Tuesday, November 18, 2008

psikologi gender

Gender phobia ; politik identifikasi dan psikologi pembentukan hegemoni phallus

Banyak kalangan yang masih gender phobia dan melihat persoalan gender sebagai kampium Barat. Lebih sulit menjelaskan gender kepada khalayak di tengah habitus patriakhal yang terhayati dalam lanskap sejarah, budaya, dan psikososial, meminjam Carl Gustav Jung, tentang ketidaksadaran kolektif masyarakat. Sepertinya lebih mudah orang terpengaruh terhadap iklan rokok, maybe yes maybe no, menerima begitu saja dan membuatnya menjadi imitator latah yang merasuk secara tidak sadar pula ke dalam struktur kognitif di lapisan masyarakat ketimbang membuat rasionalisasi gender untuk merebut sistem kognisi sosial bahwa gender adalah spektrum kesadaran baru yang urgens dalam menciptakan kehidupan yang adil.

Mengapa orang menjadi gender phobia sehingga kehadiran gender sebagai wacana dan praktik demokrasi diberi jarak oleh kaum beragama, akademisi, praktik politik kekuasaan dan "suami". Persis bagaimana orang Barat menjadi islamo phobia setelah peristiwa 12 September 2001. Orang Barat tanpa alasan yang rasional menjadikan Islam sebagai identitas teroris dan setiap kehadiran dalam ruang publiknya menjadi sindrom paranoid dan kohesi sosial kemusliman harus diberjaraki sehingga mereka pun juga menjadi latah dengan diksi Islam dan teroris berbatas tipis.

Gender phobia muncul dari ketidaksepahaman dan generalisasi persepsi tentang kesetaraan. Ketakutan dan penolakan terhadap internalisasi kesadaran gender wajar setimpal dengan doktrin patriakal yang dimulai sejak munculnya zaman neolitik yang menggeser tatanan primitif dari mitos kuasa dewi sebagai sumber dari segala kehidupan ke dewa sebagai sumber dari kuasa modal melalui perebutan lahan hasil bumi yang menandai dimulainya babak baru revolusi perkotaan zaman primitif yang merubah tatanan dengan ditandai oleh revolusi berpikir yang sungguh-sungguh, salah satunya adalah konsep individu atau pribadi, namun perkembangan ini hanya diketahui oleh laki-laki dan pada akhirnya perempuan dianggap sebagai pribadi lain yang berbeda dari laki-lak sekaligus menjadi pribadi yang tertekan dan terabaikan.[1] Pertama alasan historis dan antropologis membawa habitus kemapanan laki-laki sebagai kuasa dalam alat-alat produksi menciptakan cultural bond sentimen psikologis dan sensitifitas penjeniskelaminan dalam peran budaya dan psikologi sosial masyarakat. Sentimen dan sensitifitas itu menyebar menjadi dogma-dogma merasa masyarakat sehingga dunia rasa manusia dibuat citra berdasarkan--semula bermodus pada--kuasa modal dan alat produksi yang kemudian bermetamorfosis menjadi citra psikososial.

Kedua. Ranah modal dan kuasa alat produksi merasuk menjadi kognisi sosial dan menjeniskelamini berbagai perangkat alat produksi secara sepihak dan dalam kuasa hegemoni patriakhal sehingga reproduksi penjeniskelaminan terhadap alat-alat produksi menjadi kebiasaan dalam sejarah kemanusiaan. Contoh ringan kemunculan alat produksi berjenis kelamin seperti, gergaji, parang, pisau besar, hamer dan sebagainya identik berjenis kelamin laki-laki, sementara alat-alat dapur ; panci, sotil, sendok, garpu, parut, dan seambrek perangkat domestik hampir dipilah berdasarkan jenis kelamin perempuan. Identifikasi alat produksi menjadi semata sebagai identitas penjeniskelaminan berdasarkan kepemilikan dan nilai guna yang berbeda antara laki-laki adalah lingkungan psikososial yang mempengaruhi fungsi sosialisasi terhadap peraga dan medium pembelajaran patriakal. Seting lingkungan keluarga dengan mengidentifikasi alat-alat domestik semacam itu merupakan media doktrinasi yang subtil dijiwai secara tidak sadar oleh generasi sehingga identifikasi itu berkarat menjadi produksi budaya dan menciptakan simpul-simpul psikologis yang dikendalikan berdasarkan pada bagaimana alat-alat domestik itu bekerja dan digunakan oleh figur-figur keluarga.

Jika kemudian peraga sebagai alat produksi itu dibalik, jelas ibarat menghapus besi yang berkarat dan reaksi dalam bentuk gender phobia[2] menjadi masuk akal karena identifikasi itu telah menjadi identitas mapan dalam struktur psikis laki-laki dan perempuan. Persoalan penolakan gender dengan demikian adalah persoalan politik identitas[3] dan representasi sosial bagaimana kognisi dan proses mental seseorang dibentuk oleh sejarah nalar penjeniskelaminan phallus[4] yang melahirkan teknologi tubuh melalui urgensi penjeniskelamin dengan perangkat simbolisasi yang berkaitan dengan ranah-ranah biologis dan psikologis untuk menjelaskan kekuasaan laki-laki (law of father).[5]

DIRI TERGENDERKAN, SEBUAH KONSTITUSI SUBYEK

Hal pokok dalam kajian psikologi mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan adalah didasarkan pada pertama, ketertarikannya pada perbedaan seks secara psikologis yang rata-rata melihatnya dalam konteks hubungan kepribadian dan perilaku. Kedua meletakkan perbedaan itu dalam konteks implikasi politis temuan mengenai perbedaan seks seperti persoalan stereotipe gender yang beroperasi menjadi praktik penindasan terhadap perempuan dan ketiga implikasi praktis perbedaan seks dalam kehidupan sehari-hari.[6] Pun pembahasan dan debat mencuat menjadi agenda politik, seperti membatasi perempuan untuk peran-peran kepemimpinan, apakah secara intrinsik berbeda atau sama berdasarkan kepribadiannya. Perdebataan ini kemudian melahirkan banyak studi mengenai konsistensi perbedaan seks dalam berbagai studi penelitian dan untuk melihat keajekan studi tentang perbedaan gender juga telah dilakukan pengujian metaanalisis dengan melihat perbedaan seks pada kalkulasi effect size-nya yang mengasumsikan mengenai apakah sumbangan perbedaan seks itu kecil, relatif tidak konsisten atau substantif dan lebih penting.[7] Melalui pengujian effect size memunculkan dua pendapat yakni pertama para minimalis berpendapat kalau perbedaan seks tidak konsistens dan pengaruhnya kecil terhadap pengukuran psikologi dan oleh karena itu tidak memiliki konsekuensi terhadap kehidupan seseorang. Menurut kaum minimalis akan lebih penting meninggalkan variabel seks dan gender dan lebih memperhatikan pada isu-isu psikologis yang lebih penting.

Sementara itu pendapat kedua disebut sebagai golongan maksimalis yang cenderung menganggap bahwa persoalan perbedaan seks tidak bisa dianggap remeh yang memberikan sumbangan terhadap efek psikologis dalam seluruh studi psikologi. Sekecil apapun perbedaan seks jelas itu akan membawa implikasi pada perbedaan capaian kehidupan seseorang. Menurut psikolog feminis, Alice Eagly mengatakan, bagaimanapun perbedaan seks itu senyatanya memang berada dan tidak mesti dihindari karena perbedaan itu secara praktis adalah bagian tidak terpisahkan dalam berbagai lintas studi dan diterima menjadi bagian dari konflik dan agenda politik.[8]

Dalam studi neurologi dan melalui bukti-bukti biologis menunjukkan adanya kandungan pembedaan hormonal dengan ragam kandungan zat-zat kimiawi dalam tubuh sehingga melahirkan perbedaan emosi, rangsangan, ekspresi, kepribadian dan perilaku yang berbeda di antara laki-laki dan perempuan dengan tuntutan dan sebuah sifat pribadi yang mengejawantah dalam femininitas dan maskulinitas. Bukti neurologis itu bahwa testoteron yang tinggi cenderung memunculkan perilaku maskulin yang secara tradisional bisa dibedakan dan ditemukan dalam perilaku seperti agresif, dominan dan pilihan karir. Misalnya perempuan yang memiliki testoteron tinggi maka ia akan mengejar sebagaimana karir laki-laki dan mempunyai peluang besar sukses dalam memilih karir.[9]

