
Kami tidak sedang membahas dengan rasionalisme, yakni membangun logika dasar dalam menakar kesanggupan mencapai target itu. Kami terfokus berbicara mengenai metanarasi—merangkai berbagai penuturan yang cukup beragam—dibalik hikmah shodaqah. Menurut dia, kemauanlah yang menjadi modal, meskipun secara matematis hitungan pemasukan pun tidak sebanding dengan akumulasi target shodaqah. Bershodaqah menurutnya perlu dibangun melalui kebiasaan yang kontinum terus menerus sepanjang hayat.
Shodaqah juga tidak menunggu saat orang menjadi kaya. Karena kaya itu relatif dan menyangkut sikap orang terhadap hak milik. Kaya adalah sikap diri yang lepas dari ketergantungan terhadap hak milik atau bebas dari penghambaan terhadap uang. Shodaqah dalam konteks ini dapat menjadi sarana belajar agar manusia dilatih mampu membebaskan diri dari ketergantugan terhadap harta/hak milik/atau uang. Shodaqah mengasah setiap orang agar tidak menghamba pada hak milik dan didikte oleh hajat kebutuhan yang selalu berkelindan setiap masa. Menimbang hal tersebut shodaqah dilaksanakan dalam berbagai kesempatan selama hidup Dengan demikian shodaqah mengambil momen oportunity, yakni kesempatan memperbanyak peluang memberi tanpa pertimbangan menunggu terkumpulnya harta.
Kami juga terlibat diskusi mengenai rujukan bershodaqah ala Yusuf Mansyur. Lazimnya seperti yang dikembangkan oleh ustadz Mansyur, orang yang bershodaqah, secara matematis dapat dihitung sebagai modal dan akan kembali lebih besar dari harta yang kita keluarkan. Konsep ini saya lihat sebagai breakdown mengenai janji Tuhan, bahwa harta yang dishodaqahkan tidak akan berkurang tetapi justru harta itu akan bertambah di kemudian hari.
Lain lagi jika merujuk keutamaan dari hikmah shodaqah yang saya dengar dari pengajian Al Hikam, sebuah kitab tasawuf tersohor karya Ibnu Atho’ilah . Shodaqah itu perintah Tuhan maka bershodaqah tidak lain adalah bagian dari ibadah. Oleh karena itu mengharapkan kembalian dari shodaqah akan merusak ibadah shodaqah tersebut. Al Hikam mendidik agar kita menjadi pribadi yang ikhlas, mengajarkan kepasrahan total bahwa hak milik kita yang kita keluarkan harus bebas dari pamrih duniawi. Bahwa shodaqah yang kita laksanakan memang karena menjalankan dengan ikhlas perintah Allah tanpa merusaknya dengan hasrat duniawi kita.
Saya lebih mengutamakan pendekatan sufistis menurut Al Hikam daripada yang dikemukakan oleh Ust Yusuf Mansyur. Pertimbangan saya, hitungan matematis yang dikembangkan Yusuf Mansyur rawan terjebak pada pengkaburan makna ikhlas dan tujuan ibadah shodaqah, meskipun beberapa pendapat juga sering mengatakan tidak ada masalah kita memohon pada Allah atas imbalan hajat baru dari harta yang kita keluarkan. Karena Allah juga maha kaya dan tidak perlu malu meminta ke Allah.
Saya pribadi berpandangan kekayaan Tuhan ada tanpa syarat dan segala apa yang diinformasi oleh Tuhan pada umat adalah positif adanya. Tetapi persoalan tertib hati banyak “batu sandungnya”, meminjam istilah sastrawan terkenal Ratna Indraswari Ibrahim. Ketepatan kita mengelola hati akan menempatkan dunia kepasrahan yang lahir dari hati tidak disyarati oleh predikat dan kebutuhan duniawi sehingga amaliah kita terhadap Tuhan adalah hubungan mutual yang diapresiasi tidak dalam hukum materialisme keagamaan yang bersifat mulur-mungkret tetapi oleh ketakterhinggaan/ketakterbatasan. Meskipun keduniawian melekat pada tubuh manusia, tetapi jiwa Ilahi menurut saya sejatinya harus melampaui paradigma duniawi yang materialistik dan tidak seharusnya bertumpu pada sistem logika temporer. Dengan tidak mensyaratkan shodaqah pada logika matematis dan profitable, maka jiwa ketuhanan kita bisa dilatih bebas dari doktrin duniawi yang bersifat temporer, nisbi dan bergeser berdasarkan hukum waktu.
Perspektif ini juga melatih agar manusia tidak terjebak dalam logos materi (jumlah) uang. Dalam arti kata kepemilikan harta dan/atau uang tumpuan manusia didominasi oleh penalaran matematis dan logika berpikir induktif-deduktif yang membikin manusia memang selalu mengarah pada nilai pendapatan.
Namun demikian pada konteks shodaqah, uang shodaqah perlu dibebaskan dari nilai pendapatan, sehingga shodaqah dimaknai sebagai totalitas diri manusia berhadapan langsung dengan Tuhan yang justru seharusnya shodaqah dibebaskan dari nafsu egosentrisme manusia. Saya justru menangkap makna shodaqah seperti ini, agar manusia sadar dan pada akhirnya mampu membebaskan dirinya dari jerat/kungkungan materialisme. Dibalas atau tidaknya shodaqah manusia tidak perlu dihitung lagi kedalam nalar modal, tetapi itu adalah kebebasan Tuhan. Rupa balasan dari Tuhan, apakah berwujud balasan duniawi atau ukhrawi, itu pula kuasa Tuhan.
Jika saya refleksikan, shodaqah adalah sebuah instrumen penyadaran bagi manusia agar terbebas dari logosentrisme materialistik sedemikian rupa sehingga manusia tidak dipenjara oleh nilai uang/materi, tetapi mereka bisa dengan segera bebas dari kuasa/kekuatan materi. Secara sederhana kita diajak untuk selalu netral terhadap harta yang kita miliki sehingga antara memiliki dan tidak memiliki dapat diukur secara setara, baik di hadapan manusia atau di hadapan Tuhan.
Mengapa ini penting menurut hemat saya? Karena yang wajib diamalkan atau diperintahkan oleh Allah itu adalah sodaqohnya, dan bukan nominal harta yang akan kembali kepada kita yang telah dikeluarkan tersebut. Jika kita kemudian terjebak pada pemusatan nominal keuntungannya tidakkah justru itu telah membelokkan substansi mengenai shodaqah yang dijelaskan untuk mengeluarkan harta bergeser menjadi upaya memupuk hasrat memiliki dengan cara berlebihan. Artinya, kita justru digerakkan kepada ketidakcukupan karena terpusat pada harapan kembalian harta melebihi dari apa yang kita keluarkan dari shodaqah. Padahal menurut saya anjuran shodaqah bertujuan menyucikan harta dan mengingatkan mendidik agar manusia tidak terikat dengan materi yang dimiliki.
Jika kita kemudian terjebak pada pemusatan nominal keuntungannya tidakkah justru itu telah membelokkan substansi mengenai shodaqah yang dijelaskan untuk mengeluarkan harta bergeser menjadi upaya memupuk hasrat memiliki dengan cara berlebihan.
Mengharap imbalan shodaqah lebih besar dari harta yang kita keluarga sementara kekuatan iman tidak lagi mendasari makna sebuah shodaqah tidakkah itu justru merongrong hakikat shodaqah. Saya memahami jika perintah Allah bahwa harta yang kita shodaqahkan tidak akan berkurang berkurang dan justru akan bertambah dimaksudkan lebih pada teknik komunikasi persuasif Allah bagi orang-orang yang masih enggan atau khawatir/takut kehilangan harta.
Perintah ini merupakan grade bagi para pemula karena gaya perintah Tuhan itu bersifat gradual seperti perintah pengharaman khamr yang tidak sekaligus, tetapi bertahap. Kalaulah kemudian shodaqah dihentikan pada nilai nominal berapa persen imbalan shodaqah, dus kita tidak mampu membebaskan diri dari jerat materialisme bukan ? Tidakkah ini adalah bagian dari penghambaan materialisme baru dengan mengotak-atik agama menjadi hukum bisnis ? Artikata shodaqah kita masih didekte oleh kebutuhan akan pemupukan kekayaan sehingga lupa bahwa shodaqah tidak lain adalah wujud apresiasi keimanan bagi kita yang memiliki sesuatu yang berguna agar kepemilikan atas harta kita tetap terjaga kesuciannya.
Tuhan berkehendak atas segala sesuatu sementara itu logika manusia syarat keterbatasan dan relatif. Bagi saya batas kenikmatan shodaqah yang dikonsepsikan berdasarkan nilai kembalinya prosentase nominal akan berhenti pada kausalitas materi dan tidak pada kualitas iman. Kalau saya ibaratkan, ketika kita begitu menikmat makan daging setiap hari padahal kalau tidak diwaspadahi ia sejatinya akan membunuh diri kita karena keterlenaan tentang standar nikmat hidup yang bertumpu pada makan daging, lalu ketika sadar bahaya di kemudian hari maka kita kembali memakan tempe. Sementara itu lidah kita sudah tidak mampu menikmati lezatnya tempe atau justru kita sudah terlambat kembali ke tempe karena lemak itu telah menyebabkan pecahnya pembuluh darah manusia. Semua sudah terlambat. Saya hanya ingin berpendapat, nikmatnya shodaqah tidak selalu diukur dari nominal keuntungan materi yang menggeser nikmatnya iman yang immateri. Selebihnya hanya Allah yang tahu. Allah A'lam bi Al-Shawab.
Ups !, uraian mendalam yang terakhir ini tidak masuk dalam perbincangan kami, tetapi saya tambahkan mumpung saya sedang menulis tema shodaqah. Dia (teman sejawat saya ini) mbundeli perbincangan ini dengan mengatakan, “dalam soal bershodaqah, manusia bebas menentukan pijakan shodaqah, tidak perlu diperdebatkan, kami memang hanya melatih diri untuk shodaqah”. Saya hanya ingin tidak mentaqdiskan konsep yang hari ini populer dikembangkan oleh dai-dai populis dan berhati-hati dalam belajar beriman kepada Tuhan.
Terima kasih untuk istri saya, Sadad Al-Azis, Fauzi Muda, Mas Eko, dan tidak kalah pentingnya Al Mukaram Ustadz Yusuf Mansyur serta Ibnu Atho’illah Allahu Yarham dengan karya monumentalnya Al Hikam, yang darinya saya memaknai dan berusaha mengembangkan rasa otentisitas shodaqah, yang mengusik belajar saya mengenai keimanan ini yang mulur mungkret. Selama tiga bulan saya merenungkan dan akhirnya sampailah pada kelengkapan mengenai makna shodaqah yang saat ini sedang saya hayati dalam sebuah perjalanan spiritualitas diri saya. Jelas perspektif/sudut pandang ini adalah murni pendapat saya dan selalu dalam keterbatasan. Oleh karena itu, dari pembaca mungkin memiliki penghayatan yang sama atau berbeda saya persilahkan untuk dituangkan meramaikan deru makna shodaqah.
Oleh Mohammad Mahpur. Tulisan ini juga saya upload di http://metanarasi.com
No comments:
Post a Comment