Tuesday, September 16, 2008

Spiritualitas Ramadhan

Modal Spiritual Tanpa Kekerasan

Razia beberapa tempat “maksiat” oleh kelompok muslim tertentu dengan cara membabi buta, menghunus pedang dan pentungan hingga target bercucuran darah segar, adalah pemandangan chaos praktik “jihat” muram ditengah ramadhan yang tanpa cinta kasih untuk menyampaikan kebaikan kepada orang lain dengan ma’ruf, yang sepantasnya atau berbudaya, sesuai pesan Tuhan ud’u ila sabiili rabbika bi al hikmah, hendaklah ada di antara kalian yang mengajak ke jalan tuhanmu dengan cara hikmah (ilmu pengetahuan).

Penulis sebagai muslim juga merasa “takut” ketika pesan berbuat baik lantas dimanifestasikan melalui jalan kekerasan, sementara sikap rendah hati kaum beriman tidak bisa membaur dalam situasi kasih untuk memberikan nasihat bagi orang yang dianggapnya melakukan kemaksiatan. Tiadakah tindakan persuasif yang santun untuk mendekati dan melarang hiburan sejenis kafe dan diskotik secara eksotik, etis dan estetis ? Kita tengok sejenak pesan surat al-Furqan 52 bahwasanya, “maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah kepada mereka dengannya (al-Qur’an) dengan jihat yang besar”.

Jamal al-Din al-Qasimi seperti dirujuk Husein Muhammad (2004 : 150) menafsirkan ayat itu dengan “hadapi mereka (orang kafir) dengan argumen-argumen, bukti-bukti dan ajak mereka memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah serta kepada kebenaran dengan sungguh-sungguh”. Ini menunjukkan bahwasanya penyampaian kebenaran tidaklah dengan nafsu, ancaman atau tindakan destruktif lain dengan mencaci-maki atau menghardik orangnya, melainkan usaha mendekati orang dengan daya upaya tanpa kenal lelah untuk dibujuk melalui jalan rasional, empati, dan penuh kecintaan yang tidak membutukan rasionalitas dan emosi tanpa cinta ?

Menodai Spiritualitas Puasa

Menurut Victor E. Frankl (2003), kegersangan atau bahkan matinya spiritualitas manusia yang disebut sebagai frustasi eksistensial karena ia gagal menemukan makna (meaningless) bagi dirinya dari situasi penderitaan dan rasa cemas berkelanjutan. Sementara dalil psikologis lain menyatakan kalau kecemasan terhadap suatu ancaman tidak bisa dihadapi maka kecemasan itu akan beralik bentuk menjadi tindak ofensif dalam arti menyerang.

Petikan itu hanya sebuah rangsangan untuk membongkar benak kesadaran keberagamaan kita bagaimana melihat kemungkaran dengan hati bersih tanpa tersandung oleh situasi kebencian karena tidak mampu membebaskan kecemasan kita sehingga tidak menangkap kejahatan secara lengkap, bahwa, yang jahat tetap salah dan harus dikorbankan, sementara yang benar ada dipihak”ku”. Menurut penulis bukanlah itu yang dimaksud bobot sebuah kebenaran. Itu justru menyadari kejahatan dalam konteks “ego” dengan merepresentasikan ukuran kebenaran dari situasi internal tanpa ada cara bagaimana melihat aspek the others (pelaku) dari orang yang dianggap jahat/maksiat.

Terperangkapnya kesadaran dalam mengukur kejahatan seperti itu hanya akan menodai kebaikan itu sendiri, sementara representasi penyampai kebaikan berbalik menjadi orang yang kasar, beringas frustasi dan penuh cemas destruktif melihat kemaksiatan sebagai impuls tidak sehat bagi orang beragama.

Bulan puasa bukanlah berisi ancaman atau kesempatan legal berjihad melawan kemaksiatan dengan pedang dan pentungan. Inti momentum puasa adalah membebaskan noda “ego” dan jalan buntu ketidakmampuan mencari makna eksistensial (meaningfullness) bersama orang lain dengan perasaan cinta dalam etape 10 hari pertama ramadhan sebagai rahmah. Jalan terbaik untuk memberantas kemaksiatan adalah mengenali kemaksiatan dari aspek orangnya dan mendekati dengan basis rasionalitas perkawanan produktif untuk diajak mengenal keutuhan dari sebuah kebenaran yang baik dan tidak menodai kemanusiaan umumnya. Ini menurut penulis inti kepatutan sebagai realisasi dari komitmen memberantas kemaksiatan dengan spiritualitas berbudaya.

Spiritualitas Eros

Psikoanalisis memberi ujaran inti penjelmaan id--sebuah naluri dasariah manusia yang menganut prinsip-prinsip kesenangan--mengurai ke dua bentuk sikap dan tindak destruktif (kematian/thanatos) dan produktif (kehidupan/eros). Elaborasi terakhir akan penulis maknai dari segi eksistensi orang puasa yang sedang mencari sejumlah pemaknaan spiritual dengan laku batin yang luas dan bebas, sehingga bisa menangkap spiritualitas ramadhan bukan dari perluasan naluri tanathosnya, melainkan dari reproduksi spiritualitas eros yang lebih memihak kemanusiaan umum daripada meniadakan sama sekali.

Menggapai ramadhan dengan spiritualitas eros yaitu mengunggap rahasia hidup dalam konteks mengenal lebih mendalam (indepht) kemanusiaan yang adil sehingga prosesi puasa sebagai medium pendidikan spiritual menjadikan situasi batin bisa legowo, sumringah, dan jernih untuk melihat persoalan hidup sehingga menimbulkan suasana kasih (affection) dan jalan cinta (path to love) yang tak terbatas.

Hal ini patut disadur untuk memompa kesadaran personal keberagamaan dengan mendekonstruksi makna jahat atau maksiat dengan mainstream eros, dalam arti ketahanan uji kemanusiaan kita bagaimana agar bisa mendekati dan merubah kejahatan dan kemaksiatan dengan nilai hidup yang bermakna membaur dalam semangat kecintaan terhadap sesama dan tanpa celah kebencian.

Spiritualitas ramadhan dengan demikian harus dibangun dengan nalar dan sikap yang ditopang oleh kecerdasan spiritual (Spiritual Quetiont/SQ), yang menurut Zohar dan Marshal (2000), SQ adalah inteligensi kedamaian sebagai bagian mendalam dari diri manusia yang tersambung dengan kebijaksanaan yang melintasi ego, kesadaran akal, dan sebuah inteligensi yang tidak hanya mengakui keberadaan nilai, melainkan bagaimana manusia bisa secara kreatif menemukan nilai baru di dalam hidupnya.

Jadi yang kita harapkan buah ramadhan bukan kesalehan formal orang beragama dengan semata-mata memperbanyak tarawih dengan raka’atnya, khatam al-Quran sekian kali, tanpa mengukur seberapa besar itu memberi sumbangan kecerdasan spiritual untuk bisa merekonstruksi nilai formal ibadah ke pergulatan sosial berbasis kecintaan, kesamaan dan keadilan hidup tanpa nafsu-nafsu kuasa. Dan ini tidak terbatas pada ramadhan.

1 comment:

MAHPUR said...
This comment has been removed by the author.