Saturday, September 13, 2008

Gender dan seksualitas

Tuhan (Bukan) Habitus Perempuan


Aturan yang ketat pada perempuan dalam agama melalui pemahaman syari’at dan hukum Islam (fiqh) mewarisi pandangan dominan dalam struktur kognitif masyarakat muslim. Pemahaman itu mengental menjadi epistema untuk mendisiplinkan perempuan dalam banyak aspek. Syarat-syarat ibadah dan nilai kehadiran perempuan diatur dalam koridor dan batas-batas yang harus dipatuhi karena perempuan membawa banyak persoalan seksual, lebih spesifik teridentifikasi sosok manusia yang membawa banyak problem aurat. Dadamu adalah aurat, senyummu juga aurat, rambutmu aurat, lekuk tubuhmu bak sosok penggoda walau kau tak bermaksud menggoda, suaramu aurat dan kehadiranmu adalah aurat. Dunia batin perempuan dinistakan oleh ragam atribusi aurat. Perempuan tercipta menjadi serba-salah dalam mengambil ruang representasi ibadahnya karena space ibadah terbuka lebar ”hanya” untuk laki-laki. Laki-laki bebas berkhutbah dan mendefinisikan perempuan semaunya. Tidak jarang khutbah-khutbah mengambil contoh perempuan untuk dijadikan sensasi humor atau sebagai bahan untuk dilecehkan sekedar pidatonya lebih menarik dan sensasional, seksualitas perempuan menjadi medium kemapanan laki-laki pengkhutbah, persis modifikasi budaya populer yang membentuk perempuan sebagai obyek pasar.

Sebegitu rigitkah Tuhan menerima kehadiran perempuan sebagai hambanya untuk menghadap atau bermunajat kepada-Nya. Bandingkan prasyarat itu dengan ruang bebas laki-laki dalam mendekati dan munajat kepada Tuhan. Tidak ada celotehan yang berlebihan dan syarat-syarat mendetail untuk laki-laki. Tulisan ini mengajak kita untuk mulai dewasa secara seksual dan sekali lagi mencoba memandang dengan ma’rifah atas representasi perempuan dalam sebuah kebersamaan. Seks dan seksualitas adalah metamorfosis fitrah yang sama bergejolak dari setiap pribadi manusia. Tidak ada yang layak dimaki-maki kehadirannya dalam ruang publik ibadah. Laki-laki memiliki daya tarik eksotis dan perempuan punya sensasi seksualitas. Relasi keduanya tidak harus dipersalahkan dan dipertentangkan demi pencapaian alasan kita untuk menambah kekhusukan dalam beribadah. Ibadah adalah persoalan dunia batin dan bukan pada level dimensi wadaq. Bukankah itu yang didengung-dengunkan oleh para salik atas doktrin-doktrin sufistiknya.

Historisitas Tuhan Sebagai Habitus Laki-laki

Pengalaman keagamaan atau ketuhanan adalah perasaan historis yang dibelajari melalui siklus penuturan praktik-praktik beragama dan bertuhan. Coba bandingkan dan rasakan bagaimana perasaan historis kita mengenai G 30 S (Gerakan 30 September) yang menurut satu perspektif dominan disebut sebagai pemberontakan PKI telah menyisakan perasaan traumatik. Situasi psikologis G 30 S ditransformasikan menggunakan medium komunikasi sejarah dan mencipatakan model-model sadisme untuk membentuk habitus psikologis rasa kebangsaan kita sehingga PKI adalah keji dan biadab tanpa kita tahu apakah peristiwa itu merupakan realitas atau sebatas pengalaman terbayang saja yang menancap pada generasi pewaris bangsa padahal generasi itu tidak mengalami langsung peristiwa yang dianggap tragis sehingga semua orang melalui pembelajaran sejarah diajak untuk trauma massif sampai pada munculnya doktrin logosentrisme[i] bahwa semua orang yang terlibat PKI harus dikucilkan dan dicurigai.

Analogi ini bisa terkesan materialistik untuk melihat sejarah ketuhanan. Saya bermaksud melihat fenomena pembetukan psikologis sejarah G 30 S dengan perasaan ketuhanan kita yang dibentuk berdasarkan penuturan dan model historis tentang genealogis (asal-muasal) merasakan kehadiran tuhan yang mempribadi dan membentuk pola kognitif tertentu mengenai ibadah atau anggapan tentang pembayangan tuhan dalam pengalaman keagamaan kita. Tuhan sebagai kumpulan pengalaman adalah konstruksi subyektif yang diulang-ulang dalam berbagai dimensi ruang dan waktu. Konstruksi subyektif kemudian diajarkan melalui halaqah diniyah, sekolah, madrasah, keluarga, organisasi, aliran-aliran keagamaan, teologi, tasawuf, fiqh atau lembaga-lembaga keagamaan lainnya. Tuhan sebagai fakta sejarah dan dihadirkan sebagai kebiasaan yang didaur-ulang untuk mencapai perasaan-perasaan transendental. Akan tetapi Tuhan dalam konteks historis ini tetap merupakan sebuah fakta terbayang. Kegiatan dalam menghadirkan perasaan terbayang tentang Tuhan manifes dalam berbagai metafora[ii] yang didukung oleh ragam alasan subyek dalam menjelaskan pengalaman ketuhanannya.

Analogi ini mengajak mencermati apa yang sifatnya subyektif dijadikan penilaian terhadap dunia obyektif praktik bertuhan. Jikalau kehadiran Tuhan masuk menjadi penghayatan subyektif dan diejawantahkan sebagai keharusan obyektif maka yang terjadi adalah formasi-obyek yang dilakukan oleh subyek sebagai pihak penutur. Proses psikologis ini tidak bisa digeneralisir menjadi fakta obyektif ketuhanan, apalagi mendefiniskan tentang cara-cara kita menghayati dan merasakan ketuhanan.

Proses analogisasi semacam ini digunakan untuk melihat sejarah yang bertumpu pada dogma patriarkis karena sedikit banyak sejarah keagamaan dan ketuhanan adalah pewarisan yang mereproduksi pengalaman laki-laki sebagai habitus[iii] dari semesta ketuhanan. Dus rasa kelelakian begitu bercokol dalam benak keagamaan dan representasi ketuhanan [iv] merupakan bias dari struktur internal yang diejawantahkan melalui kekonyolan logos laki-laki sebagai entitas kolektif yang membentuk ranah keagamaan dan struktur sosial umat. Sementara perempuan sebagai subyek yang dilainkan (the other) keberadaannya dan direproduksi ulang menurut kepentingan kuasa maskulin. Pada kasus ini maskulinisasi ketuhanan tidak hanya dalam batas persoalan pembacaan dan kekeliruan di dalam memahami teks-teks kitab suci akan tetapi yang lebih sulit adalah membongkar rasa maskulinisme yang berkarat menjadi cita rasa keagamaan. Contoh kecil saja, kita begitu tidak nyaman kalau dipimpin perempuan, apalagi dikhotbahi dan diimami perempuan. Maskulinisme merasuk menjadi racun dalam ketidaksadaran kolektif masyarakat beragama dan membentuk manifesto representasi ketuhanan dalam praktik dan diimplementasikan dalam konstruksi pengetahuan keagamaan.

Tuhan bukan habitus perempuan karena tidak ada apresiasi yang tumbuh mekar diakui sebagai bagian dari kuasa sejarah pengalaman dan cita rasa keagamaan karena cita rasa perempuan digantikan oleh kuasa pengalaman perasaan laki-laki yang menjadikan seluruh konstruksi keperempuanan tidak lebih dari persoalan aurat yang selalu tidak tuntas. Dus, logos aurat telah membunuh tidak saja kehadiran perempuan dalam altar sajadah akan tetapi telah membunuh ruang batin, rasionalitas, pengalaman dan praktik ketuhanan perempuan. Tuhan menjadi batas-batas jenis kelamin dan diusung dengan perayaan dalam suasana dan cita rasa laki-laki.

Perempuan Membentur Biologis, Merebut Maqamat

Pemilahan "menubuhkan tuhan" untuk menjustifikasi representasi dan mencari standar tauhid amatlah bertentangan dengan berbagai ayat yang digambarkan dalam al-Quran. Setiap manusia sejajar dihadapan Tuhan karena ia diciptakan dari jiwa yang padu (min al-nafs wahidah). Berdasarkan makna jiwa ini Allah menyamaratakan azas pentauhidan bagi semua orang tanpa penjeniskelaminan. Kita bisa sejenak mengingat dan membuat permenungan melalui sumber peringatan paling utama dalam mencapai hakikat tauhid melalui penyucian jiwa bukan penyucian kehadiran perempuan yang begitu gamblang dijelaskan dalam firman Allah sebagai berikut :

"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (QS.91; 8-10).

Allah juga berfirman bahwa dalam jiwa yang tenang ada peluang kembali kepadanya agar manusia mendapat kepuasan dan keridhaan. Posisi perempuan dan laki-laki dalam konsep al-nafs telah melebur dalam kepaduannya dan dibebaskan dari kungkungan penjeniskelaminan. Ranah ketuhanan dengan demikian dalam konteks pembicaraan al-nafs telah menegasikan atribusi peran jenis dan membantah adanya konstruksi biologis yang mereduksi keimanan dan memang tidak ada batas ruang publik.

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah kedalam syurga-Ku (QS.89 : 28-30).

Makna tubuh dihadirkan dalam struktur penciptakan bukan merupakan alasan bagi pencapaian maqamat menuju Tuhan. Allah bahkan menjelaskan kalau Dia telah memberi kesempurnaan dalam penciptaan manusia dalam bentuk tubuh yang sempurna lagi seimbang dan bentuk wadaq itu merupakan kehendak Allah. Dari formulasi hukum penciptaan semacam ini penubuhan dan bentuk-bentuk biologis merupakan hak Allah dan konsepsi jiwa merangkai negasional atas upaya-upaya untuk mencoba me-lain-kan tubuh perempuan sebagai pengendali atau penyebab-penyebab maksiat dalam mencapai tingkatan maqamat dan memperoleh dimensi ma'rifah bi-allah. Artinya dimensi maksiat dalam konteks ini tidak didasarkan oleh fakta-fakta biologis representasi tubuh perempuan, namun itu harus diandaikan menjadi persoalan rapuhnya dimensi kejiwaan seseorang yang terlalu terlena oleh hasrat yang mereduksi maqamat ilahiyah. Maksiat dengan demikian bukan negasi eksternal dengan mengambil teknik pengambinghitaman sebagai basis moralitas yang terlalu dominan dituduhkan pada persoalan representasi tubuh perempuan secara simplifistik mengarah para terminologis seksualistis. Selebihnya representasi tubuh dalam ruang publik adalah sekedar realitas psikososial yang semestinya dileburkan menuju pencapaian kedewasaan ketauhidan. Allah menjelaskan secara jernih negasi penubuhan tauhid yakni,

"yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan (QS. 82 : 7-9).

Dalam konsep tauhid, stigmatisasi seksualitas yang didefinisikan oleh laki-laki sebagai "pemilik tunggal" munajat kepada tuhan yang mempersepsi perempuan sebagai aurat telah membenturkan keniscayaan tauhid yang bebas kelamin menjadi persoalan ubudiah versus biologis. Bahwa melalui kuasa laki-laki perempuan melalui fragmentasi biologis yang mengendap sensualitas begitu merangsang laki-laki didefinisikan sebagai "Sosok yang Lain"[v] secara ubudiyah sebagai obyek pengendali bagi matinya spiritualitas laki-laki yang begitu takut dan susah mengendalikan hasrat-hasrat libidinalnya. Pertanyaan problematisnya, haruskah libidinal laki-laki menjinakkan ruang publik dan cara kehadiran perempuan dalam meraih maqamat ilahiyah seperti yang tertuang dalam segmen kitab al-Nawawi "uqud al lujain bahwa lebih arif jika altar sajadah perempuan tidak direntangkan di area publik. Jika kembali pada muasal penciptaan laki-laki dan perempuan merupakan wujud padu (min anl-nafs wahidah), cukup beralasan jika dunia ilahiyah dirajut sebagai penyejajaran tanpa pembedaan karena persoalan perempuan dan laki-laki adalah "politik" negasional untuk berebut representasi ketuhanan dalam altar sajadah di ruang publik ubudiah. Melalui gugus epistema merebut maqamat memperoleh ma'rifah bisa diturunkan misi untuk menolak pendefinisian perempuan oleh laki-laki karena tidak ada representasi penubuhan sebagai alasan substansial untuk mengadili sumber spiritualitas. Debat aurat dan maksiat yang terlalu dilebih-lebihkan oleh definisi seksisme yang dikuasai oleh laki-laki merupakan reproduksi hegemoni untuk mendisiplinkan perempuan dalam wilayah ketuhanan sekalipun. Dunia batin Tuhan bebas kelamin dan tidak terdomeskisasi karena tauhid merupakan post-body yang menolak melokalisir problematika kekhu'syuan yang digeneralisasi ke dalam atribusi seksualitas. Saya berharap semangat ini bisa ditransformasikan ke dalam dimensi sosial untuk merajut kesetaraan yang tidak membedakan di antara oposisi-biner penjeniskelaminan melalui fakta-fakta biologis yang rasis.[vi]


[i] Logosentrisme dimaksudkan sebagai logos mencari kebenaran absolut dalam alam metafisika atau dalam bahasa Hegel merupakan Roh Absolut yang bersemanyam dalam perubahan. Kebenaran kemudian dinyatakan secara transendental, Platonistik--yang menyatakan kebenaran sebagai kenyataan ekstralinguistik yang mandiri dari realitas manusia, dan kenyataan dalam keragaman tidak sanggup menggapai kebenaran karena kebenaran adalah adiduniawi, immateri dan metafisik sehingga kemungkinan-kemungkinan yang lain tersingkir dalam merebut makna kebenaran, karena kebenaran adalah logos tunggal, mengatasi yang jamak dan merebut perbedaan-perbedaan dalam satu kesatuan makna metafisik yang absolut. Lihat pembahasan logosentrisme pada tulisan Muhammad Al-Fayyadl. 2005. Derrida. Yogyakarta: LkiS. hal. 73-164.

[ii] Menurut Lakoff dan Johnson methapora bukan hanya ornamen linguistik, lebih dari itu merupakan ekspresi struktur berpikir. Berpikir konseptual adalah metafora umum yang terstruktur dan ketika metafora dilihat sebagai ekspresi struktur berpikir daripada sekedar bahasa, maka cukup alasan untuk mengatakan jikalau metafora konsekuen dianggap struktur dan dengan demikian juga mempengaruhi tindakan. Dalam kancah linguistik kognitif Lakoff dan Johnson menyebutkan metapora sebagai topologi analogis dan dibedakan dari pemakaian yang biasa digunakan dalam studi linguistik seperti contohnya “Hercules adalah sosok singa”. Metafora adalah proyeksi dari satu skema (the source domain of methapor) ke skema lain yang menuju target metafora itu (the domain target of methapor). Apa yang terproyeksi adalah topologi kognitif mengenai domain utamanya untuk diproses agar sumber itu bisa terkait dengan sumber yang lain sebagai target atau tujuan. Lebih glambangnya metapora merupakan transformasi melalui proyeksi atas apa yang dimiliki seseorang untuk diejawantahkan kepada sumber lain yang sejalan dengan pemaknaan dan kebutuhan saat ini. Dalam konteks ini metafora memiliki context-sensitive, pada suatu saat ia mengambil model abstrak mengenai realitas, pada saat lain ia menggambarkan model dan skema mental dalam psikologi kognitif. Lihat penjelasannya pada Karin S. Moser. (2000:June). Methapor analysis in psychology-method, theory, and field of application. Forum Qualitative Sozialforschung / Forum:Qualitative Social Research [On-line Journal], 1(2). Available at: http://qualitativeresearch.net/fqs/fqs-e/2-00inhalt-e.htm [Access: 2007, April, 15].

[iii] Habitus digunakan oleh Pierre Bourdieu yang dijelaskan sebagai berikut bahwa ”habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangusng lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara obyektif” dikutip langsung dari Bourdieu oleh Cheleen Mahar, Richard Harker, dan Chris Wilkes (Editor). 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Pengantar paling komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Diterjemahkan oleh Pipit Maizer. Yogyakarta : Jalasutra. Hal. 13. Habitus menggambarkan disposisi seseorang dalam ruang eksternal di mana komposisinya membentuk struktur obyek atas tatanan sosial yang ada dari ruang keberjarakan sosial sehingga ia membentuk kebiasaan yang bekerja dialam bawah sadar. Ia dibelajari, diwariskan, melalui aktifitas bermain yang seolah berjalan begitu saja dan menjadi fakta yang terbentuk secara alamiah, terberi begitu saja dan membentuk dalil-dalil kesepahaman sebagai sesuatu yang seolah obyektif dan masuk akal.

[iv] Representasi sebenarnya merupakan struktur menjadi yang berkohesi dengan pikiran dan tindakan. Dalam psikologi sosial representasi sosial merupakan proses terjadinya peristiwa (sumber) berpikir dan berperilaku masyarakat. Menurut Weber disebut sebagai sebentuk entitas kolektik, Durkheim menyebut pemikiran kolektif dan Jung menyebut ketidaksadaran kolektif (Catalin Mamali, 2006) maka representasi ketuhanan dengan demikian merajut komponen mental dan kognisi sosial sebagai entitas yang disosialisasikan secara individual dan terlembagakan. Oleh karena itu, representasi ketuhanan sebagai peristiwa psikososial, jika ia dihadirkan dalam analisis representasi sosial ia merupakan apresiasi dari produksi kognisi sosial dan representasi mental (Carlos Jos´e Parales Quenza, 2005). Illka Pyysiainen dan Pertti Saariluoma. 2002. Lihat pembahasan lebih lanjut pada tulisan Catalin Mamali. 2006. The value of images for explorating the functions of representation : toward self generated pictorial social representation. A comment on ”history, emotion, and hetero-referential representation” by Sen and Wagner (2005). Papers on social representations : volume 15 pages 3.1-3.9. Lihat juga Carlos Jos´e Parales Quenza, 2005. On the Structural Approach to Social Representations. Theory & Psychology. Vol. 15(1). Hal : 77–100.

[v] Artinya kalau mencari formasi obyek dalam ranah epistemologis Simone De Beauvoir bahwa Sosok yang Lain adalah hasil identifikasi biologis, psiko-sosial dan representasi sosial tentang daya pikir dan mentalitas laki-laki dengan mendalilkan secara mitis dan realis kalau perempuan bukan laki-laki. Ia adalah tubuh sekaligus jiwa yang dilainkan dari pikiran, emosi, bahkan mitos bukan laki-laki seperti cerita the arabian nights. Lihat Simone De Beauvoir. 2003. Second sex fakta dan mitos. Tejr. Toni Febrianto. Surabaya : Pustaka Promethea. Hal. 224.

[vi] Untuk memahami implikasi psiko-sosial dan pendisiplinan seksualitas dan rasisme tubuh, baca novel Nawal el Sadawi. 2003. Tidak ada tempat bagi perempuan di surga. Terj. H. Azhariah, Lc. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


No comments: