Saturday, September 13, 2008

Keberagaman, Tidak Cukup Berebut Legitimasi

Indikator religiusitas sebenarnya tidak selalu bertumpu pada keluasan kehadiran bahasa agama secara formal dan bahasa itu kemudian menjadi acuan tunggal dalam mengukur kemajuan agama. Hiruk pikuk perda syari’ah, ekonomi syari’ah, bank syari’ah, islamisasi sebagai bentuk pencarian pengakuan atas objek material dan formal pengetahuan atau praktik hidup yang harus bermetamorfosis berdasarkan pada “nalar islam” seperti islamisasi budaya, islamisasi ilmu pengetahuan, islamisasi fashion, islamisasi logika dan sistem bernalar, atau sebaliknya ekonomi islami, perilaku islami, bernalar islami, berpakaian islami, berjualan secara islami adalah sebentuk cerminan dari keberlangsungan religiusitas yang bisa mewakili kehadiran agama dalam bentuknya yang lebih manusiawi. Tidak.

Agama adalah kompleksitas cara bertindak. Ia merupakan praktik yang diukur bagaimana keberagamaan seseorang itu berkorelasi dengan wujud emansipasi umat melalui koridor praktik sosial yang nyata yang bisa membebaskan manusia dari belenggu marjinalisasi, diskriminasi, subordinasi, advokasi, pemihakan terhadap orang tertindas dan sebagai wicara praktis yang mendialektikakan cara hidup manusia secara lebih toleran, demokratis, egaliter, berkeadilan dan menyejahteraan. Agama hadir melalui komunikasi kritis bagaimana keberagamaan mampu membaca hidup secara partisipatif.

Dalam bentuknya yang nyata dengan demikian meniscayakan kultur pembebasan tidak selalu identik dengan praktik legitimasi dan bertumpu pada kuasa kebijakan, yang mengilustrasikan keberagamaan melalui cerminan pengakuan negara terhadap religiusitas. Agama yang mendasari semangat penguatan kehidupan justru merupakan artikulasi langsung dari sebuah proses emansipasi dan tindakan sosial yang nyata. Wajah regulatif praktik keagamaan senyatanya hanya menempatkan agama sebagai basis instrumental yang menalar keberagamaan tergantung pada kuasa politik. Ia menjauhkan semangat bagi proses penyadaran langsung orang beragama dalam beragam tradisi dan perbedaan budaya. Wajah legitimasi agama melalui fungsi politik akan menjerumuskan pada praktik politik keagamaan yang memfasilitasi keinginan personal sebatas menempatkan agama menjadi kata akhir dari macetnya penalaran kesalehan. Bahkan cenderung memaksa.

Mengapa demikian ? ketika agama sebatas menjadi legitimasi melalui momentum politik atau menjadi sebentuk bahasa formal keagamaan, ia kurang memberikan apresiasi terhadap dialektika hidup yang memanusiakan. Dinamika keagamaan menjadi tertumpu pada pembakuan tekstual, ekslusif, dan intoleran, sementara cakupan wilayah kehidupan keagamaan memberikan makna yang jauh lebih kompleks untuk mewujudkan keadilan, toleransi, dan kedamaian sebagaimana hadits yang menyatakan ahabba al-dien ila allah al-hanifiyyah al-samhah (agama yang paling dicintai Allah adalah ajaran yang lurus dan toleran).

Beragama secara emansipatoris

Islam memiliki ruh yang menjaga kehidupan manusia melalui lima kategori yang disebut sebagai prinsip-prinsip ajaran Islam (al-dharuriyat al-khamsah / al-kulliyat al-khamsat) yang humanis dan melindungi hak-hak kemanusiaan secara hakiki. Lima prinsip itu terdiri dari menjamin hak beragama (hifdz al-din), hak memelihara jiwa ( hifdz al-nafs),hak kepemilikan properti ( hifdz al-mal),hak memelihara akal ( hifdz al-‘aql) dan hak berketurunan ( hifdz al-nasl).

Lima prinsip ini memberikan semangat agar praktik hidup islam mempunyai orientasi membebaskan dan menjamin hak-hak setiap orang atas dasar keyakinan, pro-kehidupan, ekonomi, memiliki kebebasan dalam berpikir dan menjaga kelangsungan kehidupan generasi.

Nilai hidup yang dikembangkan dalam memaknai Islam diartikulasikan melalui kesadaran terhadap kehidupan dan kebebasan seseorang untuk mendapatkan kelima prinsip di atas. Kelima prinsip ini tentunya tidak semata mendasari praktik keagamaannya bermuara pada dimensi tekstual, akan tetapi kelimanya senyatanya adalah sebentuk praksis keagamaan. Islam dengan demikian perlu diejawantahkan menjadi dialektika kehidupan yang selalu berfungsi kritis untuk mampu responsibel terhadap problem kemanusiaan. Jawabannya tidak terletak pada prosentase dan kekuatan politik atas nama bahasa agama dan penyimbolan agama secara pejoratif.

Keberagamaan yang emansipatoris adalah wujud bagaimana agama bisa menjadi ruh yang memperkuat kesadaran orang beragama untuk melek kemanusiaan. Ia hadir untuk memperkuat fungsi emansipasi dan partisipasi seseorang dalam memperoleh hak-hak dasarnya itu dan bersama komunitasnya sebagai bentuk kesadaran kolektif membebaskan agama dari setiap praktik eksploitatif, perbudakan, diskriminasi, penindasan, kekerasan, dan pemaksaan kehendak.

Beragama dalam konteks emansipatoris tidak menganut agama yang didakwahkan. Lebih dari itu, bagaimana agama kemudian diejawantahkan menjadi bagian dari tindakan sosial (dakwah bil hal). Agama hadir dalam konteks literasi fungsional yang menjadi solusi dan proses penyadaran bersama. Agama adalah konsep yang mengintegrasikan antara dimensi keimanan dan kesalehan memperkuat cara orang bertindak untuk memenuhi prinsip al-dharuriyat al-khamsah / al-kulliyat al-khamsat. Islam adalah agama yang melindungi sekaligus membebaskan. Itu adalah sebuah prinsip beragama yang humanis.

Keberagamaan tidak serta-merta menjadi pelayan Tuhan, namun ia melayani dan menjaga martabat kemanusiaan untuk memuliakan manusia serta tidak sekali-kali beragama berarti menyingkirkan manusia dari martabat kemanusiaannya. Di sini keberagamaan emansipatoris tidak menganut pada nilai humanisme liberatif, tetapi mendasari pada semenanjung pemahaman dan praktik tindakan sosial yang bermartabat, bijaksana dan berkeadilan. Pun, membuka akses jalan baru bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam kerangka menjalankan fungsi kehidupannya secara lebih baik sebagai sebentuk kesadaran kolektif yang membebaskan.

No comments: