Thursday, September 16, 2010

Arus Balik Bersepeda, Sebuah Siasat Kaum Urban


Urung niatan saya dan keluarga untuk mudik bersepeda dari Malang menuju Tulungagung pada lebaran kali ini. Bukan apa-apa. Ingin berfenomenologi untuk turut serta merasakan bagaimana orang-orang mudik dengan bersepeda. Disamping itu juga mengingat kembali masa ketika kami juga pernah memilih jenis mudik dengan cara ini. Saya melakukan untuk beberapa tahun silam ketika kami masih punya anak satu. Tetapi, akhir-akhir ini sudah tidak saya lakukan lagi. Terasa repot. Tenaga sudah tidak seambisi yang dulu-dulu. Meski ketagihan, tetapi keputusan akhir kami sekeluarga batal mudik bersepeda.

Namun demikian, pusaran jalan raya tetap saja tidak berkurang gara-gara urung niatan kami mudik bersepeda. Tetap saja, jalan raya berjibaku dengan lalu lalang orang berkendara sepeda dengan isyarat mudik dan balik masa lebaran. Kebetulan saya pagi ini terbersit untuk mengobservasi dan menghitung jumlah pemudik-balik lebaran di teras rumah di Denanyar Jombang. Selama lebih kurang 5-10 menit, ada sejumlah 32 arus balik yang menggunakan sepeda. Saya menghitung pada lalu lalang sepeda yang menuju jalur Surabaya, yang terlihat bentoyot membawa anak-anak.
Ragam berita juga membahas mudik-balik lebaran dengan bersepeda motor. Beresiko memang, ketika ditinjau dari segi keamanan dalam berkendaraan. Terlebih muatan motor, tidak jarang, terpaksa diberi tambahan peralatan agar mampu mengangkut perkakas pengendara selama berada di kampung halaman. Lebaran telah mendorong jutaan orang untuk memilih mudik-balik dengan bersepeda motor.

Keputusan semacam ini telah menjadi bagian dari upaya mengobati kerinduan kaum urban atas kampung halamannya. Amat sulit mencegah. Beberapa tahun, polisi dan berbagai pihak untuk tidak memilih angkutan transportasi sepeda untuk mudik-balik. Tetapi anjuran itu tetap terbantahkan hingga hari ini. Mudik-balik bersepeda adalan keputusan kompleks dalam keluarga. Mempertimbangkan mudik-balik bersepeda motor dilakukan dengan berbagai alasan meskipun menerjang kenyamanan dan keamanan. Beberapa orang tetangga di kampung saya juga merasakan kecapekan setelah melakukan perjalanan dari Surabaya ke Tulungagung. Belum lagi ditambah akan pergi ke Ngawi untuk berkunjung ke rumah mertua. Lebaran telah mementalkan banyak orang untuk menguras tenaga melakukan perjalanan yang jauh dengan bersepeda motor.

Realitas ini merupakan dinamika kaum urban. Suatu jenis masyarakat menengah kota dengan budaya lebaran dalam berbagai dinamika perilaku. Mereka adalah orang-orang rantau yang selalu ingin menabur cerita dan representasi diri keluarga yang merasa lengkap jika mereka tetap bisa kembali ke kampung halaman. Lebaran adalah momentum untuk merenda kekeluargaan menembus jarak pisah yang dialami oleh anggota keluarga. Magnit kampung halaman telah menarik kembali masyarakat urban untuk sekedar meninjau tempat kelahirannya.Memilih sepeda motor adalah satu dari sekian transportasi lebaran untuk menembus dinding jarak pisah keluarga dan merajut kembali pudaran makna kelekatan keluarga yang sekian lama telah hilang.

Tentunya keputusan bersepeda diambil karena beberapa pertimbangan seperti rendahnya trust kaum urban ini terhadap angkutan publik kita. Apa dikata. Lebih nyaman menggunakan sepeda motor sendiri daripada berebut bis atau kereta dengan penuh desakan. Belum lagi udara panas menyengat sepanjang perjalanan. Angkutan publik kita untuk taraf kelas ekonomi amat tidak nyaman. Selain itu, personalisasi dalam angkutan publik kelas ekonomi hampir musnah dan rawan keamanan seperti copet dan bentuk kejahatan lain di angkutan publik atau gaduh-riuh serta crowded. Memilih angkutan kelas eksekutif juga akan menguras pengeluaran. Dus, kaum urban membuat siasat bersepeda motor untuk mengakali berbagai dinamika ketaknyamanan dalam mudik-balik.

Bersepeda motor memang beresiko, tetapi begitulah bahwa masyarakat urban telah berani menantang resiko. Di antara mereka punya dalih, “la bagaimana lagi…dengan bersepeda menjadi murah, meskipun mereka tahu resiko yang bakal terjadi. Yang penting hati-hati dan pelan-pelan, nyantai saja, tidak terburu waktu”, seloroh ini, muncul di sejumlah wawancara di media TV.

Dengan bersepeda motor, mereka menyiasati depersonalisasi dalam angkutan publik. Jikalau dengan angkutan publik mereka tidak mendapat jaminan mutlak ruang personal saat mudik-balik, dengan bersepeda motor, kaum urban ini mendapati ruang personalnya menjadi absolut. Sama seperti kaum berduit yang mudik-balik dengan kendaraan roda empat. Mereka lebih nyantai. Punya kuasa mengatur ritme perjalanannya. Ruang personal ini akan dinikmati satu keluarga selama dalam perjalanan. Jika capek, mereka akan mengambil tempat istirahat di bawah pohon di pinggir jalan sambil leyeh-leyeh. Menerung atau melamun membuat imajinasi indahnya ketika sesampai di kampung halaman. Atau, singgah di warung-warung pinggir jalan. Jikalau anda melewati jalur Jombang-Malang lewat Pujon, pemandangan di pinggir-pinggir perbukitan akan terlihat pemudik-balik yang bersepeda motor sedang menghela nafas, mengatur ritme perjalanannya dengan santainya. Dengan bersepeda, para pemudik-balik ini mengumbar selera jalanan sesuai dengan kesepakatan. Ingin berhenti di mana saja bebas, tidak terburu waktu segera sampai, karena mereka juga mengerti resiko.

Personalisasi jalan mampu disiasati oleh kaum urban ini dalam perjalanan mudik-balik. Mereka ingin juga mendapati metamorfosis kenyamanan, terutama ruang personal dalam perjalanan. Bersepeda adalah cara menyiasati kebutuhan pemudik ini. Dengan bersepeda, mereka juga berkeinginan mendapat kemudahan dalam bersilaturrahmi dengan kerabat di kampung.

Mereka berebut kenyamanan dengan bersepeda sesuai dengan logikanya sendiri-sendiri. Menembus resiko, menembus jarak, dan. menembus waktu. Semuanya bisa disiasati oleh kaum urban melalui mudik-balik bersepeda. Keluarga adalah kebahagiaan. Identitas diri dirajut dalam berbagai cerita-cerita keakraban. Bersepeda adalah siasat kaum urban untuk mendapati cara-cara lain dari sekian alternatif menemukan entitas kebahagiaan, canda ria, atau mengulang kisah lama sehingga menjadi kisah-kisah humor.

Bersepeda adalah bagian untuk membayar semuanya. Apakah anda juga demikian. Jika iya, hati-hati di jalan.

No comments: