Thursday, September 16, 2010

Sangu, Simbolisme Material Dibalik Silaturrahmi


Segerombolan anak-anak dengan gegap gempita keluar masuk pintu, berpindah dari satu rumah ke rumah lain dalam deretan rumah-rumah renggang di sebuah kampung. Fenomena ini saya amati di kampung kelahiran saya di Sambidoplang, Sumbergempol, Tulungagung. Rata-rata usia mereka kisaran Sekolah Dasar dan sebagian kecil adalah anak-anak yang sudah menginjak usia Sekolah Menengah Pertama. Mereka digerakkan oleh semangat tradisi lokal pada saat lebaran (Hari Raya Idul Fitri). Meskipun tidak begitu banyak, sekumpulan anak-anak seperti itu masih saya jumpai hingga musim lebaran hari ini.

Anak-anak ini dihidupi oleh nilai-nilai lokal lebaran. Pada usia perkembangan yang “kemaruk” dan sedikit memiliki perasaan heroik sebaya, mereka menunjukkan independesi dalam bersilaturrahmi. Mereka biasanya enggan mengekor (jawa:nginthil) dengan orang tua mereka untuk berjalin silaturrahmi. Anak-anak ini membentuk kelompok sempalan dari orang tua mereka.

Mereka tidak saja merdeka dari orang tua. Anak-anak ini merasa bahwa momentum lebaran banyak mendatangkan berkah dan kemerdekaan untuk mengelola budget di sakunya tanpa intervensi kepemilikan dari orang tua mereka. Sepercik kebahagiaan bagi mereka dibalik lembaran-lembaran uang recehan. Bagi anak-anak, termasuk penulis di saat kecil juga mengalami hal yang sama, uang saku merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari bobot silaturahmi. Sebagian diantara kelompok anak-anak ini, bahkan bisa dibilang silaturrahmi ditambah golek sangu adalah perbincangan yang menghangat diantara sebaya. Bahkan anak-anak ini telah menginventarisasi keluarga-keluarga yang rutin selalu memberikan uang saku kepada anak-anak. Anak-anak di kampung ini begitu hafal, siapa keluarga yang setiap hari raya selalu menyediakan uang sangu.

Sebagai bagian dari keluarga, terkadang, anak-anak ini sudah susah dikenali. Anak-anak ini memang asing bagi keluarga kami. Ayah atau ibu saya, biasanya lebih dulu menanyai anak-anak ini satu persatu. Iki anake sopo ae…. Anak-anak ini menjawab satu per-satu. Sebagai anggota keluarga, perkenalan ini adalah investasi sosial. Kami merasa mendapat informasi baru generasi-generasi ini dilahirkan oleh siapa. Terkadang, kami mengenal orang tuanya, tetapi sudah lupa anak-anak mereka. Melalui segerombolan anak-anak, kami satu demi satu diingatkan siapa mereka.

Setelah perkenalan ini rampung, ada yang menunggu uang sangu digelontorkan pada mereka satu persatu sambil mereka berbisik-bisik lirih. Isi bisikannya juga terkait dengan uang sangu dan berebut siapa yang mewakili untuk mohon pamit. Ada juga mereka langsung segera mohon pamit. Tuan rumah kemudian mencoba menghentikan laku mereka sebelum keluar rumah. Biasanya dengan kata-kata, sik..entenono ki lee….Mereka paham bahwa kalimat ini adalah isyarat jikalau uang sangu akan berada di tangan. Selembar uang sangu kemudian ditransfer dari tangan pemilik rumah ke anak-anak. Biasanya lembaran uang sangu bervariasi. Tergantung pada tingkat usia dan kedekatan keluarga. Kalau anak yang masih kecil dan tidak ada hubungan darah, rata-rata mereka mendapat nominasi standar. Kalau sekarang nominasi standar adalah dua ribu rupiah. Jikalau keluarga dekat, uang sangunya lebih besar, yakni lima ribu keatas.

Gerak materialisme menandai sebagian makna-makna silaturahmi pada lebaran. Uang sangu menandakan deferensiasi makna keluarga di mata anak-anak berdasarkan stratifikasi sosial. Identifikasi ini menjadi bagian dari kategorisasi sosial dalam cara berpikir anak-anak. Bahwa niatan berkunjung, selain memberikan makna habituasi untuk meruwat lebaran sebagai bagian dari tradisi lokal, anak-anak terdorong oleh hasrat mendapat uang secara cuma-cuma. Lebaran dengan demikian menjadi ruang sosialisasi atas nilai-nilai lokal terkait dengan uang. Ia menjadi bagian dari proses reproduksi makna uang sebagai bagian dari hubungan sosial anak-anak.
Dari sini, anak-anak beroleh modal. Mereka merasa bangga karena menguasai uang tanpa intervensi orang tua. Orang tua hanya bertugas mengamankan uang. Dari sini anak-anak dibelajari suatu proses kepemilikan uang. Suatu misal, anak saya, Alul. Dia tidak mengerti artikulasi makna silaturrahmi. Tetapi dia sudah menginternalisasi bahwa kebiasaan berkunjung di waktu lebaran merupakan satu cara darinya beroleh uang dari sangu saudara orang tuanya. Aktifitas dominan pasca berkunjung adalah menghitung ulang modal yang dia dapatkan sebagai bagian dari cara belajar kepemilikan uang. Lembar demi lembar dihitung. Akumulasi nominal total jumlah uang diperoleh, dieja, diimajinasikan dan muncul rasa bangga atas kepemilikan dia. Saat ditanya, dia menjawab, “saya seneng, soale bisa beli-beli”. Berbalik dengan itu, secara positif, ibunya mengajari, “nanti dibelikan sepatu futsal saja”. Di sini makna uang telah direproduksi dari proses kepemilikan ke nilai guna. Sebuah learning process, bagaimana anak-anak dibelajari tentang nilai uang, tujuan, fungsi atau bahkan konsumsi.

Melalui kacamata interaksionisme simbolik, sangu melekat menjadi bagian dari petanda silaturrahmi pada masa lebaran. Ia menjadi bagian dari proses representasi diri keluarga dan dijadikan ikatan emosional kekerabatan. Bagi keluarga atau sanak kerabat yang telah sukses dan berhasil, mereka akan memberikan nominal uang lima ribu rupiah ke atas bagi keluarga-keluarga dekat. Kalau seorang pejabat semisal kepala desa di desa kampung saya, rata-rata, dia memberi uang sangu, lima ribu rupiah kepada setiap anak kecil yang berkunjung.

Uang sangu di hari lebaran menandai proses dan dinamika interaksi manusia pada saat lebaran. Bagi anak-anak, diberi sangu adalah sebuah penghargaan bahwa kehadiran mereka dihargai sebagai manusia. Kehadirannya dianggap ada, meskipun sebagian tidak mengenal langsung. Di sinilah proses kebudayaan dari nilai uang dibentuk secara kuat di hari lebaran, bersama makna silaturahmi sebagai modal sosial yang merekatkan nilai-nilai pertetanggaan dan persaudaraan sesama muslim.

Fakta ini akan selalui direproduksi pada saat lebaran. Apakah di kampung anda juga terjadi seperti itu ? Mari berbagi cerita.

1 comment:

Anonymous said...

kalau di kampung saya (daerah sumbar) istilahnya "nambang" atau "pai manambang"(pergi menambang) biasanya buat dibelikan mainan pistol air bagi anak laki-laki dan buat ditabung sebagai tambahan uang jajan bagi anak perempuan. hahaahaa masa kecil yang menyenangkan untuk dikenang...