Wednesday, April 04, 2007

Refleksi dan Proyeksi Ideologi Islam

Fakta pergumulan gerakan islam baik secara sosial dan politik keagamaan di Indonesia merefleksi berbagai persoalan dan agenda yang masih sangat aktual dan relevan untuk dibicarakan dan rekonstruksi ulang seiring banyaknya persoalan sosial politik yang berkembang di Indonesia.

Islam sebagai bagian entitas keagamaan mayoritas masyarakat Indonesia memiliki kontribusi dan catatan sosio-historis dalam pengembangan sistem demokrasi. Munculnya berbagai model partai politik berbasis Islam dengan ragam modifikasi dan format institusionalisasi kepartaian yang juga beraneka ragam jelas menunjukkan raelitas keberagamaan menjadi satu bagian tidak terpisahkan dari sistem sosial politik yang terjalin diantara hubungan agama dan politik demokrasi tanah air.

Namun demikian friksi kehadiran Islam dalam tatanan demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini dihadapkan pada persoalan konteks gerakan Islam yang diliputi oleh stigmatisasi yang menggelinding melalui aroma terorisme sehingga martabat keberagamaan diliputi oleh prasangkan identitas bahwa Islam sebagai kekuatan laten dan radikal dicurigai akan merongrong semangat demokrasi.

Selain persoalan itu cita gerakan Islam di Indonesia patut ditinjau ulang karena melihat tiadanya perkembangan yang signifikan terkait langsung dengan implikasi demokrasi yang dibangun pasca-reformasi. Lantas sebenarnya bagaimana posisi Islam dalam konteks pengembangan demokrasi di Indonesia mampu menjadi penggugah kesadaran bagi perubahan sistem politik yang berkembang saat ini dan dasar-dasar apa yang perlu dikembangkan untuk membuka kran akselerasi sistem kehidupan bermasyarakat yang betul-betul mampu menggerakkan fungsi reformasi untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan kehidupan sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia.

Seperti uraian judul yang ditawarkan panitia maka di sini harus diusahakan bagaimana agar Islam Indonesia mampu menjadi alternatif jalan buntu bagi proses reformasi. Salah satunya adalah mereformulasi cara baca dan langkah profetis untuk menata berbagai ketimpangan kelangsungan perubahan bangsa ini melalui berbagai cara seperti perlu ada ”reposisi ideologis” agar supaya nilai-nilai islam menjadi ruh dari semangat zaman dan mampu menjadi alat bicara bagi kelangsunan tatangan kebangsaan.

Sebagai modal dasar pengembangan sistem sosial politik (ad-din wa ad-daulah) di Indonesia maka beberapa hal reaktualitasi ajaran keagamaan maka Islam dapat dimaknai sebagai satuan ideologi demokrasi yang bertumpu pada prinsip :
1. syura, yang harus difungsikan sebagai institusi demokratis tempat membicarakan mekanisme negara-bangsa di atas kepentingan umat, dengan memperhatikan perbedaan sebagai suatu bagian proses dialektika demokrasi
2. wakalah, merupakan wakil rakyat yang mempunyai amanat menyelenggarakan proses berlangsungnya pemerintahan yang bersih dan mengembangkan tanggungjawab menyeleruh terhadap kepentingan masyarakat.
3. imamah, kedaulatan rakyat yang menjadi standar atas penegakan demokrasi merupakan wujud kemaslahatan bersama yang harus ditegakkan dalam al-imamah. Suara rakyat dalam demokrasi menjadi penentu atas kebijakan penyelengaraan negara.
4. mashalih al-ammah, tujuan berdemokrasi adalah kedaulatan rakyat. Dengan demikian, hasil demokrasi berpulang kepada kemaslahatan umat (manfaat bagi rakyat banyak) yang diberikan pemimpin kepada rakyat. Pemimpin adalah pelayan rakyat dalam berdemokrasi
5. tasamuh, nilai toleransi yang dikembangkan sebagai candra demokrasi yang mengedepankan penghargaan atas perbedaan. Bahwa kedaulatan rakyat dihidupi oleh dinamika interaksi dari berbagai ragam komunitas yang berbeda namun bisa memberikan semangat dialektis dalam membangun demokrasi sehingga fungsi-fungsi kedaulatan mampu berdaya secara heterogen (pluralistik) dan dinamis yang mencerminkan watak demokratisasi.
6. tawazun, sikap seimbang didasari oleh penjaminan hak-hak masyarakat dalam demokrasi dan nilai-nilai keadilan sebagai cermin berfungsinya kontrol sosial politik yang mendasari kokohnya politik kewarganegaraan. Melalui kemandirian sistem sosial politik masyarakat diharapkan demokrasi berjalan sesuai dengan prinsip kehidupan yang generik dan universal.

Keenam gagasan politik demokrasi tersebut harus pula didukung oleh nilai survival beruba strategi inklusif dengan dilandasi oleh sikap dan tindakan yang mencerminkan keterbukaan politik dalam rangka untuk menciptakan konstitusi demokrasi yang berazaskan pada fungsi-fungsi kontrak sosial dan nilai moral yang dikembangkan dalam sistem demokrasi kewargaan. Contoh nyata adalah proses kontrak sosial dan nilai moral yang dikembangkan Nabi dalam rangka menyusun satu konstitusi Piagam Madinah yang mendasari bagi terciptanya hubungan sosial politik yang terbuka dan seimbang.

Substansi Piagam Madinah adalah manifesto ideologi politik yang patut menjadi sandaran proses pembentukan sistem sosial demokrasi yang inklusif dengan watak tasamuhnya sehingga suasana dinamis tercipta dari konstruksi sosial yang plural atau heterogen. Strategi inklusif ini bisa tumbuh dari satu pemikiran dan sikap profetisme religius yang menyatakan bahwa gerakan Islam tidak melulu hanya terfokus pada instumen rasio mencari keuntungan dari reposisi kekuasaan an sich (profetisme ideologis) namun memberikan artikulasi tindakan demokrasi pada penguatan fungsi publik yang menjadi rancang bangun terwujudnya masyarakat warga yang terbuka. Adapaun strategi profetis religius dalam konteks gerakan politik di Indonesia dapat diambil beberapa jalur yaitu ;

1. Level ideologi politik
Agama Islam diharapkan memiliki kekuatan sebagai kritik ideologi untuk melawan represi politik ideologis dan nilai-nilai substansinya mampu ikut menjadi warna dalam menumbuhkan fungsi pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good government). Bisa saja Islam menjadi kekuatan opoisional dalam mengontrol dan mengendalikan struktur politik yang mungkin represif atau otoriter. Dalam konteks ini Islam mengambil inisiasi berhadap-hadapan dengan rezim.
2. Level sosial ekonomi dan demographic
Agama Islam dijadikan model penggerak etos kerja dan memfungsikan sebagai ranah transformasi kemajuan ekonomi. Mencipatakan keadilan dan pemerataan bidang ekonomi kemasyarakatan seperti Islam menjadi semangat bagi pembebasan kalangan mustadh’afien dari struktur ekonomi yang tidak adil.
3. Level ideologis-kebudayaan
Agama terintegrasi dalam sistem nilai sosial budaya. Domain afektif keagamaan diperkuat melalui semangat spiritualitas yang digali lewat pengayaan fungsi-fungsi batin umat sehingga cara pandang ideologis diwarnai oleh kekuatan daya nalar dan situasi jiwa yang menghidupi aneka ragam makna kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada tingkat afeksi keagamaan inilah level ideologi kebudayaan bisa mencakup esensi cara pandang dan sikap kebangsaan dalam rangka meningkatkan nilai harga diri sebagai cermin demokrasi yang merdeka atau bebas namun juga bermartabat (freedom and dignity).

Ketiga level pengembang strategi inklusif dalam mencapai keterbukaan politik itu maka selayaknya jika kita mengambil nilai-nilai islam sebagai satu kekuatan ideologi politik maka hal yang paling krusial dalam konteks pengembangan demokrasi di Indonesia adalah menjadi Islam sebagai kekuatan dasar-dasar pembentukan masyarakat berdaulat sehingga nilainya bisa terlibat penuh dan mampu berkiprah di ruang publik sebagai agama yang bisa hadir dimana saja (omnipresent).

Capain tersebut bisa menggagas lebih lanjut orientasi terbentuknya bangunan masyarakat Islam yang diperkuat melalui konstalasi gagasan pengembangan strategi ideologi yang bermuara pada penguatan islam kewargaan atau menurut Robert W. Hefner disebut sebagai civil islam.

Untuk melangkah kepada civil islam, yang paling baku adalah membersihkan agama dari unsur-unsur “komodifikasi politisasi egosentris” yang banyak melekat dalam ciri-ciri masyarakat modern. Namun harus dilandasi oleh spirit yang hidup dalam sebuah perdamaian sebagai kerangka motivasi tumbuhnya model keberagamaan dengan menekankan pada sikap ideal -- meminjam bahasa Psikolog Viktor G. Frankl -- hidup penuh makna (meaningfull). Kebermaknaan dalam arti bukan ukuran personal, yang cenderung sebagai kamuflase dari pembelaan atau truth claim egosentris, melainkan kebermaknaan untuk kemanusiaan dan tidak mengukur manusia dari simbolisasi atau atribusi kehidupan yang terkadang menjebak pencarian makna hidup hanya pada dimensi “badan wadag”nya, lalu mengabaikan unsur-unsur hakiki manusianya. Jadi mewujudkan civil Islam memerlukan suatu perubahan psikologis dari pribadi para penganut Islam.

Dalam arti demikian pribadi muslim tidak lantas membutakan diri dari persoalan dunia global. Tantangan keberagamaan tidak cukup hanya pada spiritualitas pribadi muslim, akan tetapi globalisasi menuntut suatu sikap arif dan bijak untuk diplomasi global, bargaining position untuk politik perdamaian dunia. Spiritualitas tanpa komoditas. Artinya, sikap dan keterlibatan untuk mewujudkan perdamaian dunia bukan karena ketergantungan dan kepatuhan pada suatu “teritorial atau negara” tertentu, yang sikap ini hanya semata-mata membalas jasa atas penyelamatan domestik bidang politik dan ekonomi.

Motivasi politik dan ekonomi global bagi Islam adalah keakraban budaya dan peradaban yang bermuara pada kekuatan moral global bagi tercapainya politik perdamaian dunia tanpa syarat. Spiritualitas yang terbangun dari gagasan anti kekerasan, yang kemudian penulis sebut sebagai islam kewargaan, adalah suatu proyek peradaban dari segi etika pergaulannya yang bisa diwujudkan melalui kaidah dan wadah politik dunia dengan perangkat institusional atau non-institusional, struktural atau kultural, dan disertai dengan kematangan emosional sebagai modal dialektis bagi prasyarat dinamika peradaban.

Perangkat yang dibutuhkan antara lain memperkuat kemandirian ekonomis, partisipasi politik nir-kekerasan, kematangan psikologis --kesiapan antisipatif menghadapi beragam percampuran budaya-- umat Islam untuk mendukung peran mewujudkan politik perdamaian dunia di tengah goyahnya politik dunia yang antah berantah sekaligus memperkokoh bergaining position sebagai sarana memperkuat berjalannya sistem demokrasi.

Misi utama dari gagasan civil Islam yaitu memprakarsai gerakan politik yang bercita “perdamaian dunia tanpa perang” dengan standar kemanusiaan di atas wilayah-wilayah, negara-bangsa dari pada sekedar permainan kuasa. Dari misi ini dapat diupayakan untuk mewujudkan spirit keadilan bagi semua, membebaskan ketertindasan ekonomi dan politik dari sekedar pola kambing hitam atas negara-negara Adi Kuasa. Islam yang diterjemahkan sebagai kelakar politik kewargaan perlu didukung oleh kekuatan sosial-ekonomi yang berkeadilan, budaya politik anti kekerasan, baik dalam skala lokal atau global. Kalau umat Islam berani mengambil peran dan masuk dalam skala prioritas strategi politik baik di Indonesia atau dunia maka secara psikologis umat ini tidak hanya menjadi “penonton yang cemburu”, akan tetapi bisa menjadi prakarsa mendukung terciptanya agenda politik perdamaian dunia demi melahirkan sebuah “peradaban politik tanpa perang”.

Daftar Bacaan
Mohammad Shoelhi (ed.). 2003. Demokrasi Madinah, Model Demokrasi Cara Rasulullah. Jakarta: Republika
Muhammad AS Hikam. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES
Komaruddin Hidayat. 1998. Tragedi Raja Midas. Moralitas Agama dan Krisis Modernitas. Jakarta: Paramadina
Sholeh Isre (ed.). 1998. Tabayun Gus Dur. Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural. Yogyakarta: LkiS

No comments: