tindakannya memberikan penguatan psikologis dan menciptakan kamuflase opini publik bahwa teror yang dilakukan mendapat ruang kesucian dalam wacana keagamaan terutama menyangkut terminologi religiusitas jihad sehingga opini yang dibangun menjadi katarsis bagi mekanisme pertahanan diri dan memperteguh pilihan mereka untuk tetap konsisten melakukan bunuh diri.

Menempatkan pelaku teror dalam kerangka keberagamaan berarti melihat bagaimana ragam fenomena penghayatan keagamaan diinternalisasikan secara berbeda dengan kelaziman keyakinan yang berjalan dalam tradisi masjid dan institusi keagamaan lainnya. Reaksi yang ditonjolkan pelaku teror bisa disebut sebagai reaksi nir-keagamaan dalam makna tertentu bahwa persenyawaan penghayatan keagamaan tidak bisa disatukan dengan keyakinan obsesif yang menggiring munculnya fungsi keagamaan violence.

Keberagamaan seperti ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan pikiran yang kurang didukung oleh referensi sosial yang membebaskan akan tetapi lebih dikendalikan perasaan sakau atau sugesti personalitas yang dikacaukan oleh penyerapan doktrin keagamaan secara mutlak sehingga gejolak internalisasi keagamaan selalu dikendalikan oleh faktor-faktor pemuasan egosentris sebagai sarana menutupi kegalauan diri sehingga persoalan obsesif diri dimetamorfosiskan menggunakan terminologi kesucian atau kesalehan melalui dalil-dalil agama.

Fenomena keberagamaan yang disertai kedestruktifan menandai munculnya konversi keagamaan karena keguncangan identitas, konsep diri dan pengalaman supranatural parsial yang menegasikan kondisi psikososial kearfian hidup sementara dorongan untuk bertahan dari keguncangan jiwa yang dimanifestasikan secara simbolik melalui kaidah agama dianggap sebagai cara untuk memenuhi fungsi eksistensinya. Konversi negatif seperti ini karena dorongan pribadi lebih condong ke arah pemenuhan sifat agresif dari pada konversi yang sifatnya asketis dan inklusif.

Oleh karena itu psiko-religi teroris akan terpuaskan jika fakta-fakta keagamaan secara psikologis bisa mendamaikan gejolak obsesifnya dan dianggap bahwa pensenyawaan antara bunuh diri, teror dan makna jihad telah melebur menjadi satu kerangka emosional yang membimbing kepada satu impuls kepuasan batin yang secara terus menerus diperkuat melalui peneguhan-peneguhan keimanan seperti balasan masuk surga atau pengharapan untuk selalu mati sahid.

Namun demikian ketika fakta personal keagamaan pelaku teror diseragamkan menjadi realitas keagamaan kaum santri sehingga perlunya kebijakan untuk mengambil sidik jari parasantri meniscayakan adanya satu persepsi kredibilitas keagamaan yang bertolak belakang dengan konsepsi kaum santri sebagai identitas subkultur dalam kebudayaan Indonesia.

Karena kasus pelaku teror yang mengambil inisiatif justifikasi keagamaan untuk meneguhkan kesucian pilihan perilakunya merupakan fakta keagamaan yang bersifat personal maka tidak signifikan jika kasusnya digeneralisasi sebagai fakta institusional untuk menilai kondisi psikoreligi pesantren yang selalu sama dan sebanding dengan mereka. Jika demikian maka dirasa kurang tepat dan akan terkesan mencari kompensasi eksternal dalam menyelesaikan persoalan terorisme.

Meskipun pengambilan sidik jari parasantri dianggap sebagai tindakan preventif untuk mengantisipasi menguatnya pelaku teror atau jihad bunuh diri yang diduga kuat lahir dari metamorfosis keagamaan para alumni pesantren namun pilihan itu telah memberikan satu nilai dan konstruksi sosial dalam membentuk identitas kaum santri dengan stereotipe teroris. Sedangkan kaum santri dilihat secara historis dan positif, sebenarnya pesantren sebagai tempat hidup santri merupakan akar subkultur identitas kebangsaan ini, terlebih khazanah keilmuan yang dikembangkannya seperti pesantren-pesantren salafiyah justru telah membentuk pengalaman kebudayaan dan kearifan lokal.

Sungguh sebuah kebudayaan yang merugi jika penanganan terorisme tercebur pada kesimpulan kaum santri dan tidak membangun komitmen bahwa terorisme adalah tindak kriminal yang harus dilihat dari kasus perkasus dan tidak selalu seragam secara personal dan institusional keagamaan. Disparitas personal-institusional inilah yang sebenarnya menjadi tolak ukur bahwa realitas piskologi keagamaan selalu bergeser dari dua arena itu dan mengambil implementasi dan kontrol kesucian keagamaan secara berbeda pula.
Terorisme merusak kebudayaan yang secara historis telah diakomodir pesantren untuk ikut membangun kearifan berbangsa. Namun fakta teror ini telah membangun konstruksi dan menyeret identitas kaum santri terbelah oleh kecurigaan yang menganggap praktik-praktik Islam kultural perlu didisiplinkan dari politik kebijakan terorisme dan menjadikan identitas keagamaan sebagai stereotipe diskriminatif.

Sidik jari dalam kasus ini tidak lebih merupakan politik representasi yang menimbulkan kecurigaan berlebihan dan jika pelaksanaannya tidak diawasi oleh alasan hukum yang akurat dan signifikan bisa jadi pilihan ini akan menjadi kebijakan yang sifatnya gebyah uyah mengontrol dan mendisiplinkan tubuh santri secara represif.
Tubuh santri senantiasa menjadi obyek kuasa. Tubuh santri akhirnya dimanipulasi, diatur, dikuasai, dan dikoreksi menjadi sasaran kuasa yang dalam arti teknik politis, kuasa hendak mengatur, mengontrol atau mengoreksi segala aktifitas tubuh santri. Pengambilan sidik jari ini menjadi kekhawatiran akan mengulang corak teknologi politik orde baru yang diluar konteks teroris akan membuka peluang sebagai alat membungkam seluruh aktifitas kritis kaum santri ketika dianggap mengancam ”otoritas” negara.

Oleh karena itu tidak cukup signifikan jika para santri menjadi kambing hitam terorisme. Santri tidak perlu didisiplinkan melainkan ditumbuhkan kekuatan membangun akselerasi wacana dan dinamika kehidupan yang bisa menopang kearifan berbudaya dan berbangsa sehingga kesadaran melawan terorisme tumbuh oleh nalar-kritis yang lahir dari rahim pesantren dan bukan nalar-bisu ketakutan dari dampak sidik jari.

Sampai sejauh ini metamorfosis pesantren secara umum di Indonesia masih mencerminkan komunitas Islam yang secara kontinu memberikan kekuatan membangun harmoni dan kearifan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena mereka berdiri di atas warisan khazanah keilmuan yang beragam dan dibangun antara lain oleh tradisi sufisme sebagai sandaran akidah dan akhlaq, hukum-hukum fiqh yang mengatur kegiatan hubungan kemanusiaan, atau kitab-kitab klasik yang masih sangat representatif dikaji karena dianggap masih mampu memberikan keteladanan dan kearifan untuk membekali santri bisa hidup di hari kemudian.

No comments: