Metanarasi. Minggu malam Senin, saya dan sekeluarga melanjutkan
tarawih di masjid AL-Muhajirin RW 8 Perumahan Joyogrand Kelurahan Merjosari Malang. Kultum kali ini mengambil
tema mengenai cinta kepada Allah (Mahabah Bi Allah) yang disampaikan
oleh Ust. Syamsul Afandi.
Pada kesempatan malam yang diliputi udara dingin yang bertiup dari luar masjid yang megah, Ust Syamsul Afandi mengulas bahwa semakin dalam kita mengenali rahasia Allah maka akan semakin lama nampak kebesaran Alllah. Begitulah hakikah cinta. Semakin mendekat dan semakin kita bisa masuk pada rahasia itu, maka disitulah cinta akan memperoleh pencerahannya. Begitulah Ust. Syamsul Afandi mengawali kuliah sepuluh menit setelah shalat isya’.
Pada kesempatan malam yang diliputi udara dingin yang bertiup dari luar masjid yang megah, Ust Syamsul Afandi mengulas bahwa semakin dalam kita mengenali rahasia Allah maka akan semakin lama nampak kebesaran Alllah. Begitulah hakikah cinta. Semakin mendekat dan semakin kita bisa masuk pada rahasia itu, maka disitulah cinta akan memperoleh pencerahannya. Begitulah Ust. Syamsul Afandi mengawali kuliah sepuluh menit setelah shalat isya’.
Orang yang sedang dilanda cinta itu selalu merasa dipuja
dan dipuji bahkan dimanja, begitu juga pengorbanan sebesar apapun tidak akan
terasa. Perasaan cinta ini jika diibaratkan sebagai bagian dari cinta kita
kepada Allah maka seluruh bakti dan tekat hidup kita akan selalu tertuju pada
Allah, baik melalui puja-puji maupun pengorbanan.
Untuk mengetahui makna cinta ini, menurut Ust. Syamsul
Afandi, kita perlu melengkapi piranti ma’rifah bi allah. Ma’rifah Bi Allah
yakni upaya manusia/hamba mengetahui Tuhannya. Dalam hal ini bagaimana kita kemudian mengenali
Allah dalam seluruh aktifitas kita, baik pada waktu bekerja, santai atau dalam
kondisi apapun. Sebagai salah satu cara untuk mengenal Allah, beliau
menyarankan untuk menyelami asma’ al-husna, sifat wajib allah atau kita bisa
melakukan observasi pada ayat-ayat kauniyah. Maka di sinilah kita dapat
mengenali Allah dari tanda-tanda yang ada di lingkungan sekitar kita.
Syarat yang utama untuk mengenal Allah adalah mencoba
mengenali diri sendiri, hal ini sebagaimana beliau sampaikan bahwa barang siapa
mengenal dirinya sendiri maka dia akan mengenal Allah, Man arafa nafsah
faqat arafa bi allah. Bagaimana kita
bisa mengenalinya ?. Ust. Syamsul Afandi kemudian memberikan contoh, “misalkan
kita mau bekerja, sebelum berangkat berdoa kepada Allah dengan niatan baik
bekerja untuk mendapat ridho Allah, dan rezeki yang halal. Setelah sampai di
tempat kerja kemudian mendapat kesulitan lantas kita pun berdoa kepada Allah
dan akhirnya mendapat jalan keluar, alangkah bahagianya kita telah mampu keluar
dari masalah yang kita hadapi. Semua proses yang dilalui ini tidak lain dari upaya
mendapatkan ridho Allah SWT. Dari pengalaman ini tergambar bahwa apa pun
profesi manusia, segala apa yang kita lihat, dengar dan rasakan, di situlah
Allah hadir dalam diri kita. Ini adalah bukti bahwa kita mencintai Allah.
Buah dari pengetahuan tersebut niscaya allahpun akan
mencintai kita. Situasi timbal balik kecintaan terhadap allah ini digambarkan
sebagai berikut, habibullah inda ibaadih, yuhbib kumullah, cintailah Allah
sebagaimana Allah mencintai hambanya, maka pasti Allah akan mencintainya. Artinya
Allah akan mencintai seorang hambanya jika hamba tersebut mencintai-Nya
sebagaimana cinta Allah pada seorang hamba. Ujaran ini dapat diambil hikmah
bahwa cinta Allah merata dan tidak membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin,
suku atau yang lainnya.
Ust. Syamsul Afandi menegaskan kembali dengan merujuk
pada sabda Rasulullah SAW, bahwa baromater cinta sejati itu dapat dipilah
menjadi tiga perkata, Shidqu al mahabah fi salasil fisholin. Jika ketiga
perkara itu dihayati dalam laku batin hamba Allah niscaya kita dapat mengelola
cinta kita kepada Allah. Ketiga perkara tersebut antara lain ;
Ayyaftara kalama habibi ‘ala habibi ghairihi. Perkata pertama menyangkut bahwa
cinta sejati itu menggambarkan perumpamaan bahwa orang yang sedang mencinta itu
“lebih memilih ucapan kekasihnya daripada memilih ucapan selain kekasihnya”. Lantas,
manakala hamba mencintai Allah, sebagaimana dituturkan oleh Ust. Syamsul
Fanani, maka hamba tersebut tentu lebih memilih firman Allah ketimbang yang
lainnya. Pilihan itu juga berlaku kalau umat Islam mencitani Rasulullah, maka
yang kita pilih adalah sabda-sabdanya”. Jika
kita sebagai umat Islam mengajak mencintai Allah dan Rasul-nya maka hanya
pilihan firman-Nya dan sunnah Rasul-lah ucapan yang diteladani serta diikuti.
Ayyaftara mujalatsata habibi ala
mujalatsata ghairihi.
Perkara kedua menggambakan bahwa orang yang mencintai maka dia akan memilih
duduk/bersandar secara mesra dengan kekasihnya daripada duduk dengan yang
lainnya. Oleh karena itu, semangat ini terjabar pada QS Ali Imron, 191 : “Inna
allah yadzkuruna allah qiyama wa qu’uda wa ala junubihim. Orang yang cinta
kepada Allah, setiap momentum aktifitas hariannya selalu tidak lepas dari
mengingat kepada Allah, baik saat berdiri, duduk, ataupun sedang berbaring.
Ibaratnya setiap denyut nadi hamba selalu terkandung ingatan kepada yang
dicintainya, yakni Allah SWT.
Ayyaftara ridho habibihi ala ridho
ghairihi. Perkara ketiga yaitu orang yang
mencinta tidak pamrih kecuali ia hanya memilih untuk mendapat keridhoan dari
yang ia cintai daripada keridhoan selain-Nya. Tidak ada laku lebih dari upaya
mengharap ridho Allah. Saran Ust. Syamsul Fanani, ajaklah keluarga, istri, anak
dan kerabat kita untuk selalu bertanya mengenai keridhoaan Allah atas
pilihan-pilihan dan laku hidup kita. Dengan selalu menanya dan berdoa untuk
mengharap ridho Allah, niscaya insya Allah, Allah akan memberikan
hidayah kepada kita. Inilah harapan yang dikuatkan oleh Ust. Syamsul Fanani
dengan nada lirih dan tegas.
Ust Syamsul Fanani menutup dengan mengingatkan kembali
bahwa cinta sejati itu selalu merujuk pada cinta untuk mengutamakan perintah Allah
di atas laku kita sebagai hamba Allah demi mengharap ridho Allah, tetapnya amal
(istiqomah) dan berharap karamah Allah mengejawantah oleh karena kemurahan
Allah SWT. Wallahu A’lam bi As Shawab.
1 comment:
Muhabbah bersama (bi) Allah, Muhabbah kita di dalam Muhabbah Allah [muhabbah fillah]
Post a Comment