Penjelasan ilmiah ini menjadi alasan bahwa hubungan gender secara tradisional dilihat natural dan jelas sehingga menjadi alasan kalau tipe studi ini merupakan tantangan esensialisme[10] di mana ide dasarnya bahwa secara esensial gender terbukti secara biologis, dan menjadi ciri-ciri universal psikologis[11]. Sumber identifikasi biologis dan psikologis menjadi tampak nyata dan didukung oleh bukti-bukti keilmuan sehingga komposisi gender menjadi satu kekuatan institusional dan terorganisasi secara alamiah dalam memberikan konstruksi pembedaan jenis kelamin sebagaimana kalangan maksimalis melihat pentingnya melihat perbedaan jenis kelamin itu memiliki effect size dalam studi-studi eksperimental dan deskriptif.[12]

Gender dan perbedaan jenis kelamin melahirkan pandangan yang beragam. Perdebatan perbedaan seksual menguat sejak kerja psikoanalisis memberikan prototipe penjeniskelaminan sebagai perbedaan lain seperti ras dan kelas. Debat mengenai gender dan seksualitas kemudian menjadi bagian dari diskursus feminisme yang memasukkannya menjadi bagian dari praktik psikoterapi sebagaimana pandangan Burman yang kemudian dianggap Leary tidak begitu sempurna dan menolong.[13]

Menurut kalangan posmodernisme diskusi mengenai gender dan seksualitas tidak bisa disandarkan pada ketunggalan cara pandang (singular), cita-cita, situasi atau tujuan akhir akan tetapi ia merupakan kajian yang bersifat plural, dinamis dan selalu mengalami pergeseran.[14] Terkait dengan cara pandang ini maka gender tidak bisa didefinisikan semata-mata pada persoalan determinisme biologis dan perangkat sosial yang mendasari atribusi terhadap tubuh biologis dalam ruang publiknya yang kemudian situasi biologis menjelaskan fungsi yang dibedakan berdasarkan aransemen fisik, sosial dan psikologis[15] berikut penjeniskelaminannya dan menjelaskannya dalam kerangka oposisi biner seperti laki-laki melawan dan/berbeda dengan perempuan.[16]

Konstitusi subyek dalam diri yang diidentifikasi berdasarkan gender menurut Judith Butler bukan suatu hal yang terberi dan dengan demikian adalah buah takdir, melainkan satu perangkat yang diperoleh melalui pengulang-ulangan yang direproduksi oleh kebiasaan-kebiasaan sehingga mencapai fakta yang nampak realistis. Butler dalam Gender Trouble mengafirmasi bahwa menjadi perempuan dan laki-laki sebagai sebentuk harapan yang dirinci atas dasar keinginan pembentukan diri yang terfeminisasi dan termaskulinisasi adalah area yang dibangun berdasarkan kohesi sosial dan tatanan sosial sehingga ada maksud teleologis bahwa idealita feminitas dan maskulinitas dikonstruksikan untuk mengatur keamanan tatanan sosial daripada perkembangan, perubahan pola budaya yang terbangun atas dasar perbedaan dan divisi alamiah. Dapatlah kita lihat kalau organisasi gender tidak lain adalah bagian permainan utama dari usaha untuk meruwat kohesi sosial melintasi seluruh budaya dan diferensiasi gender adalah pusat bagi organisasi sosial dan bentuk mayor mengenai akses terhadap kekuasaan sosial yang lebih makro.[17] Karena itu gender bukan dijelaskan karena dibentuk atas dasar epistemologi determinisme kultural tetapi pada kuasa bargaining sosial yang mereproduksi keteraturan sosial demi polarisasi pendisiplinan.

Dalam konsepsi Foucault, gender dan seksualitas sekaligus sifat yang muncul dari kedua konstruksi ini seperti tentang femininitas dan maskulinitas adalah akibat praktik diskursif (the effect of discourse) atau hasil dari hubungan kuasa pengetahuan (power-knowledge relations). Pandangannya menjelaskan jikalau seksualitas bukanlah sesuatu yang dibentuk secara alamiah dan terberi sekaligus merupakan fungsi-fungsi biologis yang ditentukan oleh kadar sirkulasi hormonal akan tetapi bahwa tidak ada tubuh pra-diskursus. Apa yang muncul dari narasi gender dan seksualitas tidak bisa terlepas dari praktik wacana yang dibangun dalam membentuk makna yang berbeda terkait dengan tanda-tanda bahasa yang dikonstruksikan berdasarkan habitus kemanusiaan dan memiliki sejarahnya sendiri dalam membentuk praktik diskursus tersebut.[18]

Penentangan terhadap banyak kalangan terutama laki-laki mengenai stigmasisasi terhadap gerakan gender, baik sebagai gerakan yang kebanyakan diusung melalui nalar baca feminisme atau sebagai kekuatan baru bagi rancang bangun aksi sosial merupakan pertarungan yang ingin mencoba mempertahankan melalui reidentifikasi stigmatisasi penjeniskelamin yang berpusat pada hegemoni phallus. Tatanan ini tidak lain adalah bagian dari reproduksi kuasa sosial yang mencoba membersihkan ancaman representasi phallus dari kekuatan perempuan dan sebuah usaha politisasi yang ingin mempertahankan logosentrisme kelelakian dengan menancapkan mitos perempuan sebagai sang lain dan dilainkan dari konstitusi subyek laki-laki. Dalam tataran konsepsi Foucault regulasi sosial yang mempertahankan hegemoni phallus yang tidak saja dibentuk oleh kuasa sosial, namun juga dibangun berdasarkan regulasi arkheologis sejarah pengetahuan yang menjelaskan unsur-unsur penunjang adanya repressive hypothesis bahwa tatanan sejarah pengetahuan ikut andil dalam melakukan penataan asumsi teoritik melalaui bukti-buktinya bahwa nilai-nilai, perangkat organisasi tubuh, dan aspek psiko-sosial phallus adalah tatanan ideologisasi yang mengedepankan kelelakian sebagai tatanan tunggal yang machoisme dalam membentuk identitas jenis kelamin yang memiliki artikulasi lebih dari perempuan. Logika kemudian yang dibangun meneruskan epistema Foucault dalam membentuk segregasi yang ia sebut sebagai bio-technico-power (bio-power) yang memberikan fakta-fakta dasar biologis pembedaan laki-laki dan perempuan sebagaimana tatanan tubuh perempuan dan komposisi hormonal yang terbukti beda nyata dalam kerangka penubuhan laki-laki dan perempuan. Kerangka ilmiah merupakan bagian dari praktif teknologi kuasa dan pada dasarnya kategori-kategori ilmiah menjadi obyek perhatian politis bagi regenerasi manusia dengan tujuan-tujuan politis yang memanfaatkan kontrol regulatif terhadap vitalitas hidup yang pada akhirnya membentuk konstitusi subyek mengenai laki-laki dan perempuan.

Bio-kuasa yang kedua masih dalam tataran konsepsi Foucault menggambarkan bahwa tubuh menjadi obyek manipulasi yang dikembangkan untuk mencapai kepatuhan sehingga perlu didisiplinkan. Dalam spektrum pen-gender-an tubuh, pembedaan jenis kelamin dan hegemoni phallus menandaskan adanya obyek manipulasi tubuh atas dasar urgensi feminitas dan maskulinitas yang masing-masing diperankan secara berbeda dalam tugas-tugas yang dibedakan pula melalui teknologi kuasa tubuh karena dalam konteks ini tubuh menjadi isu politik tubuh di antara berbagai pihak yang berkepentingan terhadap tubuh "disebabkan potensi kekuasaan yang berasal dari teknologisasi tubuh itu sendiri (kekuasaan dari dalam tubuh) yang dapat digunakan untuk melawan kekuasaan atas tubuh".[19]

Oleh karena itu peranan phallus direproduksi menjadi langkah-langkah politik tubuh dalam rangka menciptakan peranan-peranan maskulinitas sebagai tatanan psikososial yang lebih tinggi dan melahirkan kepatuhan bagi masing-masing tubuh untuk memainkan peran menjadi laki-laki yang maskulin dan menjadi perempuan yang feminin. Pen-gender-an tubuh dengan demikian adalah praktik pendisiplinan yang melahirkan peran-peran tertentu dalam masyarakat sehingga masing-masing jenis kelamin dibatasi oleh regulasi sosial melalui perangkat sosial yang diturunkan untuk mengatur pola-pola perilaku dan makna sosial yang berlaku di masyarakat secara emosional, kognitif, behavioristik, kepribadian, inteligensi, fungsional dan artikulatif sehingga diri yang tergenderkan terbentuk ke dalam hubungan kuasa interpersonal yang masing-masing membentuk konstanta personal yang diambil dari pola reidentifikasi diri untuk membentuk role model ke dalam tujuan penyesuaian diri dan fungsi-fungsi adaptasi yang dikembangkan dalam status sosial tertentu terkait dengan nilai-nilai penjeniskelaminan sehingga identitas personal dikonstruksikan secara sosial berdasarkan gender yang masing-masing memiliki tanggung jawab moral tersendiri dan membentuk komitmen etis dari masing-masing peran jenis kelamin yang saling mengontrol. Begitulah konstitusi subyek terbangun oleh penjeniskelaminan sebagai habitus konstruksi sosial yang direproduksi melalui berbagai bentuk sosialisasi, teori, fakta yang hampir diakui menjadi hipotesis universal.

Phallusentrisme, Psikologi Tentang Penis

Menurut Freud, representasi perempuan selalu terikat oleh konstruksi biologis yang cemberu terhadap konstitusi phallus. Istilah yang biasa dinisbatkan kepada identitas laki-laki yang ditandai oleh komponen penis sebagai ujung tombak konstalasi diferensiasi gender. Kegagalan memiliki penis menurut Freud adalah salah satu munculnya indikasi perempuan untuk membedakan dirinya dengan laki-laki. Kecemburuan terhadap phallus membawa implikasi psikologis terhadap perempuan dalam representasi sosialnya sehingga memunculkan sejumlah reposisi kepatuhan perempuan terhadap laki-laki (atau lebih spesifik) yang memunculkan konstanta law of father. Sebaliknya, phallusentrisme menjadi habitus kehadiran yang memfasilitasi sistem patriarkis dalam setiap hubungan interpersonal gender. Sistem ini telah memunculkan simbolisasi seperti yang telah saya jelaskan di awal tulisan ini tentang hubungan penandaan kebudayaan yang memiliki identitas jenis kelamin tertentu. Laki-laki disimbolisasi dalam kontestasi pengalaman superior dan perempuan dengan atribusi psikologisnya diidentifikasi sebagai manusia inferior, memiliki ciri-ciri psikologis tertentu seperti emosional, lemah lembuh, penuh kasih, santun, pengasuh, pemelihara dan lain sebagainya. Tatanan publik dan domestik pun ikut membentuk artikulasi melalui simbolisasi yang diidentikkan merujuk pada konstitusi laki-laki dalam phallus dan perempuan.

Freud menyebutkan simbolisasi ini direpresentasi sampai ke dalam dunia mimpi. Menurutnya bagi kedua jenis kelamin, penis yang merupakan bagian yang paling mencolok dan mendekati bentuk aslinya, bentuk panjang yang berdiri tegak misalnya payun, pohon dan sejenisnya. Simbolisasi penis lebih lanjut diurai mendekati sistem kerja phallus yang cenderung mempunyai kekuatan melukai atau membuat cidera pada tubuh manusia, seperti pisau-belatih, senapan, pistol dan revolver yang menurut Freud merupakan simbolisasi yang menyerupai bentuk asli penis. Sementara itu alat kelamin wanita disimbolisasi menggunakan metafora obyek ruang yang tertutup atau suatu wadah, misalnya terowongan, lembah, botol, guci, lemari, kantong dan banyak lagi penjelasan Freud mengenai simbolisasi dalam realitas atau kehadirannya dalam dunia mimpi yang jelas membedakan metaforanya pada diferensiasi alat kelamin.[20]

Simbolisasi yang termaktub menggambarkan dimensi pembeda dan menjelaskan katub perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan yang menciptakan pola penjeniskelaminan yang berhubungan dengan status gender yang hadir sebagai bagian praktik mitos sehingga keadaan pembedaan jenis kelamin itu terformulasi ke dalam pembakuan mitologis, mentradisi, membudaya, dan direproduksi dalam perangkat produksi sebagai mekanisme pembedaan. Menurut pandangan Lacan, phallus adalah mekanisme penandaan yang paling utama di mana kita mendapati persepsi asli kita mengenai perbedaan. Lebih lanjut, diri dikembangkan melalui beroperasinya prinsip-prinsip regulasi maskulin atau dalam tatanan teoritik jatuh pada konstruksi sosial malestream.[21] Akhirnya phallus ini sangat tergantung pada keberadaan penis. Walaupun dalam dataran ini penis adalah sebuah simbul yang dimiliki laki-laki, namun menurut Butler ia berlanjut menjadi kebutuhan kepemilikan penis menjadi sebuah pengulangan yang taken for granted yang dinyatakan kemudian melalui klaim kebenaran tentang laki-laki yang memiliki penis dan perempuan tidak memiliki penis. Untuk menjadi perempuan maka seorang gadis harus meninggalkan kejantanannya dan sebagai reaksi terhadap kecemburuan penis maka seorang gadis pada awalnya harus mengatur kembali fungsi-fungsi keibuannya yang semula ibu sebagai rival cinta terhadap sosok ayah yang ingin dicintainya. Namun karena ia tidak memiliki penis sebagaimana ayahnya, ia harus menghentikan upaya untuk menyaingi ibunya dan kembali mereproduksi ketataletakan hasratnya untuk kembali sebagai sosok yang berfungsi sebagai ibu. Oleh karena itu dalam bahasa phallusentrisme menjadi perempuan berarti merupakan proses dari reidentifikasi phallus sebagai usaha untuk memberikan obyek cinta pertamanya seorang gadis yang menerima ayah sebagai hukum dari kuasa representasi.[22] Ekses yang paling mendalam adalah pembentukan feminitas sangat dipengaruhi oleh dimensi phallus dalam sudut pandang Freud dan pada akhirnya membentuk kuasa phallus menjadi sentrifugal patriarki.

Dengan demikian kecurigaan bagi kalangan laki-laki terhadap gerakan gender atau penolakannya terhadap manifestasi penyadaran perempuan melalui kerja-kerja metodologi feminisme merupakan bagian dari munculnya perebutan otoritas dalam pembentukan phallusentrisme. Oleh karena itu peran gender dibentuk untuk menegaskan privilege phallus sebagai sebentuk kegiatan yang diulang-ulang sebagai penanda jenis kelamin yang menegaskan pembakuan mengenai norma heteroseks yang berpusat pada nilai phallus. Akhirnya hubungan ini menciptakan distorsi dan nilai-nilai diskursif yang mereproduksi pengulangan kenormalan melalui kaidah-kaidah phallus.

Menurut Tedrowe meminjam terminologi Shulamint Firestone persoalan pembentukan dan pembetukan kembali peran gender merupakan dialektika seks (dialectic of sex) yang tidak bisa dilepaskan terkait dengan permainan kolonial, nasional dan rasial[23] sehingga konstruksi yang dibangun atas dasar pembedaan jenis kelamin semacam ini merupakan ide yang mencoba memproteksi pembagian peran dalam hegemoni seksisme.[24]

Heasock menyatakan kehadiran gugus hegemoni patriarkhi dunia ketiga yang meletakkan jenis kelamin dalam hampir seluruh dimensi kebudayaannya dan terutama pada persoalan domestik dan pekerja disinyalir merupakan bentuk pengambangan diaspora yang menciptakan hubungan untuk suatu tujuan neo dan rekolonisasi terhadap negara dunia ketiga dalam bentuk dan cara yang baru. Oleh karena itu gender selalu dilihat terkait dengan hubungan yang kompleks dan beragam antara diaspora, gender dan kebangsaan[25] yang mengonstruksikan komponen budaya negara dunia ketiga kedalam konsepsi negara dunia pertama. Dalam konteks ini gender selalu dikaitkan dengan munculnya segregasi mengenai tatanan politik nasionalisme yang menghilangkan historiografi perempuan berikut suara-suaranya sehingga timbul banyak perbincangan yang mencoba membuat garis tegas bahwa nasionalisme dalam berbagai bentuk instrumentalisme politiknya telah menyingkirkan suara perempuan dari konsepsi dan dialektika formasi-formasi sosial dan politik.[26]

Catatan kaki :



[1] Pelainan ini muncul zaman Babilonia melalui ungkapan yang muncul dalam narasi himne Babilonia, Enuma Elis, tentang penciptaan. Bahwa pemimpin Marduk harus berhasil menempuh ujian untuk membuktikan ketidakmampuan laki-laki dalam hal penciptaan sebagaimana perempuan yang mempunyai kekuatan alamiah mencipta sebagaimana bumi memberikan kehidupan yang dimitoskan direpresentasikan melalui Tiamat. Sang Bunda Agung yang menguasai jagat raya, bahwa Bunda Agung adalah dewi bumi yang mampu memberikan kehidupan bagi manusia. Dus Marduk kemudian dituntut membuat ikrar dengan menyatakan melalui pikiranlah laki-laki bisa menang dan memberontak dari kuasa Bunda Agung dan melalui peristiwa itu kekuasaan melalui perangkat-perangkat sosialnya akhirnya dialihfungsikan ke dalam kuasa laki-laki yang memenangkan mitos Bunda Agung menjadi dewa (laki-laki) sebagai penguasa baru yang dislogankan bahwa sang dewa (dewa pria) telah memenangkan untuk mencipta dunia melalui kata-katanya. Silahkan dilihat Erich Fromm. 2000. Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia. Terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 222-223. dan juga JJ Rizal. 2007. Jejak perempuan dalam historiografi Indonesia. Jurnal Perempuan. No. 52. Hal. 21-35.

[2] Yang dikamsud phobia adalah ketakutan yang amat sangat tidak masuk akal dan berusaha menghindari obyek atau situasi yang menakutkan tersebut. Murray B. Stein. "Phobia". last modified: July 12, 2002. http://ezproxy.nwtc.edu:2123/server-java/Arknoid/science/AS/ Encyclopedia/5/50/Est 507400_frameset.html#Cite akses tanggal 14 Juli 2007

[3] Lihat Ann Ferguson. 1997. Moral Responsibility and Social Change A New Theory of Self. Hypatia. 12: 3. Hal : 116-141.

[4] Dalam dunia pediatri, persoalan phallus menjadi aspek penting dari sebagian diagnostik dan merupakan bagian dari perdebatan mengenai aspek-aspek sindromatik dalam kebutuhan seksual. Bahkan American Academy of Pediatric tahun 2000 memberikan penjelasan terkait dengan besaran phallus sebagai bagian terpenting dalam seks. Signifikansi phallus (penis) secara tradisional merupakan tata cara pembedaan dalam setiap cara melihat kelahiran seorang bayi dan besaran phallus juga merupakan salah satu momentum yang berkembang untuk kebutuhan-kebutuhan pemuasan seksual. Pun panjang phallus sebagai ukuran kenikmatan semakin menjadi keyakinan dan merupakan pengharapan prasyarat kepuasaan interseks walau pada aspek pediatri itu dianggap tidak memadahi, tetapi lebih sebagai sebuah mitos saja. Lihat. Iain Marland. 2004. Thinking with phallus. Psychologyst. Vol 17. No 8. 448-450.

[5] Yasraf Amir Piliang. 2004. Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. 420.

[6] Lihat Randy J. Larsen dan David M. Buss. 2005. Personality Psychology Domains of Knowledge About Human Nature. McGrawHill. Kedua penulis ini lebih lanjut memulai pembahasan mengenai perbedaan seks ini merujuk ke dalam buku yang ditulis oleh Mary Pipher yang merupakan buku best seller berjudul Reviving Ophelia. Dalam buku ini dikatakan bahwa perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan merupakan hasil dari peristiwa khusus yang terjadi di masa remaja.

[7] Ibid. hal. 508.

[8] Ibid.

[9] Jumlah kandungan ini dijelaskan dalam teori hormonal untuk menjelaskan perbedaan seks adalah bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kandungan yang berbeda mengenai sirkulasi hormon dalam darahnya. Sirkulasi hormonal testoteron perempuan berkisar terendah antara 200 dan 400 pikogram per mililiter dalam setiap darah dalam kondisi menstruasi dan tertinggi 285 dan 440 yang pada level ini hanya berguna untuk pembuahan. Sementara itu laki-laki memiliki tingkat sirkulasi testoteron berkisar antara 5.140 hingga 6.460 picogram permililiter dalam darahnya yang kadarnya mengikuti perkembangan pubertas. Cukup banyak teori perbedaan seks dari aspek psikologis yang tidak dibahas detail di sini selain yang dijelaskan di atas seperti adanya teori sosialisasi, teori pembelajaran sosial, teori psikologi evolusioner, perspektif integrasi. Untuk penjelasan singkat teori-teori perbedaan seks dapat dilihat pada Randy J. Larsen dan David M. Buss. Op. Cit. hal. 524-530.

[10] Esensialisme diartikan "the notion that some "core" meaning or identity is determinate and not subject to interpretation. (For example, a crayon that is always "green" regardless of other crayons it is placed with, would be "essentially" green--no matter what its context.) Essentialism usually comes up in debates about personal identity. Is there, for instance, an essential "feminine" that transcends histories and cultures". Penjelasan ini diambil dari http://www.sou.edu/English/IDTC/Terms/terms.htm#anchor42031. Diakses tanggal 16 Juli 2007.

[11] Alexa Hepbun. 2003. An Introduction to Critical Social Psychology. London : Sage Publication. Hal. 107.

[12] Randy J. Larsen dan David M. Buss. Op. Cit. hal. 524-530

[13] Erica Burham. Contemporary Feminist Contributions to Debates around Gender and Sexuality: From Identity to Performance. Group Analysis. Vol 38(1):17–30.

[14] Ibid. lihat juga Angela Douglas. 2005. What Kind of Feminism Fits Real People, Whatever their Size? Commentary on ‘Contemporary Feminist Contributions to Debates around Gender and Sexuality : From Identity to Performance’ by Erica Burman. Group Analysis. Vol 38(1):31–35.

[15] Melissa Tedrowe. 1997. Making Gender: The Politics and Erotics of Culture by Sherry B. Ortner. Feminist Teacher. 1997. 11:2. Hal.171

[16] Lihat tulisan Moh Yasir Alimi. 2005. Seks Juga Bentukan Sosial. Rethinking Gender dan Seksualitas Menurut Teori Queer. Dokumen Rahima-Jakarta 28-29 April 2005

[17] Mary Evans. 2003. Gender and Social Theory. Buckingham : Open University Press. Hal. 58-59.

[18] Moh Yasir Alimi. Op. Cit.

[19] Lihat dalam Petrus Sunu Hardiyanto. 1997. Disiplin Tubuh Bengkel Individu Modern. Yogyakarta : LKiS. Hal. 20. Lihat juga Yasraf Amir Piliang. Op.Cit. Hal. 423.

[20] Penjelasan panjang lebar mengenai beragam bentuk yang muncul dalam simbolisasi mimpi bisa dibaca dalam Freud. 2002. A Genderal Introduction to Psychoanalysis. Psikoanalisis Sigmun Freud. Terj. Ira Puspitorini. Yogyakarta : Ikon. Hal 153-175.

[21] Alexa Hepburn. Op.Cit. 110.

[22] Marie-Christine Hamon. 2000. Why Do Women Love Men And Not Their Mothers? translated by. Susan Fairfield. New York: Other Press.

[23] Melissa Tedrowe. Op.Cit.

[24] Ibid.

[25] Lihat Tae Heasock. 2005. Diaspora, Gender, and Nation: The Case of Theresa Hak Kyung Cha's Dictée. Asian Journal of Women's Studies. Seoul: Jan 31, 2005. Vol.11: 1. hal. 7

[26] Masco Sinaga. 2004. Nasionalisme, Gender dan Identitas Dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 99-112.

No comments: