Saturday, May 19, 2012

Jejak Pluralisme dalam Islam

Judul : Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan; Penulis : KH. Husein Muhammad;
Penerbit : Mizan, Bandung; Tahun : Oktober 2011; Tebal : xiv + 217 Hal

Metanarasi. Peristiwa kekerasan agama yang didasari oleh ketegangan antarkelompok agama dan antaragama di Indonesia membuktikan perbedaan belum dihargai sebagai rahmah. Padahal kemajemukan bangsa ini niscaya saat laku hidup kita semakin terampil dalam mengelola perbedaan.

Husein Muhammad, sosok Kiai feminis, ini berusaha menyumbangkan nalar pluralisme dengan menggali pemikiran lima mahaguru umat Islam. Mereka adalah Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibn 'Arabi, Al-Hallaj, dan Ar-Razi. Kiai Husein ingin membawa Islam ke perspektif religio-humanistik agar keberagamaan kita mampu menoleransi perbedaan. Secara tauhid, Islam itu agama yang melampaui identitas dan berkembang menjadi agama yang memanusiakan manusia. Islam bukanlah agama yang menghancurkan kemanusiaan tetapi agama yang menjaga agar kemanusiaan lestari dan sebagai spirit mengelola perbedaan. Oleh karena itu, perbedaan sebuah agama tidaklah terlalu penting dan dipertajam.

Pandangan tersebut dibahas secara mendalam pada bagian pertama buku ini melalui perspektif metodologis untuk menemukan dasar-dasar pluralisme dalam Islam, terutama dalam memahami Al-Quran. Metodologi yang ditawarkan menggunakan takwil (hermeneutik) atau disebut tafsir bi al-ra’yi. Metode ini menangkap makna Al-Quran melampaui materi literalis teks. Kelahiran teks suci Al-Quran mengandung gagasan kontekstual yang perlu diselami sampai tersingkap fakta-fakta dibalik makna yang terlafadzkan, dari yang terpikirkan hingga yang tak terpikirkan, bahkan mencapai makna spiritualitasnya.
Takwil menjadi metode berpikir analitis untuk memperoleh basis pemahaman pluralisme dalam Islam menggunakan analisis realitas historis (latar belakang yang mendahului teks), konteks bahasa/kalimat, hubungan dengan ayat lain dan konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Pluralisme dapat dijelaskan menggunakan analisis tersebut dalam memahami teks. Kiai Husein menegaskan teks agama menjadi kehilangan makna dan bisa menyesatkan jika tanpa pendekatan analisis tersebut (Hal. 35).

Pada buku ini Kiai Husein membawa alam pikiran pembaca untuk menemukan jejak pluralisme pada pengalaman-pengalaman esoteris (inklusif) lima Mahaguru umat Islam dengan mengaji buah pikiran, sikap dan laku agama mereka. Pengalaman esoteris merupakan praktik keberagamaan substantif yang memposisikan agama kedalam manifestasi pencarian yang berujung pada jalan Tuhan (Hal. 76). Karena Kehendak Tuhan yang Tak Terbatas, pencarian menuju jalan Tuhan juga tidak bisa dipersempit dalam keterbatasan makna tunggal teks Al-Qur’an, apalagi dipersempit pada batasan kelompok agama (denominasi) dan perseorangan. Ketidakterbatasan Kehendak Tuhan meniscayakan kebebasan menangkap makna sampai ke jantung spiritualitas teks Al-Qur’an sehingga jalan mendapati makna tersebut juga dibebaskan dari sekat denominasi atau perseorangan. Bagi kalangan substantif (esoteris), keragaman agama menunjukkan bervariasinya jalan menuju Tuhan Yang Esa, meskipun caranya berbeda-beda, semua adalah ekspresi menuju Yang Satu (Hal.65).

Prinsip menghargai perbedaan sebagai entitas keragaman beragama sejatinya telah terpatri menjadi pandangan universalistik pada lima Mahaguru besar yang dieloaborasi Kiai Husein di buku ini. Misalnya Al-Ghazali yang mengatakan, “kebenaran itu tidaklah tunggal dan kebenaran suatu hal tidak terkait dengan pandangan orang atau golongan, tidak juga karena mayoritas dan minoritas” (hal. 100). Karena itu Al-Ghazali mengisyaratkan agar berhati-hati untuk tidak gegabah dalam “pengkafiran” meskipun terhadap agama-agama lain.

Pluralisme adalah puncak kemanusiaan yang lahir dari proses penghayatan kehadiran yang lain (the others) dalam kesetaraan di hadapan Tuhan. Posisi ini dirajut pada dinamika spiritualitas pengalaman sufisme Abu Mansur Al-Hallaj. Perbedaan agama tidak perlu dirisaukan karena setiap agama akan menuju pada kesemestaan. Perbedaan hanya pada nama, sementara tujuan dan pencapaiannya tidak berbeda. Keanekaragaman mencerminkan kebebasan beragama yang genuine menjadi fakta kemanusiaan yang tak terbantahkan. Kesetaraan agama juga lahir dari sosok sufi agung Ibnu Al-Arabi, yang tersohor dengan gagasan Wihdah al-Adyan (kesatuan agama-agama). Ibadah dan sembahyang suatu agama tidak lain wujud dari dinamika ekpresi kecintaannya kepada Tuhan menuju pada tujuan yang sama, Tuhan yang Satu (Hal. 152). Agama-agama memiliki caranya sendiri mencapai Tuhan yang satu. Perbedaan agama dengan begitu menyangkut masalah cabang (furu’) dan bukan masalah pokok (ushul) yang tidak bisa dipaksakan untuk seragam, namun ditempatkan setara sebagai jalan menuju Tuhan.

Pluralisme sebagai buah dari keluasan menghayati dinamika keragaman beragama, pembaca telah dihantarkan oleh Kiai Husein melalui seluk-beluk pengalaman spiritualisme para sufi agung. Pengalaman ini mencerminkan keterpautan pluralisme dengan prasyarat kebijaksanaan. Pembaca dapat menyelaminya kedalam jejak-jejak spiritualisme para sufi agung tersebut.

Pluralisme merupakan pengalaman keagamaan yang lahir dari keluasan spiritualitas keberagamaan menembus formalisme dan penunggalan makna dalam memahami teks Al-Qur’an. Pembaca akan melihat bahwa perbedaan agama dihargai tidak sebatas kredo, namun hadir menjadi makna spiritualitas sehingga jauh dari nilai-nilai kebencian bahkan pengkafiran. Perbedaan agama menyatu menjadi spirit ketuhanan sehingga mematangkan keIslaman dan keTauhidan. Jika spiritualitas tersebut mampu dihayati umat beragama hari ini, niscaya saya yakin perbedaan agama akan melahirkan harmonisasi yang menjauhkan berbagai sentimen dengan titik singgung konflik. Semoga.

Tulisan ini saya persembahkan untuk Jaringan Gusdurian. Dan saya satu dari sekian inisiator GDC (Gusdurian Community) Malang

3 comments:

fauzan muhammad said...

gack da bentuk pdfnya pak????

fauzan muhammad said...

nich fauzan gusdurian

mahpur said...

Terima kasih. tidak ada nih..kalau mau minta pdf-nya ya via inbox FB saja