Wednesday, November 28, 2012

Ketika Sanksi Itu Rapuh, Kemana Moralitas Memihak ? Refleksi Kasus untuk Komunitas Bukit Melintang

Mengapa di beberapa desa miskin yang pernah saya singgahi dengan angka kemiskinan mencapai 77 persen, pengalaman perselingkuhan dan hubungan seksual di luar nikah dalam berbagai bentuknya seperti kehamilan perempuan tidak diinginkan dari akibat hubungan seksual pra-nikah menjadi sebuah kisah yang selalu terulang ? Kejadian tertangkap basah (bahasa lokal ; ketangkep) pun menjadi berita yang selalu berlanjut di sebuah desa tersebut. Sejumlah sanksi terhadap pelaku pun selalu diterapkan sebagai bentuk punishment atas pelanggaran norma hubungan laki-laki dan perempuan tanpa status pernikahan. Hukum adat juga memberi sanksi terhadap perilaku tersebut. Biasanya dalam bentuk uang jutaan rupiah atau barang bangunan. Sanksi dalam bentuk denda itu bervariasi tergantung pada masing-masing daerah.
Terakhir yang membikin haru saya adalah seorang guru (TK) di sebuah desa tersebut kesandung batu, diketahui melakukan hubungan seksual pra-nikah terhadap gadis belia yang masih menginjak sekolah menengah pertama (MTs). Saat ini, kasus ini dalam taraf penyelesaian sengketa untuk mencari kesepakatan menikahi dan dijatuhkan sejumlah sanksi-sanksi lokal.
Kegalauan komunitas mencari jalan terang
Saya baru saja dari desa tersebut. Al-Kisah, setelah kejadian itu, guru tersebut, yang memang masih muda, diberi sanksi diberhentikan sementara dari aktifitas mengajar. Sanksi ini dikeluarkan berdasarkan kesepakatan pengurus dan juga dimusyawarahkan bersama wali murid. Keputusan ini tidak memecat, tetapi menghentikan sementara waktu bagi guru tersebut. Keputusan ini dipertimbangkan lebih manusiawi agar si guru mau berinstrospeksi sembari diberi kesempatan untuk calling down.
Keputusan tersebut dibarengi dengan penataan di lembaga (TK) karena ada kekosongan guru. Di sebuah desa dengan tingkat kemiskinan tinggi dan keterbatasan sumberdaya, mencari guru TK tidaklah mudah. Tetapi dari usaha para pengurus, akhirnya mereka mendapatkan 2 guru perempuan baru. Mereka lulusan SMA. Satu guru sudah berpengalaman dan satu guru belum berpengalaman.
Perlu diketahui, pengurus lembaga ini berada dalam naungan Lembaga Pendidikan Islam, sedang belajar berbenah untuk membangun kapasitas menejemen organisasi yang lebih bagus. Mereka mulai bangkit karena selama ini lembaga ini dibiarkan mengalir begitu saja, karena keterbatasan sumberdaya yang ada. Tetapi kesadaran baru sudah mulai bangkit dan tokoh yang peduli terhadap pendidikan lokal pun juga mulai bangkit. Mereka secara bersama-sama berusaha melakukan pembenahan sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan yang tersedia di sana. Oleh karena itu, lembaga ini baru saja mereformasi kepengurusan dan terbentuklah pengurus baru.
Bersamaan dengan perubahan kepengurusan, beriringan pula pengurus dihadapkan pada situasi sulit tersebut tentang seorang guru menghamili seorang anak di luar pernikahan. Kejadian itu menurut mereka mencoreng nama baik lembaga pendidikan.
Namun, nampaknya setelah pergantian guru tersebut timbul masalah baru, para wali murid protes bahwa guru baru dirasakan kurang kompetens mengajar sehingga anak-anak tidak betah belajar. Di titik kritis, kata beberapa wali murid, anak-anak mulai enggan pergi bersekolah. Persoalan ini menghantui pengurus karena para wali murid telah mengumpulkan tanda tangan untuk meminta guru awal yang diberhentikan karena kesandung kasus seksual tersebut agar mengajar kembali anak-anak mereka. Alasan wali murid, guru tersebut lebih enak mengajar dan disukai anak-anak.
Berdasarkan pertimbangan ini, sejumlah wali murid yang dimediasi oleh ketua komite sekolah berusaha meminta pengurus Lembaga Pendidikan Islam ini untuk menarik kembali guru tersebut. Pertimbangan lainnya karena anak-anak mereka “tidak suka” dengan guru baru dan kalau dibiarkan, versi wali murid anak-anak tidak lagi mau berangkat sekolah, dan itu artinya nyopot (putus sekolah). Memang persoalan putus sekolah di daerah ini mengkhawatirkan sehingga usulan wali murid ini menjadi masalah baru bagi pengurus dan sebagai masalah yang menekan kekhawatiran pengurus akan terjadinya anak-anak tidak sekolah semakin besar ?
Pengurus galau. Maklum mereka masih dalam taraf belajar menejemen dan bangkit dari keterbatasan-keterbatasan ilmu menejemen. Mereka memiliki kemauan kuat berubah, namun basis pengetahuan pengurus masih mengandalkan pada kemampuan belajar berdasarkan dari apa yang menurut mereka yakini baik dan bermanfaat untuk perubahan lembaga. Ilmu mereka berkembang dari hasil-hasil musyawarah (belajar bersama). Mereka otodidak menejemen. Oleh karena itu kegalauan atas kasus ini dan tekanan dari wali murid nampaknya menjadi bahan musyawarah panjang yang pada akhirnya bertabrakan dengan keputusan awal, yakni tentang tetap mempertahankan sanksi atau menerima usul wali murid untuk menarik kembali guru yang diberi sanksi karena persoalan moralitas tersebut mengajar kembali ?
Untuk mengantisipasi masalah tersebut, sebenarnya guru baru tersebut telah diberi wawasan dan dampingan selama lebih satu minggu dari pengurus agar guru baru mampu menjadi pendidik yang baik. Tetapi karena mereka bukan berlatar belakangan pendidikan guru (PGTK), maklum perubahan itu nampaknya belum bisa diharapkan secara instan, sementara wali murid kecewa dan menekan untuk segera meminta guru lama yang diberhentikan agar kembali mengajar anak-anak mereka ?

Pergumulan Nilai
Kebimbangan ini berkelanjutan. Pertanyaannya adalah mengapa sanksi yang berhubungan dengan moralitas itu rapuh ketika berhadapan dengan kepentingan lain ? Mereka memahami bahwa perilaku guru secara etik dan hukum adat tidaklah benar namun ketika kepentingan anak-anak mereka mulai goyah oleh suatu perubahan, bahwa anak-anak itu hanya senang diajar oleh guru lama yang nyata-nyata secara moral telah cacat ? Pertanyaan berikutnya apakah mereka cenderung abai dengan komitmen untuk menjaga sanksi moralitas tersebut dan dengan demikian konsisten terhadap penegakan aturan ? Saya pribadi pun berkesimpulan, apakah inkonsistensi ini dan toleransi terhadap pelanggaran moral inilah yang membawa implikasi tingginya kasus-kasus perselingkuhan, kehamilan tidak diinginkan di luar nikah menjadi tinggi di desa-desa miskin ?
Sebagai masyarakat belajar kegalauan pengambilan keputusan yang menabrak konsistensi sanksi hukum tersebut dimaklumi ? Mereka berusaha mencari jalan terbaik ? Kemampuan wali murid untuk mau menyampaikan aspirasi saja sudah bagus karena selama ini hampir jarang terjadi. Artinya, wali murid peduli pada pendidikan anak-anak. Itu adalah harapan bagi banyak pihak ditengah krisis rendahnya kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak-anak ? Tetapi ketika aspirasi itu melahirkan pilihan yang menabrak konsistensi peraturan yang dianggap paling krusial, mana yang harus dipilih, tetap mempertahankan dua guru baru atau memanggil kembali guru yang “cacat moral” ?
Dalam sebuah proses perubahan dan proses belajar yang sangat baru, dilema ini dapat dimaklumi memang sulit ? Ibarat buah simalakama. Sebagai seorang yang datang dari luar, saya pun akhirnya ketiban sampur dimintai masukan untuk mengerucutkan pengambilan keputusan yang tepat dalam jagongan kecil di sebuah rumah tokoh masyarakat tersebut.
Saya kemudian memasuki ranah mereka dan mengembalikan dengan membuat pertanyaan, seberapa pentingkah sanksi itu dibuat ? Lebih penting mana kita memihak pada konsistensi hukum moralitas tersebut yang sudah diputuskan atau menarik sanksi, memanggil guru tersebut untuk kembali mengajar anak-anak ? Di satu sisi pengurus menginginkan agar aspirasi wali murid diterima karena semakin menekan pengurus, tetapi di sisi lain berarti pengurus telah menggadaikan moralitas dalam arti mencabut keputusan penting terhadap moralitas tersebut ? Meskipun pengurus lain juga ada yang tidak sependapat. Tetapi ketika saya hadir di musyawarah ini, keputusan untuk mencabut sanksi dan kembali memanggil guru tersebut menguat karena di satu sisi pengurus tidak ingin aspirasi wali murid itu berbuah perlawanan dan berdampak anak-anak tidak sekolah ?
Bagaimana menurut Anda ? Saya pun akhirnya terusik, dan mencoba untuk tidak langsung menentukan putusan ketika diminta pertimbangan. Saya terusik bahwa ketika sanksi terhadap pelanggaran moralitas (kejahatan) itu rapuh, kemana moralitas itu memihak ?
Saya berpendapat masalah moralitas jauh lebih penting daripada kasus perlawanan wali murid dan penyesuaian guru baru dalam mengajar. Pada jagongan ini saya kemudian mencoba mengarahkan arus pembicaraan pada pertanyaan dasar, ukuran apa dan seberapa penting sanksi itu dijatuhkan terhadap pelanggaran moral (hubungan seksual di luar nikah), kalau ini dianggap tidak lagi penting berarti dasar moralitas kita rapuh, dan menjadi model baru bahwa komitmen moralitas yang seharusnya dijaga oleh Lembaga Pendidikan Islam, jika sanksi itu bisa ditransaksikan maka dengan demikian moralitasan di luar nikah itu bisa ditawar-tawar. Bagi saya komitmen moralitas di sebuah desa seharusnya menjadi modal sosial mengontrol berjalannya etika lokal yang itu pun seharusnya juga bisa survive di budaya desa, tetapi mengapa hal ini akan ditabrak ? Ini kan bukan moralitas kota, ini adalah moralitas desa !
Saya berusaha untuk memetakan bobot kasus ini kembali pada seberapa komitmen mereka untuk menjaga moralitas tersebut. Bagi saya ini hanya persoalan belajar masyarakat, yang mana mereka perlu belajar lebih menantang lagi untuk menyelesaikan masalah tanpa mengabaikan sanksi moralitas tersebut ? Ketika sanksi itu tidak dicabut, maka masyarakat perlu belajar lebih berani menghadapi wali murid dan menata menejemen keguruan di TK tersebut.
Tantangan Masyarakat Belajar
Dari sini ada beberapa tantangan yang perlu dipecahkan agar keputusan tidak menoleransi pelanggaran moral yang itu berakibat buruk pada pemodelan nilai-nilai di masyarakat yakni,
Fokus pertama, pertahankan sanksi itu karena ketika sanksi itu dicabut, moralitas masyarakat akan semakin rapuh. Ini juga cermin bahwa komitmen moralitas Lembaga Pendidikan Islam lebih memihak moralitas sementara masalah lain dapat diselesaikan dengan beragam cara
Fokus kedua, perubahan itu berat bagi masyarakat yang sedang belajar membangun kapasitas dengan keterbatasan sumberdaya manusia, apalagi di daerah miskin. Tidak perlu menyerah dengan menoleransi pelanggaran moral yang itu dari perspektif lembaga pendidikan islam adalah hal yang cukup penting. Oleh karena itu, mendatangkan guru baru menurut saya sangat bagus, hanya kita butuh bersabar dan selalu mengembangkan musyawarah dan mendampingi guru baru tersebut agar lebih peka dan mau belajar dari pengalaman ini. Di sini kita belajar otodidak tentang menejemen dan ini tantangan pengurus belajar dari proses yang ada.
