Ruh Kehidupan Ekospiritualisme
Praktik keagamaan yang lazim dipahami saat ini cenderung mematenkan interpretasi ruh sebagai jiwa yang ditiupkan Tuhan yang melekat dalam tubuh manusia secara tunggal tanpa diikuti oleh lingkaran ko-eksisensi berupa berjalannya fungsi ekosistem tempat di mana manusia memanfaatkan kehidupannya. Padahal ayat yang berbicara ruh diikuti oleh kontekstualitas bagaimana ruh itu hadir dalam tubuh manusia. Bahwa ruh dimaknai tidak dalam batas hanya urusan tuhan, qul al-ruh min amri rabbi (QS. Al-Isra’ 85) namun memberikan gambaran kontekstual yang berbicara mencakup tanda-tanda semesta alam (QS al-Anbiya’: 91, al-Hadid: 8; at-Tahrim: 12, at-Takwir 7-14).
Teori ibadah seperti shalat, puasa, atau haji begitu mengonstruksi penghayatan individualitas spiritual umat secara monologis yang terpaku pada impian eskatologis tanpa sebuah usaha memberi ruang guna mendialektikkan kekhusukan beribadah dengan kenyataan lingkungan yang semakin terkikis oleh tangan manusia sebagai bagian problem (hijab) pemenuhan kepuasan spiritualitas.
Kepenatan perdebatan keagamaan kita terlalu terkuras habis dengan pergulatan tafsir kesesatan terhadap praktik-praktik ritual non-mainstreaming seperti fatwa terhadap Jemaat Ahmadiah Indonesia, shalat dwi bahasa, komunitas eden pimpinan Lia Aminudin, atau komunitas sempalan lain yang dianggap menyimpang dari tafsir resmi yang dilokomotifi oleh Majelis Ulama Indonesia tanpa memberikan ruang dialektika yang mencerahkan dan konseling spiritual yang saling membebaskan.
Sementara fiqh lingkungan tidak kunjung lahir dari rahim negeri yang hutannya dipenuhi oleh illegal logging, penjarahan yang bertumpu di atas formalitas HPH, reboisasi terlambat karena penyimpangan dana pengelolaan hutan. Kerusakan alam mulai dari pencemaran lingkungan udara dan air, penyempitan lahan tanah untuk serapan air karena semakin memadatnya bisnis properti dan realestate telah menafikan ikutsertanya agama dalam mengkondisikan kesehatan lingkungan sebagai ruh kedua kehidupan manusia.
Religiusitas kita terkadang terkuras habis untuk berdebat sekitar otentisitas azab, cobaan dan ujian atas bencana yang telah datang merenggut jutaan nyawa mulai dari tsunami, banjir bandang dan tanah longsor yang bertubi-tubi. Padahal al-Qur’an telah nyata dalam Surat ar-Rum 41 bahwa “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Spiritualitas ayat ini harus ikut mendefinisikan bahwa ekologi adalah ilmu yang mencoba membuat hipotesis kehidupan bagaimana senyatanya alam dan lingkungan sekitar adalah ruh kedua sebagai prasyarat kehidupan manusia setelah nyawa manusia yang ditandai denyut nadi dan keluar masuk napas secara normal.
Penyadaran-penyadaran kekuatan agama sebagai gerakan baru ekospiritualisme dengan cara meletakkan alam sebagai sudut pandang di dalam menentukan jenis kepuasan spiritual manusia harus segera dikampanyekan. Karena keteraturan ekosistem alam menjadi salah satu faktor atau sejenis rukun ibadah yang memberi sumbangan signifikan terhadap nilai kekhusukan ibadah seorang hamba.
Manifestasi alam adalah rukun kehidupan yang mensyaratkan perlu dihidupi suatu kepekaan spiritualitas yang berbicara dalam rumpun persenyawaan lingkungan. Kerusakan lingkungan dengan demikian akan mengancam kepuasan spiritualitas dan akan mengikis bukti bahwa keberbihakan manusia terhadap hidup sirna oleh kerakusan pemuasan eksploitasi terhadap alam.
Alam sebagai ruh kehidupan juga sangat jelas tergambar dalam al-Qur’an. “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah; 22).
Sekutu-sekutu bagi Allah bisa dimaknai orang yang merusak lingkungan, tidak lagi bertindak ramah terhadap ekosistem alam, melakukan penebangan hutan secara liar (illegal logging). Oleh karena itu rekonstruksi spiritualisme dalam beragama harus memancang konsep teo-ekologis untuk menjawab persoalan lingkungan yang kini mengerucut pada mengikisnya kesadaran manusia akan pentingnya kesehatan lingkungan. Ketika alam atau lingkungan tidak lagi dianggap sebagai kekuatan teoantroposentrisme yang menggerakan spiritualitas hidup manusia yang ditakar dalam konteks ukuran keimanan kita niscaya semangat keagamaan juga telah memudarkan kearifan umat dan tidak lagi memaknai kehadiran alam dan lingkungan sebagai bagian dari hidup itu sendiri.
Spiritualitas menurut psikolog Victor Frankl adalah keniscayaan akan hadirnya situasi jiwa yang penuh makna (meaningfullness) dan hal itu bisa menjadi potensi pencerahan untuk meraih kebahagiaan manusia. Artinya bahwa kesinambungan kehidupan juga memugar satu kerangka psikologis bagaimana kebermaknaan itu diukur dari konteks kehidupan yang dialektis. Spiritualitas tidak semata diukur dari modal kepuasan egosentris yang memupuk semangat keimanan ‘narsistis’ (terlalu melebih-lebihkan pengalaman ekstase diri) atas capaian dan harapan eskatologis dari puncak spiritualitas manusia namun bagaimana spiritualitas itu didaur dalam wilayah kehidupan nyata, kontekstual, menjawab persoalan hidup bersama, sehingga kebermaknaan itu lahir dari satu sistem kehidupan yang saling menopang satu sama lain.
Oleh karena itu dalam konteks bencana alam yang melanda Indonesia saat ini berarti perlu juga dibangun satu kerangka baru bagaimana spiritualitas itu berdialektika dengan kesadaran membangkitkan sensitifitas makna spiritual yang bersandar pada ontologi-ekologis. Adapun konstruksi epistemologisnya adalah adanya satu relevansi yang signifikan antara keberlangsungan ekosistem alam dengan spiritualitas manusia. Kerusakan alam akibat ulah manusia berarti membuktikan tanda-tanda kerusakan spiritualitas manusia dan dengan demikian mulai timbul sekutu-sekutu Tuhan seperti terurai pada surat al-Baqarah 22 tadi. Adanya bencana alam akibat kerusakan hutan adalah bagian dari tanda-tanda kekufuran manusia dan dengan demikian manusia telah jatuh pada dimensi ketidakbermaknaan dalam melihat alam. Alam dan lingkungan tidak lagi memberikan stimulasi spiritualitas.
Jika demikian adanya sebagai perenungan apakah keadaban kita telah menandai munculnya krisis dan kebangkrutan modal spiritualitas yang tidak mampu menjawab di mana signifikansi kehidupan ? Kalaupun toh umat beragama tidak lagi menganggap kebermaknaan lingkungan sebagai bagian dari ruh kehidupan ekospiritualisme maka daya tangkap keimanan bisa jadi gagal diejawantahkan dalam konteks ke-disini-an untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Apalah artinya jika pengharapan kehidupan ke-‘disana-an’ telah mengancam kehidupan manusia saat ini, itu berarti kita tidak sanggup membuat senarai prasyarat bagaimana kita hidup fi al-dunya wa al-akhirah. wallah a'lam bi al-shawab.
1 comment:
http://markonzo.edu Great site. Keep doing., ashley furniture [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536072]ashley furniture[/url], uhhpkls, allegiant air [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536075]allegiant air[/url], loedsp, pressure washers [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536078]pressure washers[/url], 1654, dishnetwork [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536080]dishnetwork[/url], dmaubaq, adt security [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536076]adt security[/url], jqclb,
Post a Comment