Monday, September 13, 2010

Ronda Tetek, Bergeliat dalam Perubahan


Ronda tetek adalah satu tradisi masyarakat pedesaan yang hidup semarak di saat bulan ramadhan. Geliat ronda tetek bergema dalam berbagai irama alat musik tradisional yang sebagian besar dibunyikan dengan cara dipukul. Ronda tetek didominasi oleh alat musik kentongan dalam berbagai bentuk dan ukuran. Alat itu dibuat tergantung pada kebutuhan personel pemukul dan jenis bunyi yang diinginkan, mulai dari not yang paling rendah sampai not tertinggi.

Pada 16 tahunan yang lalu, alat pukul pada ronda tetek didominasi oleh jenis kentongan. Alat musik jenis ini, kalau dijenjang berdasarkan kelasnya, berada di rata-rata kemampuan pengadaan, dan jenis ketrampilan rata-rata. Sementara, untuk jenis kentongan yang lain, ada jenis kentongan dengan bentuk “clontang”, bentuknya mirip dengan angklung. Notasi-nya lebih beragam dan kompleks. Selain kedua jenis alat tersebut, untuk bas-nya biasanya menggunakan drum tempat air atau tempat minyak (jurigen). Dua jenis alat ini adalah inti dari alat yang digunakan untuk ronda tetek.

Sementara itu, dalam dasawarsa terakhir, alat-alat ini telah mengalami penambahan untuk memperkaya harmoni ronda tetek. Terakhir, dalam pengamatan saya, alat-alat ini telah dikombinasikan dengan instrumen musik modern dengan berbagai ketrampilan memainkan musik. Penambahan instrumentalisasi ronda tetek dibarengi dengan peran dalam kelompok-kelompok kaum muda yang sudah bersentuhan variasi ketrampilan untuk memaknai ronda tetek.

Ronda tetek yang saya alami sekitar 16 tahun silam, adalah sebentuk modal sosial yang dimainkan oleh kalangan remaja pecinta langgar dan mushola yang dimaksudkan sebagai solidaritas sebagai pengingat untuk waktu sahur bagi orang-orang yang sedang berpuasa telah tiba. Pukulan kentongan dengan irama khas, menjadi kegiatan rutin dengan siklus waktu diantara jam 1 pagi hingga menjelang imsak.

Ronda tetek menjadi identitas sosial para ramaja yang waktu tidurnya dihabiskan di masjid-masjid dan mushola di kampung-kampung. Identitas remaja pencinta mushola dan masjid ini memang menggejala di era 1980-an. Hampir di setiap mushola dan masjid di kampung, di situlah remaja yang mencintai agama seolah menjadi santri bayangan dan penyangga kegiatan masjid dan mushola. Termasuk di dalamnya adalah ritme lokal yang menggerakkan ronda tetek saat ramadhan.

Ronda tetek tidak bisa dilepaskan dari proses sosialisasi masa remaja. Aktifitas ronda tetek menyiratkan dinamika interaksi kreatifitas bagi remaja-remaja di kampung. Bahkan ia merupakan metamorfosis bagi upaya tetap meruwat kekayaan kearifan lokal desa melalui geliat dinamika kesenian tradisional berlatar instrumen bambu lokal yang dimodifikasi menjadi peralatan musik.

Melalui peralatan musik ini mereka belajar berinteraksi untuk sesuatu yang produktif. Mereka mencoba mengeja not-not melalui bahan-bahan tradisional. Remaja-remaja ini mencoba membangun imajinasi seni. Mereka bersama-sama mencari bahan-bahan dari bambu. Mereplikasi alat-alat ini agar sesuai dengan imajinasi kolektif mereka sehingga melahirkan bunyi yang menyeruak menjadi suara batin remaja pecinta mushola. Bunyi-bunyi ini menyemburatkan identitas dan kuasa remaja. Seolah bunyi kentongan ini yang terangkum dalam irama kolektif menjadi suara batin mereka. Suara kentongan menandaskan ko-eksistensi bahwa mereka ada bersama bunyi kentongan.

Remaja-remaja ini, sebagaimana penulis juga pernah mengalami proses ini, berburu untuk membangun kolektifitas dan identitas sosial melalui bunyi kentongan. Ada perasaan bangga. Saat kembali ke rumah, sebagian dari mereka selalu bercerita tentang kapasitasnya dalam membentuk khazanah lokalnya melalui kentongan dengan para orang tua mereka.

Bahkan, semangat kolektifitas ini menjadi identitas sosial yang mengakar ke basis-basis mushola tertentu karena hampir pasti setiap mushola selalu memiliki kelompok ronda tetek. Terkadang mereka mengalami bentrok, dan kejar-kejaran untuk menegaskan otoritas mereka dalam ronda tetek. Di jalanan gelap mereka berseteru atau saling mengejar. Tidak ada motif kecuali penguatan identitas sosial dalam ronda tetek. Bahkan jika mereka berpapasan dalam gelapnya malam, meskipun tidak berseteru, atau saling mengejar, mereka tetap berpapasan dengan mengencangkan pukulan kentongan mereka. Di benak remaja ini, mereka ingin mempertahankan irama kolektifitas dari bunyi kentongan. Mereka memukul sekencang-kencangnya. Seolah ingin menjadi penguasa suara dominan dan mengalahkan dari kelompok lain saat berpapasan. Biasa, sebagian dari alat-alat kentongan mereka sampai pecah berantakan. Meskipun bukan suara dominan, tetapi suara antah berantah bagaimana perbenturan antar kelompok remaja ini menyeruah pada suara-suara kentongan di musim ronda tetek pada bulan ramadhan.

Geliat itu sekarang telah bergeser. Remaja-remaja yang terkadang adalah santri bayangan (kalongan), hari ini nyaris telah hilang. Masjid dan mushola di kampung saya, nyaris tidak dihidupi oleh kekuatan remaja pecinta masjid dan mushola. Demikian juga dengan riwayat ronda tetek. ronda tetek telah diperankan oleh remaja-remaja dengan latar belakang bervariasi. Yang saya amati hari ini, ronda tetek dimainkan oleh remaja-remaja dengan identitas sosial tidak berbasis masjid dan mushola, tetapi berbasis pada kelompok-kelompok remaja cangkrukan atau semi gang kampung.

Bergesernya identitas pemain ronda tetek ini membawa pergeseran instrumentalisasi dari semata tradisional menjadi peralatan yang sudah dikolaborasikan dengan peralatan musik-musik modern. Alunan lagunya pun telah mengambil lagu-lagu trend dalam budaya pop masa kini. Geliat ini tentu juga menggeser otentisitas makna dan bentuk sosialisasi remaja kampung hari ini. Geliat di mana ketenaran, gaya hidup dan narasi-narasi pop menjadi suara dari proses komunikasi remaja-remaja hari ini. Saya mengamati, komunikasi mereka juga bercampur dengan remaja-remaja yang berkumpul di pinggir jalan, pelaku bilyard dan remaja yang dilatarbelakangi oleh perilaku-perilaku sedikit berbeda dengan etiket masyarakat desa.

Di sini saya memaknai nuansa ronda tetek berbalik menjadi aura budaya pop, bersifat hura-hura, dan menyeruak aroma remaja yang cara bereksistensinya juga berbeda.

Tetapi, meskipun demikian dinamika modal sosial dan proses sosialisasi ini merupakan fenomena desa dimana akar-akar seni tradisional juga mengambil bentuk-bentuk yang lebih variatif di hari ini. Bahkan sekarang geliat itu menguat dalam lagu-lagu populer dengan membawa sound-system yang berkekuatan massal. Pemutaran musik kencang yang dibawa dengan transportasi gerobak disel, menguat di akhir ramadhan, mirip sebuah pesta jalan dengan lagu-lagu populer. Terkadang sedikit mengganggu dan menggeser ronda tetek. Meskipun ronda tetek juga masih bertahan dalam berbagai kombinasi instrumental musik tradisional dan modern.

Bisa saja, kombinasi peralatan tradisional dan modern ini merupakan matarantai menguatnya musik-musik religi seperti kiai Kanjeng dan dentuman musik sholawat yang telah termodernisasi. Nampaknya, ronda tetek hari ini juga bergeser mengekor pada model populer seni religi yang menyeruak dalam budaya massa yang didoktrinkan melalui layar kaca.

No comments: