Nyekar, Ambengan dan Hiburan Televisi
Setiap muslim, mulai dari pelosok desa sampai masyarakat
Semarak menyambut ramadhan menggambarkan adanya kesadaran spiritualitas kemanusiaan. Dalam tradisi nyekar, yang hidup mengingat yang sudah mati agar bisa menghayati kematian itu sendiri. Dalam megengan, tanpa batasan miskin dan kaya mereka saling membagikan makanan, seolah tidak ada perbedaan antara apa yang dimakan orang miskin dengan orang kaya. Yang miskin juga bisa menikmati makanan orang kaya, demikian sebaliknya, yang kaya bisa merasakan makanan orang miskin.
Jika dilihat misalnya ambengan di mushola atau masjid, makanan berjajar beragam menu sajian sehingga dari keragaman makanan yang dibawa menyiratkan suatu semangat keragaman sekaligus persamaan yang anti diskriminasi. Dari makanan yang berjenis-jenis akan dibagikan seperti kaidah “nasi campur”, semua orang menunggu untuk mencicipi ragam makanan tersebut, mereka harus menunggu, tidak boleh berebut. Satu orang harus sabar menunggu pembagiannya, ia tidak boleh mengambil yang enak-enak saja, dan meninggalkan yang lain. Semua makanan akan dicampur agar semua orang bisa merasakannya.
Kalau dipelajari tradisi ini, di masyarakat kita yang sebagian besar muslim telah menampakkan semangat persaudaraan, toleransi, anti diskriminasi. Jika idealitas tradisi ini terus mengakar dalam setiap pribadi, tidak akan mungkin bangsa ini akan hilang solidaritasnya, toleransinya, sehingga kepribadian bangsa ini berdiri dalam fundasi non-eksploitasi, anti-penguasaan, atau bahkan jauh dari sifat menangnya sendiri. Sebelum ramadhan tiba, tradisi menyambut ramadhan seperti ini sudah merupakan latihan tahap pertama, bahwa manusia harus mulai mensucikan pribadinya dari seluruh kekuatan egosentris untuk pergi menuju penyerahan diri pada Tuhan-nya dengan betul-betul berserah diri sebagai hamba tanpa atribut kuasa, saya sebagai Presiden, Ketua MPR, atau Jaksa Agung. Ia hanya menyandang predikat hamba Tuhan.
Di sinilah semua manusia sama. Maka, yang bersalah, merasa bersalahlah, yang melanggar hukum segera bertobatlah dan mengakui kesalahannya. Karena tidak ada artinya sebagai manusia hamba Tuhan, untuk menang sak karepe dewe, karena di atas kemenangan ada Tuhan yang Maha Menang. Kalau sudah berhadapan dengan Tuhan apakah kita akan menantang kemenangan atau bertanding dengan Tuhan ? Na’udzu bi allah.
Sementara itu tradisi nyekar membuktikan bahwa tidak ada yang menang menantang kematian, karenanya orang selalu pergi mendo’akan yang mati agar mendapat pengampunan Tuhan. Dengan demikian kita akan waspada karena kematian bisa datang pada setiap saat. Dalam ambengan kita punya hak makan yang sama. Tidak hanya yang kaya yang bisa makan enak, orang miskin pun punya hak atas makanan orang kaya. Ini adalah hikmah yang bisa dipelajari dalam sudut-sudut budaya masyarakat menyambut bulan ramadhan.
Bisakah kemudian ini akan lestari dalam suatu pergumulan masyarakat yang heterogen dalam arti individualis, modern, ketika wajah budaya sudah diresapi oleh beragam adaptasi lintas kultural ? Dalam sebuah media telivisi misalnya, masyarakat muslim bisa memanfaatkan media ini sebagai sarana komunikasi untuk menggali beragam informasi mengenai ramadhan. Beberapa stasiun televisi pun tidak mau ketinggalan memanfaatkan momentum ramadhan untuk menarik pemirsa duduk berlama-lama di depan televisi, mulai dari sinetron yang bertema dakwah, dialog ramadhan dalam berbagai versi yang menghibur, dan lain sebagainya.
Ramadhan dalam beragam corak budaya. Semua itu adalah budi dan daya manusia yang kemudian disebutnya dengan budaya. Budaya kita mungkin dominan diwarnai oleh sumber media elektronik, terutama televisi, karena sifatnya yang menghibur akan menarik emosi masyarakat untuk sekedar rileks, melepaskan ketegangan emosi dari penatnya kehidupan sehari-hari. Kebutuhan seseorang akan hiburan tidak bisa dielakkan karena secara psikologis suasana hati seseorang tidak mungkin stabil terus-menerus. Ia membutuhkan refreshing, manusia butuh kelucuan sehingga ia bisa “tertawa”, dan dengan tertawa, eksistensi bahagianya bisa disalurkan.
Bisa diterima jika beberapa stasiun telivisi mengkontrak pelawak untuk mengantarkan menuju hikmah bulan ramadhan. Sarana ini memang bisa mempermudah penyampaian misi ramadhan ke masyarakat umum dengan mudah, ekspresionis, dan rileks. Pemirsa mungkin lebih bisa menerima pesan hikmah ramadhan dari pada sambil ”mengantuk-ngantuk” mendengarkan kultum (kuliah tujuh menit) disela-sela shalat tarawih. Melalui televisi pemirsa bisa bebas berdialog.
Spiritualitas ramadhan sangat perlu digalakkan dalam beragama bentuk dan kreatifitas masyarakat. Sebagai masyarakat berbudaya, tak ada yang salah dalam seluruh tayangan televisi untuk menggalakkan semangat spiritual Ramadhan. Mulai dari sinetron, sari hikmah atau dialog ramadhan, dan semacamnya. Kreatifitas ini sangat bagus sebagai alternatif meningkatkan wawasan spiritual bagi pribadi-pribadi muslim.
Media elektronik, dalam aspek ini bisa menjadi sarana produktif meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk lebih luas menggali hikmah ramadhan, asal saja ia hadir dalam kerangka yang sehat dalam arti, bebas dari situasi gaya hidup para artis dan berhenti pemaknaanya hanya pada komoditas dari sebuah tayangan telivisi yang hanya mengatasi kegerahan spiritulitas masyarakat antah-berantah berubah menjadi pecinta telivisi yang memaksa duduk berlama-lama dalam perjalanan dari satu chanel ke chanel yang lain.
Semua aspek budaya yang hadir, baik itu nyekar, ambengan atau hikmah Ramadhan dalam televisi adalah sarana, dan bukan tujuan di mana ia harus hadir tetapi tidak mampu mencapai lintasan spiritualitas ritualisme itu sendiri. Orang hanya menjadi shaleh secara ritual tanpa bisa mentransformasikannya menjadi pembebasan diri dari serangkaian perbudakan, eksploitasi dan ketidakadilan.
No comments:
Post a Comment