Tuesday, October 21, 2008

Ngabuburit


NGABUBURIT, Hibriditas Keberagamaan Kaum Urban

Komunitas urban dalam bentuknya yang bervariasi melahirkan sejumlah ekpresi baru keagamaan yang bergayung bersambut bersenyawa dengan replikasi kebudayaan populer. Tuhan disembunyikan dalam bentuk perayaan, hiburan dan hingar bingar tontonan yang melebur ke dalam sub-tindakan dan kepercayaan keagamaan. Begitulah simpulan praktis untuk mencoba memberikan artikulasi terhadap budaya ngabuburit saat jelang buka puasa di bulan Ramadhan. Budaya ini menghadirkan ramadhan sebagai momentum komodifikasi dan tidak menghadirkan ramadhan sebagai semangat spiritualitas.

Di Yogyakarta, sepanjang Boulevard Universitas Gadjahmada, sempat terukir hiruk-pikuk ngabuburit sebagai salah satu kegiatan jelang puasa, sebelum pada akhirnya kegiatan itu dibubarkan oleh sejumlah kelompok laskar dari kalangan Islam garis keras karena sebagian besar kerumunan orang itu didominasi oleh perayaan tubuh perempuan dengan pakaian-pakaian superketat sembari menjual menu atau kue ta’jil. Di Malang, sepanjang jalan Soekarno Hatta, kerumunan orang tumpah ruah memadati ruas jalan yang tersentral di depan Taman Budaya. Tidak ada aspek keagamaan dalam bentuk yang nyata, kecuali tumpah ruah orang dengan beragam manifestasi perilaku dengan memanfaatkan momentum jelang buka puasa melalui berjualan kue ta’jil.

Ta’jil, dari sunnah ke komodifikasi

Ta’jil sebenarnya merupakan salah satu di antara sekian tuntunan yang disunnahkan Islam sebagai varian bertambahnya pahala dari pelaksanaan ibadah puasa. Nabi menganjurkan segera membatalkan puasa ketika seorang muslim mendengar atau melihat waktu berbuka telah tiba. Ta’jil secara harfiah bermakna bersegera. Nabi juga memberikan anjuran agar umat Islam berbuka dengan buah yang masih segar. Di kultur padang pasir, buah yang disunnahkan untuk ta’jil adalah kurma.

Berbuka puasa merupakan momentum harian dari ritual puasa agar umat yang berpuasa bisa segera membebaskan diri dari rasa lapar dan dahaga. Tuntunan syariat semacam ini juga menjelaskan adanya larangan berpuasa tanpa berbuka. Syariat puasa ramadhan dengan demikian merupakan anjuran yang membedakan praktik ritual mistik seperti puasa patigeni (jawa), sebentuk ritual puasa untuk tujuan tertentu tanpa berbuka. Oleh karena itu, justru ketika orang memperlambat berbuka sementara ia sendiri sudah mendengar dan melihat tanda-tanda berbuka, hukumnya makruh. Dengan bersegera berbuka, seseorang yang berpuasa akan mendapat pahala karena ia merupakan salah satu anjuran yang disunnahkan.

Ta’jil mengakar menjadi tradisi di masyarakat pedesaan diterjemahkan dengan menghadirkan buah-buahan yang dimasak dalam bentuk kolak sebagai makanan pembuka dalam berbuka puasa. Ta’jil menjadi salah satu menu masakan dan ia dimaknai sebagai bagian dari proses ubudiah (sunnah) berbuka yang dipraktikkan oleh keluarga di desa dan juga dapat kita jumpai di sejumlah masjid-masjid yang kerapkali menghidangkan ta’jil sebagai sedekah. Di pedesaan ta’jil meniscayakan kelengkapan masakan sebagai ruh penyegar diantara menu makan yang dimaknai dekat untuk mendapatkan tambahan pahala dan ia memberikan sebentuk manifestasi tradisi menu makanan bagi keluarga luas (extended family).

Ta’jil menggambarkan unsur kebahagiaan yang dapat dirasakan bersama-sama dalam bentuk kolak buah bagi keluarga yang sedang berbuka. Selain bermakna ibadah, ta’jil melibatkan taste kesegaran yang menghilangkan rasa haus setelah seharian berpuasa. Ia menjadi menu teristimewa bagi lidah orang desa sekaligus pengiring semangat berbuka.

Fakta ta’jil di masyarakat perkotaan mengalami metamorfosis yang cukup beragam melebihi fakta sebagaimana ta’jil hadir sebagai fenomena extended family di pedesaan. Ta’jil pada akhirnya hadir di komunitas kaum urban merangkai budaya komodifikasi yang identik sebagai metamorfosis budaya populer, persinggungan fungsi ekonomis yang menggerakkan dinamika hubungan antarorang sebagai buah mengambil keuntungan, dan disela-sela itu dirangkai bentuk-bentuk pertunjukkan dan perayaan untuk memediasi ketertarikan massif melalui momentum keagamaan yang pada dasarnya dianggap universal. Ta’jil melahirkan dan mempertemukan kontekstualisasinya dalam budaya ngabuburit yang hadir sebagai bentuk subkultur komunitas urban sebagaimana bisa diamati bentuk ngabuburit di Kota Malang di sepanjang jalan Soekarno Hatta.

Ketika ta’jil hadir dalam bentuk ngabuburit, ia bersemayam dalam heterogenitas makna kehadiran yang saling membentuk wacana dan juga berlindung dibalik bentuk absolut tunggal seperti agama. Pada akhirnya, persinggungan diskursif sebagai praktik dalam bentuk ngabuburit antara agama, ekonomi, perayaan, kerinduan terhadap momentum berkumpul menjadi subkultur yang menegasikan momentum ramadhan sebagai modal spiritual bagi praktik keberagamaan. Tuhan dan aneka ragam ajaran yang berkelindan dalam tradisi ramadhan berubah menjadi habitus baru dan dimodifikasi dalam berbagai keuntungan material dalam berbagai bentuk daya tarik pertunjukkan, fashion, hingar-bingar komunitas, yang digerakkan oleh ruang dan waktu yang disebut momentum (jelang buka puasa).

Budaya ngabuburit lebih dekat sebagai subkultur kaum urban dengan mengambil momentum ramadhan (jelang berbuka) dan mendiskursifkan ta’jil dalam kerangka komodifikasi. Momentum ini merupakan kelahiran dari secuil manufer konsumtif (hasrat makan) berbaur menjadi siasat massif sebagai persuasi kolektif sehingga menarik menjadi fokus (berpusatnya) orang untuk berkumpul. Oleh karena itu ngabuburit tidak lain adalah sebentuk subkultur komunitas urban dan memunculkan ragam imitasi kolektif yang saling melebur di antara kebutuhan konsumtif, gaya hidup, kebutuhan insidentil dengan memakai payung monumental praktik atau ritual keagamaan.

Jikalau dipotret dari kerangka kerja poskolonial Hommi K. Babha, ngabuburit adalah perkawinan silang yang disebut hibriditas (semangat tiruan yang melahirkan budaya baru) yang tidak seimbang dan simplistis dari proses decoding-recodeing-overcoding dengan corak perubahan evolusioner (Sunaryo. 2004. Hermeneutika pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius). Dalam budaya ngabuburit perkawinan itu menjadi semangat hiperrealis yang mengambil perjumpaan arbiter antara berbagai kebutuhan manusia. Dikatakan memberikan keuntungan ekonomi, tidak selamanya, karena sangat mencolok diantara para mahasiswa yang berjualan hanya menunjukkan siasat daya tarik, hingar-bingar, representasi watak populer yang begitu nyata namun dikaburkan berbarengan dengan meminjam ta’jil sebagai medan interaksionisme simbolik yang direpresentasikan secara kolektif.

Bagi pengunjung, ngabuburit tidak lagi bermakna sunnah sebagaimana ruh ta’jil dari semangat berbuka. Maka dari itu, ngabuburit tidak semata adalah bentuk kesalahan/penyimpangan puasa ramadhan tetapi begitulah keberagamaan kaum urban yang mendiskursifkan keberagamaan menjadi kegiatan momentum yang dipertautkan diantara beragam kebutuhan untuk menjawab lahirnya watak urban yang bermuara disemayami oleh adanya kerinduan orang terhadap manifestasi berkumpul, perayaan, hingar-bingar, daya tarik dan hasrat konsumtif yang bertahan berdasarkan hukum kecenderungan (trend). Terlalu jauh kiranya menuntut komunitas urban menyadari kedalaman makna spiritualitas ramadhan yang esoteris melalui ngabuburit. Melalui watak hibriditas, pada akhirnya budaya ini tetap akan berevolusi dalam bentuknya yang baru melalui ramadhan sebagai momentum dan medan budayanya.

1 comment:

Dani Wahyu said...

Thanks infonya. Oiya ngomongin ngabuburit, ternyata ada loh kegiatan ngabuburit yang bermanfaat dan diklaim bisa bikin kaya. Cek di sini ya man teman: Kegiatan ngabuburit yang berfaedah dan bikin kaya