
Hancurnya Batas Moral
Judul Buku : Guncangan Besar, Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru
Judul Asli : The Great Disruption, Human Nature and the Reconstitution of Social Order
Penulis : Francis Fukuyama
Penerjemah : Masri Maris
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Cetakan : 2005
Tebal : xix+447 hlm (Termasuk Indeks)
Harga : Rp. 80.000,-
Setelah buku The End Of Histories And The Last Man, memberikan ilustrasi proses berlangsungnya kekuasaan politik sebagai standar akhir yang mendominasi seluruh sistem keberlangsungan sejarah dunia yang semuanya bertumpu pada kekuatan hukum, pada buku ini Fukuyama mencoba sedikit bergeser melihat dimensi lain ketika perubahan besar dunia mengalami dampak bagi munculnya pergeseran modal sosial dan variasi nilai yang juga berubah.
Sepertinya sinyalemen futurolog Alvin Toffler, bahwa setelah abad industri, Amerika Serikat dan negara-negara ekonomi maju mengalami orientasi baru yang digerakkan oleh kekuatan informasi dan komunikasi yang menandai era transisi yang disebutnya sebagai “Gelombang Ketiga”.
Orientasi baru yang digerakkan oleh sistem informasi global telah menciptakan ukuran dan nilai baru demokrasi dunia yang bertumpu pada “kebebasan dan kesetaraan”. (hlm. 4) Perubahan sosial digerakkan oleh sistem kapitalisme yang mendorong munculnya pergeseran orientasi hidup, menguatnya individualitas dan merosotnya tingkat kepercayaan orang terhadap manusia lain.
Fukuyama menyebut perubahan terhadap akar nilai masyarakat terjadi persis sebagaimana peristiwa guncangan yang ditimbulkan oleh Revolusi Industri sekitar akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, yang merubah masyarakat pertanian menuju masyarakat industri perkotaan yang menggambarkan bagaimana norma sosial, kebiasaan, dan adat istiadat yang telah terhimpun dan menjadi ciri kehidupan desa atau dusun digantikan oleh irama pabrik dan kota (hal. 10).
Oleh karena itu, jika perubahan menuju masyarakat pasca industri ini sama persis melahirkan resiko seperti perubahan pada abad sebelumnya, tentu perubahan ini juga akan berdampak bagi munculnya ancaman terhadap modal sosial yang menyokong berbagai aturan dan nilai sebagai pegangan norma-norma sosial masyarakat terutama yang bersifat konvensional dan tidak tertulis.
Proses the great disruption yang diurai disini merupakan gambaran umum yang dipelajari Fukuyama atas perubahan masyarakat Amerika dan sebagaian Eropa Barat dalam memasuki tatanan baru dengan ditandai percepatan teknologi komunikasi dan informasi. Ongkos dari pergolakan ini menciptakan alam baru yang juga menyentuh aspek modal sosial yang menjadi fondasi mengatur hubungan etis antar manusia dan berbagai kepentingan masyarakat terkait dengan usaha-usaha membangun fungsi kehidupan dan kebudayaan.
Namun harapan berjalannya modal sosial seperti yang lazim terjadi pada masyarakat tradisional dengan perangkat normatif yang mengatur hubungan antar manusia juga terancam. Ancaman itu berdampak memudarnya sistem kekeluargaan yang berkembang di masyarakat pasca industri, kriminalitas lahir dengan berbagai versi, mulai dari kriminalitas dalam versi lama seperti kekerasan antarmanusia atau kejahatan dengan modus maya, seperti cybercrimes. Implikasi itu juga memudarkan trust (kepercayaan) orang perorang sehingga kontrak sosial menjadi terganggu karena citra individualitas menguat cukup signifikan sehingga rasa peduli terhadap orang lain juga memudar.
Fukuyama membuat empat sebab musabab mengapa Guncangan Besar itu begitu kuat terjadi di belahan Amerika atau Eropa Barat. Keempat asumsi itu menjadi pandangan umum yang menyatakan Guncangan Besar timbul oleh kemiskinan yang makin merajalela atau terjadi kesenjangan pendapatan, pun disebabkan meningkatnya kekayaan, ketiga terpengaruh oleh munculnya negara kesejahteraan sosial modern dan keempat disebabkan oleh pergeseran budaya secara meluas yang mencakup runtuhnya agama dan meningkatnya perilaku mementingkan diri sendiri sehingga tanggung jawab kemasyarakat terabaikan (hlm. 78).
Sementara sebab musabab kedua cenderung mengambil konteks demografi, ekonomi dan budaya. Musabab ini menyibak antara lain ihwal terjadinya kejahatan yang dipandang Fukuyama karena pembiasan dari nilai rasis yang didasari oleh perbedaan minoritas-mayoritas dalam skala nasional dan global. Pandangan rasis ini seolah melahirkan satu prasangka genealogis kejahatan yang lahir dari kelompok minoritas dalam konteks perbedaan warna kulit, agama, suku bahkan akibat konflik yang bermuara pada realitas budaya yang beragam dan saling bersinggungan yang disebut dalam istilah sosiologi sebagai peristiwa “keragaman sosial”.
Fukuyama mengacu pada Kriminolog Richadr Cloward dan Lloyd Ohlin, pelaku kejahatan dari ras minoritas terjadi karena mereka cenderung tidak memiliki akses terhadap jalur-jalur mobilitas sosial yang memadahi (tertutup) dan bagi kelompok mayoritas tidak demikian adanya. Kesenjangan ini telah melahirkan kejahatan sebagai bentuk resistensi terhadap kelompok mayoritas (hlm. 98). Hal ini juga meningkatkan prasangka terhadap imigran yang datang sebagai bagian asumsi dari tingginya angka kejahatan pada masyarakat urban.
Namun demikian dari sejumlah prasangka rasis itu, yang lebih penting adalah meningkat atau menurunnya kejahatan tergantung pada bagaimana modal sosial itu menguat atau justru memudar. Lantas yang dijadikan patokan adalah bekerjanya modal sosial dalam mengontrol perilaku kejahatan di ruang publik tergantung pada sinergi lingkungan sosial apakah cukup bisa mendisiplinkan orang atau sebaliknya, lingkungan sosial sebagai jelmaan modal sosial sama sekali tidak bisa bekerja.
Ancaman lain yang memudarkan modal sosial diurai Fukuyama adalah bergesernya persoalan domestik sekitar keluarga, perkawinan, dan kesehatan reproduksi. Persoalan ini dianggap sebagai bagian dari terbelahnya nilai domestik tradisional dan masuknya epistemologi baru yang mengartikulasi kebutuhan individu terhadap keluarga, kehamilan, seksualitas dan menyangkut peran perempuan. Persoalan ini membawa ekses fluktuatif angka perceraian, anak hidup dengan situasi tanpa bapak akibat hamil diluar nikah (free sex), masalah narkoba, perempuan lajang, dan lain sebagainya sehingga kesatuan konsep tradisional mengenai keluarga dan individunya terbalik ke model liberalisasi hidup.
Tidak ada patokan baku dalam budaya ini yang menjangkiti lahirnya satu konsep kebudayaan yang berakar pada teori relativisme. Dan ini merupakan fenomena yang menjangkiti anak-anak usia sekolah dan berakar di masyarakat Amerika. Bahwa nilai liberal yang mengusung formasi sosial berdasarkan kaidah toleransi kemudian membentuk epistema baru dengan menyebut tidak ada pijakan rasional apapun untuk melakukan penilaian dari segi moral dan etika tertentu, karena budaya dalam konteks relativisme diasumsikan orang tidak hanya mengakui toleransi sebagai keharusan akan tetapi lebih dari itu mempunyai hak untuk merayakan keragaman itu (hal. 191).
Oleh karena itu kodrat manusia diperdebatkan baik dalam akar teori psikoanalisis mengenai batas moral inses yang menggambarkan bagaimana muncul sebuah moralitas keluarga dibatasi oleh nilai tabu bentukan budaya manusia, teori biologi-evolusioner semacam homo sapiens sampai teori homo economicus yang kesemuanya membentuk konsep budaya masing-masing dalam mengatur pergeseran tatanan sosial sebagai basis munculnya istilah modal sosial.
Dari buku inilah pembaca kemudian mendapat argumentasi genealogis secara sosiologis dan psikososial bagaimana variasi kejahatan global muncul dan dibentuk seperti juga kejahatan terorisme yang saat ini masih menuai teka-teki apakah muncul dari disparitas sosial budaya, ekonomi atau semata pertentangan politik rasisme. Pun pembaca akan mendapat gambaran bagaimana modal sosial hancur pada situasi disordering dan perlunya peran rekonstruksi modal sosial yang dilakukan negara untuk memulihan norma dan etika baru yang disebut sebagai upaya reordering of society dalam komunitas yang heterogen dan pluralis.
Dalam konteks Indonesia, buku ini akan bisa menjadi titik pijakan bagaimana modal sosial di Indonesia juga mengalami degradasi karena sistem politik yang berjalan tidak seimbang, pemerintahan korup tanpa penegakan hukum dan berbagai variasi kejahatan serta terorisme yang mengancam ambrolnya modal sosial dan menggeser cara kerja budaya bangsa.
No comments:
Post a Comment