Wednesday, September 10, 2008

Spiritualitas Hibrid


Judul buku : Spiritualitas dan realitas kebudayaan kontemporer; Penulis : Alfathri Adlin, dkk; Penerbit ; Jalasutra, Jogjakarta; Cetakan : September 2007; Tebal : xxxiv+366 (indeks)

SPIRITUALITAS memasuki ranah kehidupan berdampingan dengan berbagai modifikasi kebutuhan terkait dengan kecerdasan (Spiritual Quetiont), kepribadian (Emotional Spiritual Quetiont), dunia kerja dan marketing (Spiritual Leadership), dan dinamika psikososial (dzikir bersama atau pengobatan massal) untuk menjawab kebutuhan akan makna hidup dan keberlangsungan hidup bagi masyarakat sekaligus memberikan model bagaimana pencapaian spiritualitas menjadi bobot kebermaknaan dalam menyeimbangkan di antara kefakuman budaya konsumerisme dan materialisme di tengah doktrin modernisme. Tidak hanya itu, pendekatan-pendekatan hibrid yang merujuk kepada aspek-aspek sentuhan spiritualitas dan religiusitas mengambil ruang simulasi cukup beragam dan mengolah dunia spiritualitas dan religiusitas menjadi pertunjukan, bahkan semacam memiliki nilai jual cukup signifikan (spiritual entertainment) menggerakkan hasrat orang beragama untuk merengkuhnya secara instan.
Paket dzikir bersama yang disiarkan live melalui televisi bersama ustadz tersohor, pelatihan ibadah tertentu untuk mendapati tip-tip kekhusyu’an dengan nominal uang jutaan rupiah, paket pelatihan kecerdasan spiritual dan sejenisnya yang bisa dijumpai di berbagai ruang iklan televisi atau media cetak menggambarkan spektrum hasrat manusia akan pemenuhan bobot spiritualitas diri dan religiusitas kolektif secara instan, yang dalam bahasa Yasrat Amir Piliang merupakan munculnya dinamika budaya hiper sebagai kecenderungan baru dalam kebudayaan kontemporer.
Spiritual bergerak melalui bentuk-bentuk simulasi virtual dengan menorehkan sejumlah fantasi dan nilai-nilai terapis menggunakan teknik dan metode yang tidak jauh dari bentukan konsumsi dan hasrat kegundahan akan kepuasan spiritualitas yang dapat dicari melalui modus pelatihan, mencari tip jitu untuk mewadahinya dengan jalur-jalur citra lifestyle dan spiritualitas layar kaca menjadi model yang memengaruhi produksi hasrat akan rasa ketagihan atas model-model baru yang disimulasikan melewati ragam citra dalam berbagai bentuk komodifikasi komunikasi massa untuk mewujudkan impian-impian virtual. Tidak jarang, spiritualitas berubah rupa semata terapi dengan memberi pengondisian sensasi-sensasi psikis berujud efek aha, dan bukan semangat penempa jiwa dan pengasah kematangan kepribadian yang terhayati sepanjang hidup (hal. xxv).
Buku Spiritualitas dan realitas kebudayaan kontemporer menyajikan diskusi mengenai perubahan perilaku keberagamaan sebagai upaya mencari jejak spiritualitas yang hilang di antara puing-puing modernitas melalui kajian-kajian budaya (cultural studies). Menurut perspektif cultural studies batasan mengenai spiritualitas ditambatkan pada ketercakupannya hadir dalam hukum konsumerisme yang diproduksi melalui berbagai instrumen kebudayaan populer untuk menjaring kepatuhan dalam memilih sebuah obyek penawaran. Dalam konteks hubungan produksi, nilai penawaran sangat ditentukan oleh daya tarik pencitraan terhadap bentuk (penanda) spiritualitas. Oleh karenanya spiritualitas dihadirkan menurut cara kerja produksi melalui kinerja simulasi komodifikasi konsumsi sehingga masyarakat tidak jarang mengambil representasi posisional melalui ketertarikannya pada kebutuhan kekinian untuk memenuhi hasrat yang tertunda sebagai lipstik menambah kelengkapan eksistensial dari hukum modernisasi. Kehadiran fungsi spiritualitas melahirkan hibriditas makna untuk melengkapi diantara pemaknaan modernitas yang centang perentang sebagai tata cara koeksistensi memenuhi hasrat survival dengan legitimasi dan penanda religi dan spiritual diri.
Sudut pandang mengenai spiritualitas dikaji secara beragam karena buku ini ditulis dari hasil-hasil diskusi yang dirajut dalam satu komunitas Forum Studi Kebudayaan dan kemudian dikemas dalam kesatuan tema spiritualitas dalam kerangka kajian budaya (cultural studies). Senarai diskusi mengusung semangat kritik dan otokritik terhadap mode spiritualitas hibrid yang mengandalkan pemenuhan kegerahan terhadap ketidakpuasan eksistensi kekinian dalam upaya melengkapi kehidupan diri dalam kepuasan citra dan konsep diri peyoratif yang dianggap sebenarnya begitu dangkal dan tercerabut dari orisinalitas spiritualisme ketimuran. Sementara, pendakian pencapaian kematangan spiritualitas urung dicapai melalui ziarah panjang karena mode itu tidak laku ditawarkan di area komodifikasi kehidupan modern dan penuh himpitan budaya populer yang merajut kebutuhan manusia secara instan, kilat dan cepat saja sebagaimana fast food hadir secara tidak menyehatkan tetapi membawa pencitraan makna eksistensi hidup yang berlebih dan memuaskan hasrat kesementaraan dan bukan pelajaran spiritualitas yang terasah, mengakar secara fundamental sekaligus terpatri menjadi pemompa keikhlasan tulen, genuine.
Spiritualitas diseret kedalam wujud rupa kesadaran semu melalui teknik-teknik rekayasa instrumental untuk menumbuhkan stimulasi psikis tertentu yang ditimpali menggunakan penanda-penanda agama. Stimulus terkondisi untuk membangkitkan emosi yang rapuh sehingga manusia diturunkan intensitas kesadarannya pada level mikro atau bahkan pada ranah tidur. Kesadaran ini biasa berkembang dalam praktik efek terapi dengan modifikasi spiritual melalui kesadaran hipnotis untuk mencapai tujuan pelatihan yang memesona, menggoda dan memikat pengakuan terhadap kemanjuran sebuat paket pelatihan spiritual misalnya. Kenyataan baru eksplisitasi spiritualitas ini tidak semata buruk, melainkan membatasi ekspresi kehendak bebas manusia untuk membuka ruang kesadaran reflektif untuk mengasah dan mempertajam lokus spiritualitas diri melalui momentum yang orisinal untuk semata membatasi spiritualitas menjadi kiat praktis dan jitu demi penyembuhan diri (hal. 26).
Akar perbincangan dalam buku ini menyoal gagasan orisinil terkait dengan momentum spiritualitas yang lahir dari genuine pengalaman agama-agama Timur vis a vis pengalaman spiritual Barat yang berbeda habitatnya namun dalam kenyataannya modifikasi dan penerimaan atas spiritualitas Barat dicontek begitu saja dengan latah yang kemudian dihadirkan melalui kerangka kerja positifisme dan materialisme kontemporer dan bahkan didekati melalui sains untuk menegaskan mengenai kebenaran tentang keilmiahan adanya dimensi spiritualitas. Dus, muncul kodifikasi untuk mencoba menjembatani antara yang religius dengan yang saintifik melalui perjumpaan model sintesis berupa semangat integrasi antara agama dan sains. Semangat ini menurut Adhipura tidak begitu saja menuai kebanggaan atas pembuktian fakta keagamaan timur yang secara ilmiah diakui benar adanya melalui pertemuan antara sains dan agama atau spiritualitas (94-136).
Integrasi menurut Adhipura tidak menjawab historisitas tentang sains dan agama karena akar persoalan dari perang keduanya terletak pada persoalan hal-hal faktual dan interpretatif mengenai ketercakupan apa yang interior dan eksterior sebagai realitas, utamanya dalam diri manusia. Pada wilayah kerja instruksi, sains dan agama justru tidak ada masalah, apalagi dianggap bahwa keterpilahan keduanya merupakan keniscayaan dari proyek nalar modernisme yang dikhotomis. Kalangan agamawan hanya terlalu gugup menghadapi proyek modernisme yang telah meletakkan dimensi keagamaan sebagai yang tidak rasional/irrasional karena semata menggangu identifikasi ilmiah yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya dan akhirnya menuduh nalar modernlah yang membunuh agama. Padahal konsepsi itu dapat ditemukan jikalau kita memahami secara jeli historisitas keduanya dengan tepat (207).

No comments: