Sunday, September 05, 2010

PUASA MEMBELAJARI KEIKHLASAN


Ikhlas, dalam praktik beribadah, merupakan situasi psikologis yang paling rumit. Ikhlas diibaratkan jikalau kita beramal dengan tangan kanan, maka tangan kiri tidak tahu gerak amalan tangan kanannya. Dalam bulan ramadhan, keikhlasan kaum muslimin ditempa dan diuji melalui berbagai peristiwa kolektif dan pribadi. Puasa mendidik keikhlasan yang mempribadi. Puasa ditengarahi adalah ibadah yang langsung terhubung dengan Tuhan. Hanya Tuhan dan diri manusia sendiri yang tahu sehingga puasa mendidik hati secara otentik. Bahkan Tuhan menghargainya dengan mengganjar langsung terhadap umatnya yang melakukan ibadah puasa.

Merujuk pada kemuliaan puasa maka makna puasa memberi peluang mendidik hati untuk belajar ikhlas. Ikhlas adalah soal otentisitas pribadi. Ia disandarkan pada niat yang kuat bagi seseorang sebagai basis penentu perilaku beribadah atau beramal. Ketika orang tidak ikhlas dan mengharap pujian dari orang sekitar maka mereka akan terjebak pada ibadah riya’. Ibadah yang dilakukan karena mengharap pujian dan penghargaan dari orang lain. Ibadah yang dilakukan dengan riya justru akan menghapus ibadah itu sendiri. Keikhlasan adalah kekuatan yang akan selalu diuji dan digoyang oleh beragam self interest. Oleh karena itulah ibadah puasa sebenarnya digerakkan dari kerangka spiritualitas mengenai hakikat pribadi yang otentik. Puasa meletakkan fundasi keimanan dalam ranah spiritualitas yang mebebaskan diri manusia dari berbagai kepentingan yang mempribadi.

Ikhlas merupakan makna ibadah yang tidak mempublik, tetapi mempribadi. Artinya bahwa orientasi ibadah bukan ingin mendapat derajat kemuliaan karena mendapat imbalan dari orang lain atau sanjungan karena perbuatan baik seseorang. Puasa membelajari diri melepaskan nafsu kuasa manusia. Orang yang terbiasa konsumtif, dalam puasa orang-orang diajak untuk melepaskan diri dari hegemoni konsumsi. Melalui puasa, seorang beriman terlatih menjadi pribadi yang mampu mebebaskan belenggu materialisme, keserakahan, nafsu syahwat dan tidak memperkenankan membentuk hubungan sosial timpang terhadap sesama. Puasa secara substantif mengelaborasi pemaknaan ikhlas sebagai tolak ukur kunci bagi keberhasilan umat untuk mencapai derajat tertinggi di hadapan Tuhan.

Pemaknaan Ikhlas yang mempribadi dapat ditransformasi dalam realitas sosial dalam berbagai bentuk laku pembebasan. Orang diajak untuk memperbanyak amal soleh yang bersifat sosial, membebaskan umat dari kemiskinan, membantu sanak-keluarga dekat yang mengalami kesulitan hidup. Semua itu lebih mulia dilakukan pada saat puasa ramadhan.

Mengapa ? Puasa menjadi bengkel hati agar manusia secara sengaja diajak untuk melakukan ibadah yang terhubungan pada dua dimensi. Dimensi pertama tersambung dengan kualitas ibadah langsung dengan Tuhan. Dimensi kedua kualitas ibadah yang tersambung dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dua dimensi ini perlu diseimbangkan. Ibadah puasa memperkaya kematangan diri sebagai manusia unggul (the mature of personality) yang tidak dihamba oleh konsumsi, kuasa, atau varians dari bentuk-bentuk self fulfiing prophecy.

Ikhlas mempribadi dalam matra sosial yang tak memantik hasil dari laku sosial. Ia tidak memupuk kepuasan diri untuk menaikkan obsesi derajat pribadi di mata Tuhan atau obsesi derajat di mata manusia. Obsesi derajat pribadi di mata Tuhan dapat diartikan bahwa ketika ibadah yang kita lakukan terobsesi karena surga, justru neraca iman kita terdidik memupuk self-interest terhadap Tuhan.

Ikhlas lebih bermuara pada mencapai ridho Allah yang bermakna tawakal. Bahwa seluruh ibadah yang kita rajut semasa hidup semuanya diserahkan ke hak prerogratif Allah untuk mengganjarnya atau tidak, karena yakin bahwa keputusan Allah terhadap amal hambanya adalah mutlak. Surat An-Nisa 146 menjelaskan bahwa “kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar”.

Ikhlas juga mendidik manusia tidak mengukur derajat amalannya untuk menaikkan obsesi derajat di mata manusia sehingga tidak memilih-milih amalan atau sedekah. Ikhlas membebaskan diri dari obyek kuasa terhadap makna sedekah dan ibadah. Ikhlas adalah ibadah yang bisa ditransformasikan pada dunia sosial untuk memeratakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama.

Sebuah riwayat mengisahkan “Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana engkau ?” maka dia pun berkata “Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengannya ?” orang itu pun menjawab : “Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah, malaikat itu pun berkata “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya” (HR. Muslim).

Hadits ini mengajarkan keikhlasan yang memesona. Persaudaran telah dibebaskan dari hukum transaksional. Di sinilah sebenarnya amalan puasa disandarkan pada muara ke-ikhlas-an karena kecintaan terhadap Allah. Karena puasa adalah ajakan agar manusia menyadari dan mau mengukur kecukupan kebutuhan dirinya. Selebihnya, manusia dianjurkan untuk berbagi atas kelebihan yang dimilikinya.

Puasa mendidik ikhlas dengan mendaulat diri umat agar tidak terjebak kepada kepemilikan absolut. Puasa mengajak melepaskan dimensi kepemilikan untuk disharingkan ke manusia lain. Hasil sharingnya juga tidak dihitung sebagai prinsip transaksional tetapi dihitung sebagai amal ibadah yang semata-mata ditimbang karena kecintaan terhadap Allah. Suatu amal yang tidak mengharap imbalan popularitas, keuntungan dan kesahajaan karena sanjungan orang lain. Bahwa semua ibadah terfokus untuk mendapat ridha Allah SWT sebagaimana hakikat ibadah puasa adalah rahasia Tuhan dan manusia.

Puasa mengajak umat untuk keluar dari belenggu egosentrisme. Manusia ditempa untuk mengenali ego dan melepaskan egosentrisme. Misalnya dalam etika makan, seorang yang berpuasa disunnahkan untuk makan tanpa dihantui kekenyangan. Etika itu mengisyaratkan agar ibadah puasa diisi dengan latihan mengelola ego makan. Sebuah ranah spritualitas yang dapat disamakan bobotnya dengan belajar ikhlas.

Puasa dimaknai melebihi fakta makan dan minum. Karena keduanya, manusia sering terperangkap memupuk diri menjadi manusia-manusia tamak, egosentris, mengejar kepuasan dan kemanjaan hidup. Puasa mengajak manusia untuk mengatur ego agar mampu nrima. Sebuah entitas kecil dari upaya menuju ikhlas. Ketika nrima menjadi lokus kepribadian, maka manusia akan mudah belajar ikhlas. Untuk menjadi kekuatan transformatif maka ikhlas harus dimulai dari diri sendiri dan puasa merupakan medan pengkondisian agar manusia terbiasa dalam siklus berkecukupan. Saat kita mampu mengukur rasa kebercukupan, maka ikhlas akan membahana menjadi kesadaran otentik tentang situasi tanpa pamrih dalam beribadah/beramal, kecuali hanya mengharap kecintaan kepada Allah SWT.

No comments: