Wednesday, October 15, 2008

Resensi Buku


Reorientasi Akal Budi untuk Waktu Senggang


Judul : Kebudayaan dan waktu senggang, Penulis : Fransiscus Simon,
Penerbit : Jalasutra Yogyakarta, Cetakan : 1, April 2008, Halaman : xv+134

Waktu senggang tidak selalu identik dengan menganggur dan kehilangan pekerjaan. Apalagi meningggalkan pekerjaan. Kebutuhan orang terhadap waktu senggang juga bukan semata-mata berorientasi tentang penjelasan terhadap cara kita beristirahat oleh karena kecapekan setelah seharian bekerja keras. Bukan juga cara bagaimana beristirahat yang baik melalui tips psikologis untuk mencapai kualitas istirahat dan menekan laju angka stres dalam bekerja. Waktu senggang adalah manifestasi kultural manusia yang dihidupi oleh bertumbuhkan dialektika akal budi merajut akar kemanusiaan dan kebebasan. Waktu senggang juga bukan semata habitat keindonesiaan tentang jagongan, ngerumpi, omong kosong bagi orang yang sedang tidak bekerja. Waktu senggang membuat medan sosial tersebut lebih bermakna filosofis daripada makna perayaan hedonistik.

Mengapa demikian ? Waktu senggang yang dimaknai sebagai rekreasi telah terperangkap dalam dalil modernisme yang selalu dihubungkan dengan pekerjaan dan uang. Kualitas waktu senggang kemudian ditentukan oleh kesanggupan dalam membayar dengan sejumlah uang untuk rekreasi, menempati sebuah villa, menonton film, dan bisa saja menghadirkan orang untuk datang ke rumah untuk membantu mengajak tertawa karena waktu sudah sedemikian padat.

Waktu bermanja, luang, santai, bahkan makna senggang hilang sebatas menjadi fungsi rekreatif yang ditempatkan sebagai terapi merefresh kondisi andrenalin oleh karena dikuras oleh rutinitas kerja. Pemerintah sendiri justru menempatkan area waktu senggang menjadi mobilisator ekonomi. Kebijakan libur/cuti bersama yang bertumpuk difungsikan sebagai parameter peningkatan pendapatan di bidang pariwisata. Watak ini masih jauh dari hamparan narasi inspiratif waktu senggang.

Buku Fransiskus Simon mengajak kita untuk melakukan titik balik terhadap kebudayaan yang berdimensi tunggal, meminjam bahasa Herbert Marcuse, one-dimenssion man, kemanusiaan yang bertumpu pada operasionalisasi kerja dan uang. Ia mengajak menyadari bersama untuk keluar dari logosentrisme manusia yang berdimensi tunggal, melalui kritisisme eksistensi waktu senggang.

Inspirasi waktu senggang bukan dihadapkan sebagai keniscayaan antikerja, identik dengan menganggur atau mengajak orang untuk membuang ruang kerja dalam bereksistensi. Filosofi waktu senggang jauh dari ajakan menganggur dan meninggalkan pekerjaan. Waktu senggang menyandarkan salah satu contoh hidup di zaman Yunani Kuno. Masa itu momentum waktu senggang menghidupi modus eksistensi manusia sebagai kegiatan berbudaya.

Narasi hidup Socrates, Plato dan Aristoteles adalah contoh dari anak zaman yang dihidupi oleh kebudayaan waktu senggang. Mereka-lah contoh orang bebas dari dua model pemilahan masyarakat polis di Yunani Kuno yang membedakannya dari para budak. Orang bebas berdinamisasi menghidupi ranah filosofis, dunia akademisi, pergulatan estetika dan seni, bidang politik, organisasi dan debat. Sementara para budak adalah kumpulan yang mewakili dunia praksis dan operasional kerja seperti berkebun, melayani majikan, membuat benteng dan kota. Aktifitasnya dipadati dengan kerja fisik dan kasar sehingga waktu senggang mereka tidak memungkinkan untuk berproses sampai pada tataran filosofis. Walaupun toh ada, itu sangat terbatas (hal. 59-60).

Yunani Kuno adalah basis inspirasi yang menggambarkan tatanan masyarakat unik. Masyarakat urban, civic, sekuler, tidak dijajah raja, bebas dari upeti, dan tidak dikuasai oleh diktator dan pembesar agama. Masyarakatnya bebas berdinamisasi dalam keleluasan sehingga lebih punya peluang untuk berpikir, berkontemplasi, berdiskusi mencari ujung tombak kebenaran. Menegosiasi kebenaran untuk kohesi politik kemasyarakatan. Ragam aktifitasnya bernilai etis-estetik yang menghadirkan kenikmatan hidup bermasyarakat.

Di sinilah waktu senggang jauh dari kesan menganggur, bermalas-malasan dan rekreatif (Hal. 61) yang sekedar meregangkan dari penat kerja dan kompetisi berebut untung. Atau diubah menjadi komodifikasi rileks seperti gaya berpijat spa dan bermanja dengan luluran. Waktu senggang adalah menghidupi kesadaran makna melalui kontemplasi hingga pencapaian spiritualitas. Begitulah kebudayaan seharusnya dihidupi melalui gagasan artes liberales, bahwa suatu aktifitas menjadi dihargai dengan suatu kehormatan (Hal. 91-94). Waktu tidak saja dihitung oleh keuntungan, namun ia berkorelasi dengan harga diri seseorang. Jika waktu dan kerja diposisikan terkait erat dengan signifikansi makna dan harga diri niscaya tidak ada waktu dan kerja yang memunculkan KKN akibat pencarian hasil yang hedonistik.

Waktu senggang sebagai karakteristik budaya digali oleh Fransiskus Simon dari pemikiran filosof Jerman Josef Pieper (1904-1997) dan unit analisisnya disandingkan dengan strategi kebudayaan C.A. van Peursen. Pieper merajut makna dari waktu segang sebagai inspirasi kemanusiaan dan fundasi keadaban. Ia memiliki sejumlah pilar kebudayaan. Ada pilar imajinasi dan kontemplasi yang melahirkan penalaran akal budi. Ia melibatkan kinerja sekaligus intuisi dan perasaan. Juga meniscayakan pilar kritis atas mode of being manusia yang berhamburan tumpukan hasrat instan, kebahagiaan semu dan sebentuk ragam cinta kenikmatan. Melalui kontemplasi manusia beranjak mengetahui untuk menggapai dan mencipta kebahagiaan agar bisa menyikapi secara bijaksana penderitaan dan absurditas kehidupan.

Waktu senggang melahirkan tatalaksana berbudaya. Didalamnya manusia tidak saja melakukan diskursus rasional tetapi merajut senarai nilai, tujuan, hakikat hidup, menggayut kedalaman batin, atau bernegosiasi untuk kepentingan kebersamaan. Sikap matang menggauli realitas secara meluas, terbuka, arif, dan keterpaduan untuk memahami persoalan. Waktu senggang adalah the art of silence, seni dalam diam yang tidak berarti membisu. Sikap diam yang merayakan. Berisi keterbukaan dan penegasan (Hal. 65).

Waktu senggang menghidupi kerja dalam kesatuan makna, kreatifitas, inspirasi kritis terhadap diri, menyadari kemanunggalan hidup dalam dunia batin setiap diri, merajut kohesifitas diri berjejaring meraih kesejatian dalam proses pembelajaran berbudaya guna mencapai keadaban. Kehadiran waktu senggang mewadahi setiap orang memecahkan persoalan secara opend-mind, ragam paradigma diintegrasikan, kesalinghubungan yang kaya itu dirayakan untuk memeroleh kebaikan bersama (Hal. 99). Waktu senggang dengan demikian mensyaratkan hadirnya orang bebas yang tiada terhamba hedonisasi, tidak terjajah dan terkebiri oleh kuasa negara, ideologi dan agama. Ia perlu hadir dalam kebudayaan yang membebaskan agar supaya orang selalu memiliki peluang merefleksikan diri secara otonom dan tetap mampu berimajinasi, berintuisi dan merasa. Berebutlah demi sebuah waktu senggang yang didasari oleh kekuatan akal budi !

2 comments:

Anonymous said...

http://markonzo.edu It is a very good thing, ashley furniture price [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536072]ashley furniture price[/url], wyfsktt, allegiant air verdict [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536075]allegiant air verdict[/url], gqrtoaa, pressure washers info [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536078]pressure washers info[/url], wnxot, dishnetwork blog [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536080]dishnetwork blog[/url], wvgmedx, adt security preview [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536076]adt security preview[/url], okrsid,

Unknown said...

pak' boleh nanya ngga'??
bapak punya buku fransiskus simon tentang kebudayaan dan waktu senggang??
saya lagicari buku ini, klu boleh nnti lewat email saya saja balasnya pak, minta petunjuk untuk buku ini.