Mengapa di beberapa desa miskin yang pernah saya singgahi dengan
angka kemiskinan mencapai 77 persen, pengalaman perselingkuhan dan hubungan
seksual di luar nikah dalam berbagai bentuknya seperti kehamilan perempuan
tidak diinginkan dari akibat hubungan seksual pra-nikah menjadi sebuah kisah
yang selalu terulang ? Kejadian tertangkap basah (bahasa lokal ; ketangkep)
pun menjadi berita yang selalu berlanjut di sebuah desa tersebut. Sejumlah
sanksi terhadap pelaku pun selalu diterapkan sebagai bentuk punishment
atas pelanggaran norma hubungan laki-laki dan perempuan tanpa status
pernikahan. Hukum adat juga memberi sanksi terhadap perilaku tersebut. Biasanya
dalam bentuk uang jutaan rupiah atau barang bangunan. Sanksi dalam bentuk denda
itu bervariasi tergantung pada masing-masing daerah.
Terakhir yang membikin haru saya adalah seorang guru (TK) di sebuah
desa tersebut kesandung batu, diketahui melakukan hubungan seksual pra-nikah
terhadap gadis belia yang masih menginjak sekolah menengah pertama (MTs). Saat
ini, kasus ini dalam taraf penyelesaian sengketa untuk mencari kesepakatan
menikahi dan dijatuhkan sejumlah sanksi-sanksi lokal.
Kegalauan komunitas mencari
jalan terang
Saya baru saja dari desa tersebut. Al-Kisah, setelah kejadian itu,
guru tersebut, yang memang masih muda, diberi sanksi diberhentikan sementara
dari aktifitas mengajar. Sanksi ini dikeluarkan berdasarkan kesepakatan
pengurus dan juga dimusyawarahkan bersama wali murid. Keputusan ini tidak
memecat, tetapi menghentikan sementara waktu bagi guru tersebut. Keputusan ini
dipertimbangkan lebih manusiawi agar si guru mau berinstrospeksi sembari diberi
kesempatan untuk calling down.
Keputusan tersebut dibarengi dengan penataan di lembaga (TK) karena
ada kekosongan guru. Di sebuah desa dengan tingkat kemiskinan tinggi dan
keterbatasan sumberdaya, mencari guru TK tidaklah mudah. Tetapi dari usaha para
pengurus, akhirnya mereka mendapatkan 2 guru perempuan baru. Mereka lulusan
SMA. Satu guru sudah berpengalaman dan satu guru belum berpengalaman.
Perlu diketahui, pengurus lembaga ini berada dalam naungan Lembaga
Pendidikan Islam, sedang belajar berbenah untuk membangun kapasitas menejemen organisasi
yang lebih bagus. Mereka mulai bangkit karena selama ini lembaga ini dibiarkan
mengalir begitu saja, karena keterbatasan sumberdaya yang ada. Tetapi kesadaran
baru sudah mulai bangkit dan tokoh yang peduli terhadap pendidikan lokal pun
juga mulai bangkit. Mereka secara bersama-sama berusaha melakukan pembenahan
sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan yang tersedia di sana. Oleh karena
itu, lembaga ini baru saja mereformasi kepengurusan dan terbentuklah pengurus
baru.
Bersamaan dengan perubahan kepengurusan, beriringan pula pengurus
dihadapkan pada situasi sulit tersebut tentang seorang guru menghamili seorang
anak di luar pernikahan. Kejadian itu menurut mereka mencoreng nama baik
lembaga pendidikan.
Namun, nampaknya setelah pergantian guru tersebut timbul masalah
baru, para wali murid protes bahwa guru baru dirasakan kurang kompetens
mengajar sehingga anak-anak tidak betah belajar. Di titik kritis, kata
beberapa wali murid, anak-anak mulai enggan pergi bersekolah. Persoalan ini
menghantui pengurus karena para wali murid telah mengumpulkan tanda tangan
untuk meminta guru awal yang diberhentikan karena kesandung kasus seksual
tersebut agar mengajar kembali anak-anak mereka. Alasan wali murid, guru tersebut
lebih enak mengajar dan disukai anak-anak.
Berdasarkan pertimbangan ini, sejumlah wali murid yang dimediasi oleh
ketua komite sekolah berusaha meminta pengurus Lembaga Pendidikan Islam ini
untuk menarik kembali guru tersebut. Pertimbangan lainnya karena anak-anak
mereka “tidak suka” dengan guru baru dan kalau dibiarkan, versi wali murid
anak-anak tidak lagi mau berangkat sekolah, dan itu artinya nyopot (putus
sekolah). Memang persoalan putus sekolah di daerah ini mengkhawatirkan sehingga
usulan wali murid ini menjadi masalah baru bagi pengurus dan sebagai masalah
yang menekan kekhawatiran pengurus akan terjadinya anak-anak tidak sekolah
semakin besar ?
Pengurus galau. Maklum mereka masih dalam taraf belajar
menejemen dan bangkit dari keterbatasan-keterbatasan ilmu menejemen. Mereka
memiliki kemauan kuat berubah, namun basis pengetahuan pengurus masih
mengandalkan pada kemampuan belajar berdasarkan dari apa yang menurut mereka
yakini baik dan bermanfaat untuk perubahan lembaga. Ilmu mereka berkembang dari
hasil-hasil musyawarah (belajar bersama). Mereka otodidak menejemen. Oleh
karena itu kegalauan atas kasus ini dan tekanan dari wali murid nampaknya
menjadi bahan musyawarah panjang yang pada akhirnya bertabrakan dengan
keputusan awal, yakni tentang tetap mempertahankan sanksi atau menerima usul
wali murid untuk menarik kembali guru yang diberi sanksi karena persoalan
moralitas tersebut mengajar kembali ?
Untuk mengantisipasi masalah tersebut, sebenarnya guru baru tersebut
telah diberi wawasan dan dampingan selama lebih satu minggu dari pengurus agar
guru baru mampu menjadi pendidik yang baik. Tetapi karena mereka bukan berlatar
belakangan pendidikan guru (PGTK), maklum perubahan itu nampaknya belum bisa
diharapkan secara instan, sementara wali murid kecewa dan menekan untuk segera meminta
guru lama yang diberhentikan agar kembali mengajar anak-anak mereka ?
Pergumulan Nilai
Kebimbangan ini berkelanjutan. Pertanyaannya adalah mengapa sanksi
yang berhubungan dengan moralitas itu rapuh ketika berhadapan dengan
kepentingan lain ? Mereka memahami bahwa perilaku guru secara etik dan hukum
adat tidaklah benar namun ketika kepentingan anak-anak mereka mulai goyah oleh
suatu perubahan, bahwa anak-anak itu hanya senang diajar oleh guru lama yang
nyata-nyata secara moral telah cacat ? Pertanyaan berikutnya apakah mereka
cenderung abai dengan komitmen untuk menjaga sanksi moralitas tersebut dan
dengan demikian konsisten terhadap penegakan aturan ? Saya pribadi pun
berkesimpulan, apakah inkonsistensi ini dan toleransi terhadap pelanggaran
moral inilah yang membawa implikasi tingginya kasus-kasus perselingkuhan,
kehamilan tidak diinginkan di luar nikah menjadi tinggi di desa-desa miskin ?
Sebagai masyarakat belajar kegalauan pengambilan keputusan yang
menabrak konsistensi sanksi hukum tersebut dimaklumi ? Mereka berusaha mencari
jalan terbaik ? Kemampuan wali murid untuk mau menyampaikan aspirasi saja sudah
bagus karena selama ini hampir jarang terjadi. Artinya, wali murid peduli pada
pendidikan anak-anak. Itu adalah harapan bagi banyak pihak ditengah krisis
rendahnya kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak-anak ? Tetapi ketika
aspirasi itu melahirkan pilihan yang menabrak konsistensi peraturan yang
dianggap paling krusial, mana yang harus dipilih, tetap mempertahankan dua guru
baru atau memanggil kembali guru yang “cacat moral” ?
Dalam sebuah proses perubahan dan proses belajar yang sangat baru,
dilema ini dapat dimaklumi memang sulit ? Ibarat buah simalakama. Sebagai
seorang yang datang dari luar, saya pun akhirnya ketiban sampur dimintai
masukan untuk mengerucutkan pengambilan keputusan yang tepat dalam jagongan
kecil di sebuah rumah tokoh masyarakat tersebut.
Saya kemudian memasuki ranah mereka dan mengembalikan dengan membuat
pertanyaan, seberapa pentingkah sanksi itu dibuat ? Lebih penting mana kita
memihak pada konsistensi hukum moralitas tersebut yang sudah diputuskan atau
menarik sanksi, memanggil guru tersebut untuk kembali mengajar anak-anak ? Di
satu sisi pengurus menginginkan agar aspirasi wali murid diterima karena
semakin menekan pengurus, tetapi di sisi lain berarti pengurus telah
menggadaikan moralitas dalam arti mencabut keputusan penting terhadap moralitas
tersebut ? Meskipun pengurus lain juga ada yang tidak sependapat. Tetapi ketika
saya hadir di musyawarah ini, keputusan untuk mencabut sanksi dan kembali
memanggil guru tersebut menguat karena di satu sisi pengurus tidak ingin
aspirasi wali murid itu berbuah perlawanan dan berdampak anak-anak tidak
sekolah ?
Bagaimana menurut Anda ? Saya pun akhirnya terusik, dan mencoba untuk
tidak langsung menentukan putusan ketika diminta pertimbangan. Saya terusik
bahwa ketika sanksi terhadap pelanggaran moralitas (kejahatan) itu rapuh,
kemana moralitas itu memihak ?
Saya berpendapat masalah moralitas jauh lebih penting daripada kasus
perlawanan wali murid dan penyesuaian guru baru dalam mengajar. Pada jagongan
ini saya kemudian mencoba mengarahkan arus pembicaraan pada pertanyaan dasar,
ukuran apa dan seberapa penting sanksi itu dijatuhkan terhadap pelanggaran
moral (hubungan seksual di luar nikah), kalau ini dianggap tidak lagi penting
berarti dasar moralitas kita rapuh, dan menjadi model baru bahwa komitmen
moralitas yang seharusnya dijaga oleh Lembaga Pendidikan Islam, jika sanksi itu
bisa ditransaksikan maka dengan demikian moralitasan di luar nikah itu bisa
ditawar-tawar. Bagi saya komitmen moralitas di sebuah desa seharusnya menjadi
modal sosial mengontrol berjalannya etika lokal yang itu pun seharusnya juga
bisa survive di budaya desa, tetapi mengapa hal ini akan ditabrak ? Ini kan
bukan moralitas kota, ini adalah moralitas desa !
Saya berusaha untuk memetakan bobot kasus ini kembali pada seberapa
komitmen mereka untuk menjaga moralitas tersebut. Bagi saya ini hanya persoalan
belajar masyarakat, yang mana mereka perlu belajar lebih menantang lagi untuk
menyelesaikan masalah tanpa mengabaikan sanksi moralitas tersebut ? Ketika
sanksi itu tidak dicabut, maka masyarakat perlu belajar lebih berani menghadapi
wali murid dan menata menejemen keguruan di TK tersebut.
Tantangan Masyarakat Belajar
Dari sini ada beberapa tantangan yang perlu dipecahkan agar keputusan
tidak menoleransi pelanggaran moral yang itu berakibat buruk pada pemodelan
nilai-nilai di masyarakat yakni,
Fokus pertama, pertahankan sanksi itu karena ketika sanksi itu
dicabut, moralitas masyarakat akan semakin rapuh. Ini juga cermin bahwa
komitmen moralitas Lembaga Pendidikan Islam lebih memihak moralitas sementara
masalah lain dapat diselesaikan dengan beragam cara
Fokus kedua, perubahan itu berat bagi masyarakat yang sedang
belajar membangun kapasitas dengan keterbatasan sumberdaya manusia, apalagi di
daerah miskin. Tidak perlu menyerah dengan menoleransi pelanggaran moral yang
itu dari perspektif lembaga pendidikan islam adalah hal yang cukup penting.
Oleh karena itu, mendatangkan guru baru menurut saya sangat bagus, hanya kita
butuh bersabar dan selalu mengembangkan musyawarah dan mendampingi guru baru
tersebut agar lebih peka dan mau belajar dari pengalaman ini. Di sini kita
belajar otodidak tentang menejemen dan ini tantangan pengurus belajar dari
proses yang ada.
Fokus ketiga, wali murid yang sudah mampu menyalurkan aspirasi
ke lembaga itu sangat progresif (maju), bukankah itu harapan kita juga, yakni
mereka sudah berani bicara. Tetapi ketika kita mengambil “cara yang bernoda”
untuk mencapai kebaikan, apa jadinya. Ibarat nilai setitik rusak susu
sebelanga. Oleh karena itu, pengurus perlu belajar melakukan pendekatan atau
musyawarah dengan wali murid.
Fokus keempat, bukankah orang tua adalah lanjaran generasi atau
anak-anak. Kita (saya dan komunitas ini) sudah bersama menemukan ilmu baru
bahwa dukungan orang tua yang menentukan apakah anak berangkat sekolah atau
tidak. Ini kan pelajaran yang sudah kita pelajari bersama-sama. Pengurus punya
tanggungjawab memberdayakan orang tua. Nah, ini PR yang tidak harus dihindari
dan ditakuti pengurus. Pengurus sekarang punya pekerjaan baru mengelola
aspirasi orang tua lebih cerdas lagi, yakni mengembangkan teknik memberi
dorongan dan sekalian diajak berdiskusi dengan guru cara-cara mengajar yang
menyenangkan itu bagaimana ? Cara ini menurut saya jauh akan menjadi sumber
belajar masyarakat yang memberdayakan dan memandirikan.
Fokus kelima, ajaklah guru baru untuk belajar bersama bahwa
ini demi kepentingan bersama, karena mereka tidak dari latar-belakang profesi
guru, namun kehadiran mereka adalah solusi. Jangan pinggirkan mereka.
Pendampingan terhadap mereka sangat dibutuhkan. Ajak guru belajar bersama.
Bukankah di situ ada guru-guru yang sudah memiliki pengalaman atau orang-orang
lokal yang memiliki pandangan positif bagaimana mendidik anak-anak lebih
menyenangkan. Ini saja yang diperkuat.
Dari lima fokus tersebut, saya berharap akan memberikan implikasi
perubahan kapasitas, dan saya kurang sependapat bahwa keputusan mencabut sanki
adalah pilihan pengambilan keputusan. Karena kalau ini diambil, moralitas ini
telah rapuh, dan kita tidak membelajari masyarakat untuk menjaga
moralitas. Miskin harta tak berarti kita
juga miskin nilai ? Saya kira desa ini bukan kota yang bebas nilai. Bahwa
nilai-nilai masih bisa kita hidupi dari nalar-nalar orang desa yang masih
memegang budaya, kuatnya modal sosial dan kesadaran bersama jauh lebih mudah dikondisikan
karena nilai-nilai kolektif masih menjadi pijakan perilaku masyarakat desa ?
Pada titik kritis ini, semua toh akan kembali ke keputusan pengurus
dan pertimbangan komunitas terhadap pilihan-pilihan mereka.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi saya untuk menyampaikan sikap
saya terhadap kasus yang sedang dihadapi oleh komunitas desa Bukit Melintang. Tulisan
ini juga sekaligus refleksi tentang renungan saya, yang lama belum terjawab,
mengenai mengapa terjadinya berbagai peristiwa hubungan seksual di luar nikah yang
tinggi di desa dengan tingkat kemiskinan tinggi atau di desa yang dianggap
terpinggir ? Kasus ini saya temui di beberapa desa yang pernah saya
singgahi.
Anda punya opini ?
23 November 2012
No comments:
Post a Comment