Wednesday, September 10, 2008

Menghidupi diri dengan cerita

JUDUL BUKU Psikologi Naratif : Membaca Manusia Sebagai Kisah; PENULIS Bagus Takwin; PENERBIT Jalasutra, Jogjakarta; CETAKAN 1, April 2007; TEBAL viii + 163 Halaman (indeks)

Cerita secara budaya mengakar sebagai habitus lokal. Dalam berbagai konteks budaya lokal, cerita mempunyai fungsi-fungsi sosial etis dan medium pengajaran untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan dengan cara menyenangkan, menghibur, juga penuh lelucon. Ada cerita Malin Kundang yang melegenda, cerita tentang kancil nyolong timun di Jawa yang sangat populer, cerita “ande-ande lumut” yang menggambarkan keikhlasan dan kejujuran seorang perempuan dan ke-waskitha-nan laki-laki dalam mengambil keputusan mengambil istri.

Cerita mempresentasikan kearifan dan pusat pengajaran langsung dalam membentuk imagi kehidupan sosial yang dihayati melalui momentum kebersamaan. Cerita tidak bisa difungsikan tanpa ada kohesi sosial yang berjejaring. Cerita dituturkan bukan untuk maksud memberi kepuasan diri, tetapi ia berjejaring membentuk diskursus sosial agar makna-makna kehidupan sanggup direproduksi dan tertata secara egaliter untuk mencapai keteraturan sosial dengan cara bijaksana.

Begitulah, cerita adalah habitus lokal bagaimana imajinasi manusia menghidupi tatanan sosial dan sebagai cermin buah keakraban. Kemauan kita membuat cerita adalah upaya sadar kita bagaimana menjalin hubungan dengan orang lain lebih dekat. Melalui cerita, antarsesama bisa saling mengakrabi, dari tidak kenal siapa anda, dengan sedikit kemampuan diri bercerita maka kedalaman batin menyentuh dan mendorong andrenalin seseorang untuk mencoba menjadi simpati, empati atau bahkan tumbuh benih cinta. Nyata atau tidak sebuah cerita, ia tetap mengambil ruang relaksasi dan menumbuhkan ekstase hubungan diantara dua orang sekaligus mendapati manfaat menurunkan ketegangan-ketegangan pikiran seseorang.

Orang menjadi sedih, diliputi stressor yang bertubi dan beragam, stres karena putus cinta, atau kegagalan adaptasi dari suatu hidup dalam dunia hiperrealitas yang memenjarakan orang untuk mencari mode-mode hidup lantas kemudian tidak tercakup kepuasan dirinya atas obyek-obyek pengharapan material itu sehingga menjadi tertekan (depresi) dan bunuh diri padahal ia sendiri berlimpah materi maka dapatlah orang-orang demikian memiskinkan diri untuk enggan membuat cerita sebagai imajinasi kreatif memecah kebisuan diri. Cerita dapat dikemas sebagai humor untuk meregangkan kepenatan hidup dan menambah kematangan pribadi sekaligus mendewasakan diri dalam menyikapi kehidupan.

Tidak sebatas cerita berdampak positif terhadap seseorang. Cerita juga bisa hadir secara paradoksal dan antagonis dalam relung penghayatan yang mempribadi. Bahkan sebuah cerita dalam buku akan menjadi sumber obsesi bagi para pembunuh. Takwin mencoba menghadirkan situasi semacam ini dengan melihat bagaimana pengaruh buku The Catcher in the Rye yang ditulis J.D Salinger terhadap dunia batin para pembunuh. Konon buku inilah yang memberikan penjelasan signifikan terhadap perilaku agresif para pembunuh.

Terbunuhnya musisi John Lennon oleh Mark David Chapman atau percobaan pembunuhan terhadap Presiden Ronald Reagan oleh John Warnock Hincklye, Jr., tidak terlepas karena buku Salinger. Mungkin cerita ini menjadi pengalaman konyol, namun begitulah cerita telah mengambil bagian bagaimana dunia batin penikmat cerita itu bermetamorfosis. Apakah dia begitu terinduksi untuk tenggelam dalam alur ceritanya atau ia mengambil jarak dan memaknai ulang sebuah cerita. Yang jelas cerita merupakan diskursus yang membentuk identitas diri posisional, di mana konteks kehadirannya dan siapa yang menghadirkan. Takwin mengumpamakan “seperti sebuah pisau yang baik, ketajaman buku bisa dimaknai sebagai alat bantu untuk menopang makanan dalam proses memasak oleh seorang koki atau menjadi alat membunuh oleh seorang pembunuh” (hal. 101).

Cerita sebagai narasi diri merupakan mode menjadi (becoming) yang terus-menerus berproses dan tidak adanya ujung pangkal dari mode itu sehingga diperlukan sebuah logika yang bisa menjelaskan proses itu, karena manusia tidak cukup dimengerti oleh keberadaannya (being) saja. Melalui cerita logika itu menjadi masuk akal. Memahami otentisitas manusia sebagai identitas diri naratif yang berubah terus-menerus memerlukan kajian hermeneutika sebagaimana usaha kita untuk melakukan pemahaman terhadap narasi historisnya.

Bagus Takwin menjelaskan dengan merujuk pada konsepsi hermeneutika Ricoeur, bahwa hermeneutika berguna untuk memahami identitas diri manusia dalam konteks dinamika identitas naratif diri. Melalui konsepsi identitas naratif kita dapat “memahami manusia sebagai pembentuk kisahnya sendiri dalam interaksinya dengan manusia lain dalam aliran waktu” (hal. 8). Identitas naratif mendasari keberadaan diri yang selalu tercakup dan terintegrasi bersama dengan orang lain. Ia memahamkan kita pada dunia yang saling terkait sehingga diri seseorang perlu dipahami sebagai bagian dari diri orang lain. Selain sebagai esensi yang menubuh (embodied), diri naratif memberikan gambaran kepada kita adanya proses menjadi yang menjelaskan identitas diri itu terbukti berjejaring mengambil ruang waktu dan kultural sebagai dialektika diskursif dari rangkaian narasi historis seseorang.

Di antara kisah-kisah itu pribadi manusia tersusun menjadi detil-detil yang menarik, liku-liku terdiskripsi sebagai rangkaian hidup dan menumbuhkan makna batin seseorang sehingga mendorong pemahaman manusia terhadap realitasnya menjadi lebih komprehensif, kreatif dan simpatik (hal. 56). Kemampuan orang membuat cerita memberikan artikulasi dan pemahaman lebih luas tentang identitas dirinya dan kesanggupan orang menghadirkan cerita menjadi bagian dari dirinya sungguh berarti ia memenuhi kehidupannya dengan beragam pemaknaan. Menurut logoterapi, kemauan kita menghadirkan kehidupan dengan beragam cerita-cerita kreatif menunjukkan jikalau manusia memiliki hasrat untuk memaknai realisasi pribadi agar bisa keluar dari penderitaan.

Membuat cerita secara terus menerus dalam sepanjang rentang kehidupan, menurut Takwin, merupakan tanggung jawab kita sebagai pertanda hadirnya zaman pemaknaan walaupun seluruh ruang waktu telah dipenuhi oleh munculnya beragam teknologi modern dengan ciri komputerisasi. Ia mengajak, “biarkan komputer menyelesaikan masalah-masalah teknis dan rutin. Mari kita perkaya hidup dengan pemaknaan yang mendalam, kreatif, hangat dan riang” (hal. 58).

Buku ini terasa kaya karena cerita ternyata bisa hadir dalam berbagai perspektif dan mudah dipahami bagi banyak kalangan karena cerita bisa hadir dalam setiap imajinasi seseorang. Kekayaan buku ini terletak pada potret teoritik yang digali penulis melalui filsafat hermeneutika sebagai deskripsi identitas diri dan psikologi mengenai keterkaitan cerita sebagai kekuatan imajiner yang bisa mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Cerita hadir sebagai komponen kebudayaan. Ia dipraktikkan dalam bentuk oral seperti dongeng rakyat (folklore) dan bisa melalui buku-buku. Dalam psikologi cerita memiliki posisi penting yang bisa dijadikan salah satu pendekatan terapi yang disebut dengan pendekatan terapi naratif.

1 comment:

MAHPUR said...

biar hidup lebih hidup