Fokus ketiga, wali murid yang sudah mampu menyalurkan aspirasi ke lembaga itu sangat progresif (maju), bukankah itu harapan kita juga, yakni mereka sudah berani bicara. Tetapi ketika kita mengambil “cara yang bernoda” untuk mencapai kebaikan, apa jadinya. Ibarat nilai setitik rusak susu sebelanga. Oleh karena itu, pengurus perlu belajar melakukan pendekatan atau musyawarah dengan wali murid.
Fokus keempat, bukankah orang tua adalah lanjaran generasi atau anak-anak. Kita (saya dan komunitas ini) sudah bersama menemukan ilmu baru bahwa dukungan orang tua yang menentukan apakah anak berangkat sekolah atau tidak. Ini kan pelajaran yang sudah kita pelajari bersama-sama. Pengurus punya tanggungjawab memberdayakan orang tua. Nah, ini PR yang tidak harus dihindari dan ditakuti pengurus. Pengurus sekarang punya pekerjaan baru mengelola aspirasi orang tua lebih cerdas lagi, yakni mengembangkan teknik memberi dorongan dan sekalian diajak berdiskusi dengan guru cara-cara mengajar yang menyenangkan itu bagaimana ? Cara ini menurut saya jauh akan menjadi sumber belajar masyarakat yang memberdayakan dan memandirikan.
Fokus kelima, ajaklah guru baru untuk belajar bersama bahwa ini demi kepentingan bersama, karena mereka tidak dari latar-belakang profesi guru, namun kehadiran mereka adalah solusi. Jangan pinggirkan mereka. Pendampingan terhadap mereka sangat dibutuhkan. Ajak guru belajar bersama. Bukankah di situ ada guru-guru yang sudah memiliki pengalaman atau orang-orang lokal yang memiliki pandangan positif bagaimana mendidik anak-anak lebih menyenangkan. Ini saja yang diperkuat.
Dari lima fokus tersebut, saya berharap akan memberikan implikasi perubahan kapasitas, dan saya kurang sependapat bahwa keputusan mencabut sanki adalah pilihan pengambilan keputusan. Karena kalau ini diambil, moralitas ini telah rapuh, dan kita tidak membelajari masyarakat untuk menjaga moralitas.  Miskin harta tak berarti kita juga miskin nilai ? Saya kira desa ini bukan kota yang bebas nilai. Bahwa nilai-nilai masih bisa kita hidupi dari nalar-nalar orang desa yang masih memegang budaya, kuatnya modal sosial dan kesadaran bersama jauh lebih mudah dikondisikan karena nilai-nilai kolektif masih menjadi pijakan perilaku masyarakat desa ?
Pada titik kritis ini, semua toh akan kembali ke keputusan pengurus dan pertimbangan komunitas terhadap pilihan-pilihan mereka.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi saya untuk menyampaikan sikap saya terhadap kasus yang sedang dihadapi oleh komunitas desa Bukit Melintang. Tulisan ini juga sekaligus refleksi tentang renungan saya, yang lama belum terjawab, mengenai mengapa terjadinya berbagai peristiwa hubungan seksual di luar nikah yang tinggi di desa dengan tingkat kemiskinan tinggi atau di desa yang dianggap terpinggir ? Kasus ini saya temui di beberapa desa yang pernah saya singgahi. 
Anda punya opini ?
23 November 2012

No comments: