Friday, November 30, 2012

Tips Sehat Berteknologi untuk Anak

Sampailah tantangan yang rumit bagi kami saat ini menghadapi permintaan dua anak kami, Zara (10 tahun) dan Irsyad (8 tahun) untuk dibelikan handphone dan meminta dibuatkan akun facebook. Dulu, kami tak sekecil itu mengenal teknologi, paling televisi. Anak-anak ini sudah piawai surfing (berselancar) di google untuk mencari gambar kesukaannya atau menggunakannya untuk mendukung tugas-tugas sekolah sederhana. Selain itu, identifikasi akan hak milik mereka sampai pada keinginan untuk memiliki telepon seluler sendiri. Keinginan tersebut berlanjut ke izin membuat akun facebook.

Sebagian orang tua memiliki sikap berbeda-beda, ada yang permisif, yakni langsung membelikan handphone pribadi dan membiarkan anak memiliki akun facebook untuk anak-anak usia 8 tahun. Ada yang autoritatif, yakni mengendalikan keinginan anak dan membatasi akses mereka atau dengan syarat-syarat tertentu yang dapat dijadikan sebagai fungsi kontrol agar anak tidak terjerumus pada adiksi teknologi sehingga berdampak tidak sehat pada anak. Keragaman sikap orang tua menunjukkan cara pengasuhan yang berbeda-beda. Bagi kami, menunda keinginan tidak membelikan handphone dan menunda untuk sementara waktu tidak membuat akun facebook adalah cara kami untuk mencari cara yang tepat dan aman (sehat) menggunakan teknologi bagi anak-anak usia sekolah dasar. Bagaimana dengan anda ?

Siluman pornografi sewaktu-waktu menyerang
Namun, perlu kiranya di sini kami ingin sampaikan bahwa dalam sejumlah pengalaman anak dalam surfing (berselancar) dan berkomunikasi dengan teman sebayanya, khususnya menggunakan SMS dengan menggunakan seluler kami (orang tua), kami menemukan titik kritis (bahaya) yang nylonong adanya konten pornografi atau gambar-gambar erotis dan sensual pada teknologi yang digunakan anak-anak kami. Konten pornografi atau erotis bisa saja masuk tanpa kita ketahui. Ia sewaktu-waktu menembus akses anak-anak kita. Kecolongan.

Mafhum dan kerap kita jumpai dalam perkembangan teknologi, utamanya seluler dan internet, pemilik provider seluler dan penyedia layanan situs online internet menyeliakan konten beraroma seksualitas untuk mengundang daya tarik pelanggan agar laman mereka dihampiri oleh pembaca dan konsumen. Semakin tinggi rating pengunjung pada laman dimaksud, penyedia provider akan diuntungkan. Semakin bertambah jumlah pengunjung maka dari situ akan meningkatkan interes iklan. Kalau tidak demikian, intensitas kita berselancar di laman atau providernya, memori konsumen semakin melekat dan dari segi branding, penyedia laman akan juga diuntungkan. Oleh karena itu daya pikat dilakukan oleh penyedia layanan dengan berbagai cara, salah satunya memasang konten menyerempet berita atau gambar-gambar beraroma seksualitas.

Coba lihat yahoo, secara acak, penyedia layanan ini dapat anda jumpai beberapa konten berita bercitarasa seks. Tidak hanya itu, saya juga menemui penyedia provider seluler menyebar konten promo dengan disertai bumbu seks, seperti promo meminta mengunjungi tautan tertentu atau berlangganan, maka konsumen akan mendapat reward foto-foto seksi. Memang, di Indonesia url yang mengarah ke pornografi diblokir, tetapi tidak otomatis hilang konten tersebut.

Berdasarkan kecenderungan itu, saya mengimbau kepada orang tua untuk lebih peduli mengawasi aktifitas anak ketika mereka berinteraksi dengan internet dan telepon seluler. Saya punya pengalaman, anak saya menerima konten pesan untuk promo produk provider seluler yang isinya ada layanan gratis berupa akses foto seksi jika konsumen melakukan aktifasi layanan tertentu. Pesan ini dikirim lewat SMS dari teman anak saya sekolah (kelas dua SD) ke seluler ibunya. Kebetulan seluler ini kami berikan sebagian hak penggunaannya pada anak kami sebagai kompensasi karena dia sempat merenget minta dibelikan handphone.

Pengalaman lain, ketika anak mencoba-coba membuat akun FB, dia berusaha membuka yahoo.com untuk aktifasi email. Usaha membuat email tersebut gagal, dan kami tetap mengawasi mereka. Suatu kejadian mengejutkan saya, ketika anak mencoba membuat (sign up) email, di header laman tersebut muncul gambar video porno (sexual intercourse) dalam bentuk gerakan flash. Flash tersebut tidak begitu jelas kalau diamati tanpa focus karena ukurannya kecil sekali, tetapi ketika kita focus ke flash tersebut, kontennya menunjukkan hubungan intim yang terlihat naik turun dengan gerak zina dan gambar kelaminnya sangat jelas. Untungnya kegiatan anak kami saya awasi dari dekat sehingga saya langsung meng-close dan sedikit memarahi anak saya karena saya sendiri shock melihat kejadian tersebut.

Memang, akhir-akhir ini saya dan istri dihadapkan pada permintaan anak-anak untuk dibuatkan akun facebook. Selain itu, permintaan untuk memiliki telepon seluler sendiri pada dua anak saya kerap juga muncul. Anak saya, yang satu kelas 5 SD dan 2 SD, cewek dan cowok. Permintaan itu tidak serta merta kami turuti. Mengenai permintaan memiliki seluler, kami berhasil mengolor-olornya dan mengalihkan hasrat kepemilikan itu ke bentuk sub-ordinat kepemilikan alat komunikasi. Termasuk penggunaan FB. Maksud kepemilikan subordinat ini yaitu memberikan sebagian hak kepemilikan perangkat tersebut untuk anak.

Misalnya begini, anak kami beri hak menggunakan seluler untuk komunikasi timbal-balik dengan teman-teman mereka. Namun kepemilikan masih ada di kami sebagai orang tua. Begitu juga dengan FB, kami akhirnya meng-add teman-teman anak-anak kami yang memang sudah banyak memiliki akun FB. Anak saya kemudian menggunakannya untuk berinteraksi dengan temannya. Cara ini efektif mengontrol jalur komunikasi dan konten komunikasi anak. Kami berprinsip selama anak masih bisa dicegah, penundaan kepemilikan akun FB dan seluler masih menjadi prioritas. Anak pun dapat mengetahui FB atau menggunakan seluler sehingga dia setidaknya punya pengetahuan berimbang dengan teman-temannya. Pengetahuan ini memberikan penguatan agar dia tidak buta tentang teknologi tersebut dan bisa mengimbangi ketika anak-anak sedang menjalin pertemanan dengan sebayanya.

Sehat Berteknologi untuk Anak
Sebagai orang tua, apa yang seharusnya dilakukan ketika anak-anak mulai mengenal teknologi dan berinteraksi dengan basis cybernetic seperti keinginan membuat akun facebook sementara umur mereka belum cukup mandiri untuk menyaring informasi secara kapabel se-usia mereka.

Berikut ini beberapa pikiran yang sebagian merupakan cara kami mengendalikan dan mengawasi anak-anak kami berinteraksi dengan teknologi.

Pertama, menunda keinginan anak memiliki perangkat teknologi, tetapi tetap mengenalkan kepada mereka teknologi. Pilihan ini tantangan sulit ketika teman-temannya diberi kebebasan oleh orang tua untuk memiliki teknologi tersebut, seperti kepemilikan telepon seluler dan laman facebook. Teknisnya, anak bisa menggunakan SMS, telepon dan komunikasi melalui facebook/chatting melalui alat dan media yang dimiliki orang tua. Cara ini tidak membatasi melek teknologi anak tetapi orang tua tetap bisa mengawasinya. Orang tua memiliki kendali terhadap perputaran komunikasi selama anak menggunakan fasilitas tersebut.

Kedua, jika tidak bisa ditunda, untuk kepemilikan facebook, lebih baik orang tua yang membuatkan akunnya daripada anak dibuatkan temannya sehingga orang tua bisa memantau karena password akun anak juga diketahui oleh orang tua. Periksalah akunnya setiap hari atau tergantung aktifitas akses anak. Tetapi saya menyarankan agar anak tidak memiliki akun facebook, terutama usia anak-anak SD karena masih belum terlalu dibutuhkan bagi anak usia ini. Jika kami sudah tidak bisa membendung keinginan anak-anak kami, cara ini akan kami pilih agar anak terpantau aktifitas onlinenya.

Ketiga, untuk mengalihkan agar tidak kecanduan facebook yang tidak begitu berguna untuk usia SD, kenalkan anak untuk googleing saja. Fasilitas ini lebih bermanfaat, misalnya untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan anda bisa mengajak surfing anak anda mencari latihan soal-soal harian. Fasilitas ini juga dapat membantu PR anak yang tidak bisa memahami tema-tema tertentu. Kegiatan ini ibarat anak diajak latihan penelitian sederhana. Orang tua pun dapat belajar dari surfing tersebut. Di sini orang tua tetap perlu mendampingi anak-anak ketika surfing di google. Saya tidak begitu menyarankan kepemilikan FB karena usia SD belum bisa diterima registrasi untuk memiliki akun email. Di google saja, kepemilikan email usia SD tidak diizinkan, kecuali mengonfirmasi menggunakan fasilitas filter untuk email anak-anak agar anak dapat dilindungi dari ancaman konten dewasa.

Keempat, hindarkan anak mengakses laman yahoo. Laman ini rawan untuk anak-anak karena berita-berita dewasa, dan seks kerap menjadi headline dan mudah diakses. Di laman facebook kadang juga demikian. Coba lihat di laman fanpage kita, promo melanggan seorang pemilik akun yang bisaanya memiliki gambar-gambar seksi dan belum layak untuk anak-anak erotik dan tips seks. Oleh karena itu, saya sependapat jika di SD anak-anak diimbau untuk tidak dulu memiliki akun facebook, jika memang terpaksa, alternatif kedua dapat diterapkan. Pilihan yang paling baik, jika tidak bisa dihindari, pantaulah atau dampingi setiap kali anak melakukan surfing dari jauh dengan mengintip- sesekali waktu di saat anak asik surfing.

Kelima, selain googleing di atas, anak lebih baik dikenalkan blog, laman-laman edukatif yang menginspirasi anak untuk memperkaya pengalaman, menaungi kreatifitas mereka dan mengembangkan bakat anak, seperti menggambar, menulis, atau mencari pengetahuan untuk memperluas pelajaran di sekolah. Googleing lebih dianjurkan daripada yahoo.com. Meskipun begitu, googleing tidak berarti seaman yahoo. Yahoo di laman awal, mereka langsung ditampilkan berita, sementara google tidak. Kerawanan google terletak di teknik surfingnya karena desain kata kuncinya sensitive. Contoh, ketika kita mau mencari kata kunci tertentu, seperti kata “senandung”, google akan sensitive menampilkan kata pilihan untuk diklik. Bisa saja pilih yang diberikan google sebagian mengarah ke pilihan kata kunci seks. Ketika terklik secara tidak sengaja, jelas gambar-gambar atau informasi terkait dengan seks akan muncul. Oleh karena itu orang tua tetap perlu mendampingi atau mengawasi surfing anak-anak.

Keenam, orang tua dihimbau untuk juga melek teknologi agar mampu beradaptasi dengan berbagai perkembangan cybernetika dan dinamika penggunaan, perkembangan dan resikonya. Semakin orang tua memahami perkembangan cybernetika, orang tua akan memiliki pengetahuan dan mampu mengenali efek buruk serta resiko yang berkembang mengiringi perkembangan cybernetika.

Perilaku positif diawali kebiasaan positif sejak dini
Anak-anak pada era sekarang perkembangan mereka tidak bisa disterilisasi dari dunia teknologi seperti seluler dan internet. Kita sebagai orang tua hanya bisa mengarahkan dan mengawasi. Saya menganjurkan khusus untuk anak-anak usia SD, perlunya kordinasi sekolah dan orang tua menyepakati beberapa hal terkait dengan penggunaan teknologi bagi anak seperti seluler dan social media agar pengawasan dan pencegahan resiko dampak tidak diinginkan dapat diminimalisir sejak dini.

Hal ini penting karena ketika di rumah anak dicegah sementara teman sekolahnya bebas tanpa kontrol menggunakan perangkat teknologi dan internet (facebook), maka anak lebih memilih referensi dari teman sebayanya ketimbang himbauan orang tua. Jika anak mengambil referensi temannya orang tua akan rawan kecolongan. Oleh karena itu dibutuhkan komunikasi untuk mengatur batas-batas penggunaan teknologi antara sekolah—orang tua dan anak. Pilihan ini menurut saya lebih bijaksana untuk mencegah terjadinya efek buruk teknologi dan mengembangkan pendampingan melek teknologi bagi anak-anak secara sehat agar mereka dibiasakan untuk menggunakan perangkat teknologi dan cybernetika sejak dini secara tepat, berguna dan bermanfaat.

Kebisaaan sejak dini yang positif jauh dapat mengarahkan anak pada titik awal yang baik dalam mengenali teknologi dan cybernetika. Pembiaran terhadapnya (gaya pengasuhan permisif) akan berdampak negative karena anak belum mandiri untuk mampu mengambil keputusan independen mengenai baik dan buruk. Masa anak (Usia SD) sangat ditentukan oleh bagaimana kebisaaan baik atau buruk itu dipupuk sejak dini. Ketika anak dipupuk pembisaaan yang positif, dia akan terkondisi ke arah yang positif. Sebaliknya, ketika anak diberi kebebasan tanpa control, ketika anak sampai pada perilaku menyimpang, jauh akan lebih sulit membelokkan anak atau mengarahkan anak. Orang jawa menyebut, wis kadung. Menurut conditioning operant, kebiasaan yang tepat, positif, berguna, dan fungsional yang dibentuk sejak dini membantu pola perilaku anak lebih positif. Sementara itu, anak yang sejak awal terkondisi permisif, anak pada perkembangannya pun akan sulit dikontrol, dinasehati atau diarahkan ke kebiasaan positif, tak jarang perlawanan akan muncul dan konflik orang tua anak dimulai. Tentu hal ini tidak kita kehendaki.


Semoga kami juga mampu berproses seperti di atas karena kami pun masih dalam taraf belajar membesarkan anak-anak.

2 comments:

HM Zwan said...

uwaaa,apa kbr pak?smg pak pur dan keluarga sehat amin...
sangat bermanfaat pak,setuju juga dengan mengenalkan anak atau membuatkan anak blog.teman saya anaknya masih SD sudah dibuatkan blog dan kapanpun ketika anak mau menulis dipersilahkan sama orangtuanya,dengan catatan masih dalam pengawasan karena masih SD juga :D

salam...*iis ^_^*

mahpur said...

Trimakasih. Alhamdulillah baik. Iya, blog bisa melatih menulis anak, dan sejauh ini yang saya alami, saya belum nyasar masuk blog ke hal-hal yang berbahaya (pornografi). Betul, pengawasan tetap diperlukan