Tuesday, July 24, 2012

Hikmah 3 : Mahabah Bi Allah

Metanarasi. Minggu malam Senin, saya dan sekeluarga melanjutkan tarawih di masjid AL-Muhajirin RW 8 Perumahan Joyogrand Kelurahan Merjosari Malang. Kultum kali ini mengambil tema mengenai cinta kepada Allah (Mahabah Bi Allah) yang disampaikan oleh Ust. Syamsul Afandi.

Pada kesempatan malam yang diliputi udara dingin yang bertiup dari luar masjid yang megah, Ust Syamsul Afandi mengulas bahwa semakin dalam kita mengenali rahasia Allah maka akan semakin lama nampak kebesaran Alllah. Begitulah hakikah cinta. Semakin mendekat dan semakin kita bisa masuk pada rahasia itu, maka disitulah cinta akan memperoleh pencerahannya. Begitulah Ust. Syamsul Afandi mengawali kuliah sepuluh menit setelah shalat isya’.
Orang yang sedang dilanda cinta itu selalu merasa dipuja dan dipuji bahkan dimanja, begitu juga pengorbanan sebesar apapun tidak akan terasa. Perasaan cinta ini jika diibaratkan sebagai bagian dari cinta kita kepada Allah maka seluruh bakti dan tekat hidup kita akan selalu tertuju pada Allah, baik melalui puja-puji maupun pengorbanan.
Untuk mengetahui makna cinta ini, menurut Ust. Syamsul Afandi, kita perlu melengkapi piranti ma’rifah bi allah. Ma’rifah Bi Allah yakni upaya manusia/hamba mengetahui Tuhannya. Dalam hal ini bagaimana kita kemudian mengenali Allah dalam seluruh aktifitas kita, baik pada waktu bekerja, santai atau dalam kondisi apapun. Sebagai salah satu cara untuk mengenal Allah, beliau menyarankan untuk menyelami asma’ al-husna, sifat wajib allah atau kita bisa melakukan observasi pada ayat-ayat kauniyah. Maka di sinilah kita dapat mengenali Allah dari tanda-tanda yang ada di lingkungan sekitar kita.
Syarat yang utama untuk mengenal Allah adalah mencoba mengenali diri sendiri, hal ini sebagaimana beliau sampaikan bahwa barang siapa mengenal dirinya sendiri maka dia akan mengenal Allah, Man arafa nafsah faqat arafa bi allah.  Bagaimana kita bisa mengenalinya ?. Ust. Syamsul Afandi kemudian memberikan contoh, “misalkan kita mau bekerja, sebelum berangkat berdoa kepada Allah dengan niatan baik bekerja untuk mendapat ridho Allah, dan rezeki yang halal. Setelah sampai di tempat kerja kemudian mendapat kesulitan lantas kita pun berdoa kepada Allah dan akhirnya mendapat jalan keluar, alangkah bahagianya kita telah mampu keluar dari masalah yang kita hadapi. Semua proses yang dilalui ini tidak lain dari upaya mendapatkan ridho Allah SWT. Dari pengalaman ini tergambar bahwa apa pun profesi manusia, segala apa yang kita lihat, dengar dan rasakan, di situlah Allah hadir dalam diri kita. Ini adalah bukti bahwa kita mencintai Allah.
Buah dari pengetahuan tersebut niscaya allahpun akan mencintai kita. Situasi timbal balik kecintaan terhadap allah ini digambarkan sebagai berikut, habibullah inda ibaadih, yuhbib kumullah, cintailah Allah sebagaimana Allah mencintai hambanya, maka pasti Allah akan mencintainya. Artinya Allah akan mencintai seorang hambanya jika hamba tersebut mencintai-Nya sebagaimana cinta Allah pada seorang hamba. Ujaran ini dapat diambil hikmah bahwa cinta Allah merata dan tidak membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin, suku atau yang lainnya.
Ust. Syamsul Afandi menegaskan kembali dengan merujuk pada sabda Rasulullah SAW, bahwa baromater cinta sejati itu dapat dipilah menjadi tiga perkata, Shidqu al mahabah fi salasil fisholin. Jika ketiga perkara itu dihayati dalam laku batin hamba Allah niscaya kita dapat mengelola cinta kita kepada Allah. Ketiga perkara tersebut antara lain ;
Ayyaftara kalama habibi ‘ala habibi ghairihi. Perkata pertama menyangkut bahwa cinta sejati itu menggambarkan perumpamaan bahwa orang yang sedang mencinta itu “lebih memilih ucapan kekasihnya daripada memilih ucapan selain kekasihnya”. Lantas, manakala hamba mencintai Allah, sebagaimana dituturkan oleh Ust. Syamsul Fanani, maka hamba tersebut tentu lebih memilih firman Allah ketimbang yang lainnya. Pilihan itu juga berlaku kalau umat Islam mencitani Rasulullah, maka yang kita pilih adalah sabda-sabdanya”.  Jika kita sebagai umat Islam mengajak mencintai Allah dan Rasul-nya maka hanya pilihan firman-Nya dan sunnah Rasul-lah ucapan yang diteladani serta diikuti.
Ayyaftara mujalatsata habibi ala mujalatsata ghairihi. Perkara kedua menggambakan bahwa orang yang mencintai maka dia akan memilih duduk/bersandar secara mesra dengan kekasihnya daripada duduk dengan yang lainnya. Oleh karena itu, semangat ini terjabar pada QS Ali Imron, 191 : “Inna allah yadzkuruna allah qiyama wa qu’uda wa ala junubihim. Orang yang cinta kepada Allah, setiap momentum aktifitas hariannya selalu tidak lepas dari mengingat kepada Allah, baik saat berdiri, duduk, ataupun sedang berbaring. Ibaratnya setiap denyut nadi hamba selalu terkandung ingatan kepada yang dicintainya, yakni Allah SWT.
Ayyaftara ridho habibihi ala ridho ghairihi. Perkara ketiga yaitu orang yang mencinta tidak pamrih kecuali ia hanya memilih untuk mendapat keridhoan dari yang ia cintai daripada keridhoan selain-Nya. Tidak ada laku lebih dari upaya mengharap ridho Allah. Saran Ust. Syamsul Fanani, ajaklah keluarga, istri, anak dan kerabat kita untuk selalu bertanya mengenai keridhoaan Allah atas pilihan-pilihan dan laku hidup kita. Dengan selalu menanya dan berdoa untuk mengharap ridho Allah, niscaya insya Allah, Allah akan memberikan hidayah kepada kita. Inilah harapan yang dikuatkan oleh Ust. Syamsul Fanani dengan nada lirih dan tegas.
Ust Syamsul Fanani menutup dengan mengingatkan kembali bahwa cinta sejati itu selalu merujuk pada cinta untuk mengutamakan perintah Allah di atas laku kita sebagai hamba Allah demi mengharap ridho Allah, tetapnya amal (istiqomah) dan berharap karamah Allah mengejawantah oleh karena kemurahan Allah SWT. Wallahu A’lam bi As Shawab.

1 comment:

Gubuk Wacana said...

Muhabbah bersama (bi) Allah, Muhabbah kita di dalam Muhabbah Allah [muhabbah fillah]