Sub-Altern Dan Kontestasi
Pengalaman Keagamaan
ABSTRAK
Jiwa keagamaan tidaklah tunggal, ia adalah manifestasi dinamis penghayatan keagamaan yang dihidupi oleh corak kepribadian, pengalaman historis, hasrat, pencapaian dan siasat diri, nilai kebermaknaan dan dunia sosial yang dibentuk oleh kohesi individu dan dunia sosialnya. Psikodinamika keagamaan melahirkan disparitas makna personal dan sosial sebuah komunitas yang hidup bersamaan dengan mindset kebudayaan, politik identitas, representasi sosial yang saling bernegosiasi dan oleh karena itu Islam bukanlah identitas universal yang terpaut pada penunggalan pengalaman keagamaan, namun secara faktual, Islam memunculkan beragam pengalaman "tepi keagamaan". Ketika pengalaman tepi keagamaan dianggap tidak absah dan cenderung dianggap menyimpang, personalisasi keagamaannya kemudian dianulir menjadi semacam stigmatisasi sebagai sebentuk politik penunggalan tanpa menghadirkan watak diskursif keagamaan sebagai bagian yang tercakup dalam psikodinamika keagamaan dan fakta kontestasi. Dalam konteks studi subaltern pengalaman keagamaan bukanlah makna tunggal, namun bagaimana ruang keagamaan dilihat kedalam subyek yang memandang (Baso, 2005) bagi orang-orang yang berusaha dilainkan oleh sebab perbedaan penalaran dan carapandang oleh orang yang disebut minoritas, tertindas, dan tradisionalis.
Katakunci : sub-altern, pengalaman keagamaan.
PENDAHULUAN
|
Pengalaman historis keislaman memunculkan kontestasi psikologis yang merebut makna dalam berbagai fakta demografi, politik keagamaan, disparitas nilai-nilai menyangkut perkembangan riuh mu'amalah-assyakhshiyah, sentuhan kebudayaan dan makna sosial yang bervariasi dari masing-masing komunitas muslim menghadapi masyarakat multi-religius dan pengalaman keagamaan yang pluralistik terkait dengan perkembangan kebutuhan masyarakat muslim hari ini karena manusia diciptakan tidak tunggal. Namun penciptaan manusia dibarengi oleh sifat multidimensional keberadaan manusia dengan diliputi oleh hukumnya sendiri-sendiri dalam rangka mencapai kebajikan bersama sebagaimana al-Qur'an menyebut dengan jelas di QS. 5:48 :
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Menurut Vahiduddin merujuk ke ayat tersebut, ia mengartikulasikan bahwa masyarakat muslim memiliki kebebasan untuk merumuskan dimensi-dimensi kemanusiaan atas dasar pertimbangan kebajikan (mashalihul 'ummah).[1] Hal ini memerlukan keterbukaan pengalaman (openness to experiences) sebagai prasyarat menumbuhkan semangat inklusi diri (self-inclussion) untuk melihat disparitas praksis kehidupan yang menganga lebar seiring terjadinya kesenjangan hak-hak yang kurang terpaut dengan otentisitas mengenai gagasan mashalih al-ummah yang direproduksi melalui pengalaman keagamaan dan berkohesi mencari susunan dialektis untuk mendapati dinamika kemaslahatan tanpa membedakan berbagai komponen disparitas kemanusiaan dalam setiap ruang publik kemasyarakatan.
Kebutuhan keterbukaan nampaknya kurang bergairah dalam tataran munculnya kesenjangan dan pola identitas biner yang tersingkap melalui pembedaan atas komunitas minoritas dan orang-orang tak berdaya dan tertindas oleh struktur kuasa yang seringkali dianggap sebagai identitas yang dilainkan oleh kelompok mayoritas berikut dimanifestasikan melalui instrumentalisasi dan kelembagaan status quo. Siapa yang dilainkan dalam konteks kontestasi pengalaman keagamaan di sini ? Studi ini ingin mengeksplorasi pengalaman praksis agama (Islam) dalam kerangka berdialektika dengan realitas orang-orang yang "tak mampu bicara" (does not achieve the dialogic level of utterance) sekaligus model-model pelainan oleh karena perbedaan paham dan ekspresi pengalaman keagamaan sehingga identitas mereka menjadi subyek tersingkir karena dicitrakan oleh kekuasaan hegemonik sebagai subyek berbeda dari kondisi normalnya, dalam Istilah Gayatri C. Spivak, seorang pemikir poskolonial India, yang disebutnya sebagai kelompok subaltern.[2]
Dalam kontestasi pengalaman keagamaan, sudut pandang pemikiran mengenai subaltern dapat diperluas kedalam diskursus dialektika komunikasi terhadap kelompok yang tidak berdaya, tersingkir, minoritas yang subyektifitas mereka selalu dikontrol untuk membentuk identitas tertentu yang dianggap mewakili situasi normalisasi atas sistem sosial yang ada. Kelompok-kelompok itu biasanya seringkali menjadi kambing-hitam, diatur, dikontrol, distigmatisasi, direproduksi untuk kebutuhan pengalaman tunggal kelompok mayoritas dan didukung oleh komponen status quo baik dalam konteks herarkhi kekuasaan atau posisi mayoritas yang biasanya terjadi dalam sub-sub denominasi keagamaan pada umumnya serta kasus-kasus spesifik pengalaman keagaman kelompok tertentu yang biasanya disingkirkan oleh kekuatan mayoritas. Biasanya mereka adalah orang-orang inferior yang menerima ketidakadilan secara langsung karena dalam tatanan studi subaltern dianggap sebagai yang tidak mewakiliki gugus representasi universal dari realitas yang dimafhumi secara umum dan mereka seringkali mendapat perlakuan tidak adil disebabkan alasan yang terkait dengan ketidakberdayaan ras, kelas, gender, orientasi seksual, etnisitas dan agama atau bentuk ordinasi-ordinasi representasi.
Dalam konteks esai ini, studi subaltern diarahkan kepada model pengalaman perempuan dan anak (yatim) yang diposisikan sebagai representasi retorika keagamaan dan aplikasi identitasnya membentuk habitus keagamaan di Islam. Posisi perempuan dalam Islam disinggung mewarisi budaya patriarki dan meniscayakan muncul disparitas pengalaman penjeniskelaminan menjadi watak subordinat dalam hubungan relasional dan melainkan jenis kelamin perempuan dalam konstitusi keagamaan sebagai representasi kelas kedua melalui sistem patrilinier yang terpisah dan dipisahkan oleh sebab alasan-alasan keagamaan dan karena alasan keagamaan ini meniscayakan suara perempuan menjadi suara kedua pula. Selain menyoal perempuan dalam koridor skripturalisme keagamaan, persoalan kedua yang hendak dilihat adalah pola mengimajinasi anak yatim sebagai representasi obyek kelas dalam praktik keagamaan melalui pencitraan identitas mereka sebagai anak yang perlu disantuni sehingga dengan demikian atribut disantuni merupakan sebentuk polarisasi komunitas mereka untuk selalu dijadikan komodifikasi melalui panti asuhan, asrama yatim piatu sementara atribusi itu membawa memori kolektif ketidakberdayaan identitas mereka karena keyatiman diintrodusir menjadi signifier (tanda-tanda) yang tak memberi ruang eksistensi sebagai subyek yang berhak memandang, tetapi keyatiman dalam kacamata pandang etnografi keagamaan, ia merupakan instrumentalisasi kesalehan dan majikan-majikan yang berhak menyandang sebagai penyantun terhadap anak yatim yang memperkuat citra mereka dalam klasifikasi identitas, sementara itu posisional mereka sebagai subyek yang mengharap diberi, disantuni, digantung dalam neraca materi kelas dominan (orang kaya, artis, penyantun dan lain-lain) meniscayakan keterbelahan representasi antara citra yang diberikan melalui keyatiman atau kepiatuan identik dengan ketidakberdayaan, subyek lemah, subyek tergantung pada bantuan dan selalu menjadi ritus tahunan yang kehadirannya dipergunakan sebagai penopang otoritas kemapanan kelompok borjuis keagamaan. Melalui gaya penyantunan dan ritus-ritus tahunan dengan pagelaran penyantunan anak yatim sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para artis, representasi keyatim-piatuan dituturkan oleh subyek kelas dominan sehingga posisi keyatiman dipergunakan sebagai pengukuhan identitas di luar diri anak ke pengakuan pelaku sebagai sosok yang absolut mengimajinasi kehadiran yatim sebagai bagian dari penanda kesalehan melalui cara kerja penyantun sebagai identity in difference.
Menurut perspektif mikro, ketidakadilan adalah ciptaan sosial. Para interaksionis mengatakan ketidakadilan merupakan hasil interaksi perilaku, pemaknaan, nilai manusia yang kita lekatkan ke dalam posisi individual dan sosial mereka (Leon-Guerrero, 2005).[3] Ketika praksis keagamaan terlalu terforsis pada pemaknaan eskatologis dan pembacaan tekstual terhadap ajaran-ajaran agama ia hanya terjebak ke dalam hubungan keagamaan yang tersentral pada kepentingan-kepentingan ritualistik dan menegasikan dimensi diskursus kemanusiaan orang-orang marjinal dan tersingkir dari realitas kelaziman. Studi subaltern dalam konteks ini adalah menjalin kepentingan hermeneutik horisontal untuk memaknai kaidah-kaidah kemaslahatan (hikmat al-tasyri') yang memiliki historisitas terhadap kebutuhan lokal mengenai subyek yang dilainkan oleh sistem dominan.[4]
Gagasan kunci sub-altern, mencari titik temu kritis dalam pengalaman keagamaan
Studi subaltern pada awalnya dimunculkan oleh Antonio Gramsci yang mendasari adanya kesenjangan terhadap sisi lain dari gagasan mengenai tatanan sosial yang distrukturisasi menjadi sistem kelas yang mengakibatkan adanya sejumlah kelompok yang dipandang tertindas, seperti orang miskin, petani, perempuan dan masyarakat adat (suku). Subaltern adalah manifesto yang difokuskan pada fenomena bukan elit sebagai sebuah agen politik dan perubahan sosial.[5] Secara terminologis Sutrisno dan Putranto (2004) menjelaskan subaltern atau subaltern subject mengacu kepada "kelompok sosial pinggiran atau yang dipinggirkan seperti kaum migran, penghuni perkampungan kumuh, suku-suku tersingkir, pengungsi, kasta rendah, tunawisma yang tidak mempunyai atau dicegah untuk mempunyai kesadaran kelas dan yang dalam banyak kasus dicegah untuk mengorganisasikan diri mereka" atau diistilahkan dekat sebagai fakta orang terjajah.[6] Gerakan studi subaltern kemudian menguat dan fenomenal semenjak Gayatri Spivak, intelektual India menulis sebuah pengalaman perempuan janda bernama Sati yang distigmatisasi oleh bangunan kolonialisme yang pada akhirnya harus mati membakar diri demi satu kuasa patriarkal yang direproduksi dari mentalitas imperialisme yang meniadakan pengalaman-pengalaman masyarakat terjajah lebih sebagai sebuah pengalaman lain yang dibedakan dari pengalaman penjajah. Perbedaan inilah yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kelompok outsider dari insider.[7] Menurut Gramsci kelas-kelas subaltern adalah mereka yang disubordinasi oleh sistem kekuasaan yang dominan, dipinggirkan dari representasi politik yang identik sebagai subyek inferior.[8] Kaum subaltern adalah kaum yang disubordinasi di luar sistem yang selalu direka-ulang untuk kebutuhan-kebutuhan habitus kuasa hegemoni dalam memfasilitasi kepentingan kelompok dominan itu[9] atau sebagai subyek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa sehingga minoritas ini bungkam dan tidak lagi dapat bersuara [10]. Kelompok-kelompok subaltern ini bisa saja disubordinasi oleh negara, praktik beragama dan modernitas. Negara menganggap kaum subaltern sebagai subyek yang perlu diatur dengan ketat, dan agama melihatnya sebagai subyek yang perlu ditobatkan seperti seorang perempuan dengan tubuh seksi yang diperkosa sementara menurut agama ia dianggap sebagai biang masalah karena melanggar batas-batas auratnya sebagai perempuan di ruang publik yang seharusnya ia taat pada tatacara berpakaian menutup auratnya sebagaimana ajaran agama menjelaskan hal itu seperti terdapat pada QS. 33: 59, atau hadits yang diriwayatkan Muslim bahwa Nabi Muhammad saw bersabda "takutlah kamu akan fitnah dunia dan fitnah perempuan karena orang-orang Yahudi dahulu pertama kali terfitnah oleh para perempuan dan dari Bukhari dikatakan "tidak sekali-kali aku tinggalkan suatu fitnah yang paling membahayakan diri kalian, selain fitnah perempuan"[11] dan modernitas menganggap subaltern sebagai sampah masyarakat yang harus dibersihkan dari arena publik untuk kepentingan efisiensi, ketertiban sosial dan kepentingan publik dalam konstalasi tata ruang sehingga perlunya direidentifikasi karena subaltern adalah komunitas tradisional, primitif yang perlu dibina untuk mencapai satu kesepahaman tertib sosial sesuai dengan nilai-nilai kemodernan.
Dalam kasus gendered subaltern misalnya, perempuan Dunia Ketiga jelas bukan representasi dari logosentrisme perempuan yang direpresentasikan melalui cara kerja perempuan Barat yang hanya diasumsikan pada level dan budaya kulit putih. Perempuan dunia ketiga adalah memandang gagasan dirinya lebih rumit ketimbang proyeksi kaum Barat mengenai perempuan pribumi tradisional karena perempuan dunia ketiga memiliki bahasa sendiri yang kompleks dan memiliki kohesi psikososial dalam membentuk kekuatan bahasanya yang sama sekali berbeda dalam tataran praksisnya dengan kebutuhan-kebutuhan perempuan Barat dalam dunia co-eksistensi.[12] Artinya tanpa perempuan dunia ketiga maka perempuan Barat akan kehilangan representasi dan menghilang dari tatanan global.
Subaltern dalam konteks bunuh diri Sati bagi kalangan penjajah dimuarakan kepada dimensi kesetiaan mutlak bagi perempuan terhadap suaminya. Kesanggupannya untuk menceburkan diri ke dalam api pembakaran jasad suaminya menurut penjajah tergantung kepada seberapa kuat tumpukan kayu bakaran jasad itu sehingga kesetiannya kepada suami akan menentukan cara perempuan untuk mati tergantung kepada kepatuhannya untuk membakar diri. Penalaran poskolonial pada konteks janda Sati bagi Spivak merupakan pengalaman tragis bagaimana penjajah memberikan konstruksi sosial identitas Sati sebagai subyek yang dilainkan dari kosakata laki-laki dan reproduksi identitas perempuan dalam konteks kesanggupan dan ketaatan untuk menceburkan diri ke dalam kobaran api merupakan cara-cara meletakkan perempuan dalam konstalasi hegemoni patriarki sehingga dalam kontestasi biner tetaplah diperlukan reidentifikasi subyek perempuan sebagai yang lain dari laki-laki atau disebut bukan laki-laki. Menurut Simone de Beauvor,[13] pelainan perempuan (sosok yang lain) dari tatanan laki-laki melahirkan sejumlah mitos dan fakta yang menggiring definisi perempuan menjadi the second sex, makhluk yang bukan laki-laki seperti sebuah debat kusir yang dijelaskannya kalau kerap laki-laki mengatakan "Anda berpikir demikian karena Anda perempuan". Perempuan dimanifestasikan makhluk yang relatif, secara posisional tidak sempurna karena yang disebut manusia absolut adalah laki-laki. Oposisi-oposisi konstruktif semacam ini yang menciptakan perasaan "identity in difference" menjadi konstitusi yang pada akhirnya terpola ke dalam dimensi hubungan negasional dan menciptakan diskriminasi akibat pola diferensiasi dari sistem epistema biner. Perlakuan pembedaan berdasarkan jenis kelamin nampak terjadi dalam sejumlah produk hukum Islam, seperti hukum waris misalnya. Pembedaan ini diakui dan dieksplisitkan oleh Al-Suyuti dengan kitab Asybah wa al Nazha'ir bahwa perempuan dibedakan dari laki-laki dalam sejumlah hukum[14] dan kondisi ini memberikan gambaran historis bagaimana di dalam fiqh juga perempuan dibatasi aksesnya atau dikebiri hak-haknya dalam ketentuan yang terkait dengan fungsi-fungsi publik seperti menjadi pemimpin.
Menurut Spivak, dalam konteks keterwakilan terhadap suara-suara subaltern tidaklah mudah menjelaskan komposisi relasional mereka dalam rangka menjelaskan keterwailkannya atau memediasi suara-suara mereka karena keraguannya dan negasi yang ia bangun menciptakan apapun kondisi subaltern tidak bisa bicara di bawah sistem hegemonik dan ketertindasan sehingga tidak ada representasi yang shohih dalam menjelaskan kebungkaman kelompok subaltern. Bagi Gayatri Spivak, "tidak ada orang tertindas yang bisa bicara. Apalagi ia perempuan, ia akan begitu saja dilupakan".[15]
Nampaknya acuan studi subaltern sebagai bagian sinergi terhadap pengalaman keberagamaan sulit untuk dijelaskan dalam menangkap posisi tergambar dalam melihat unsur-unsur inferioritas terkait dengan fakta-fakta kesejarahan. Namun kekurangan sumber informasi historis sedikit terselesaikan ketika membaca kontestasi khalifah Umar ibn al-Khattab saat membela seorang keturunan Mesir yang dieksekusi gubernur Mesir yang dijabat oleh Amr bin al-'As dalam suatu pertandingan olah raga yang dalam eksekusinya tanpa meminta persetujuan hakim. Umar mengirim surat kepada Gubernur Mesir yang berisi sebuah teguran berbunyi " Hai 'Amr, sejak kapan kamu memperbudak manusia padahal setiap manusia lahir dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka" .[16]
Kebijakan Umar menyentuh aspek humanisasi dan sanggup menangkap hak-hak istimewa manusia untuk diperlakukan sama di muka hukum dan diberi kebebasan sepenuhnya dalam kerangka memperoleh jaminan kemerdekaan atas nama pribadi terkait dengan sistem yang berusaha menghimpit dan menggerus hak-hak minoritas. Umar sangat mempertimbangkan perlindungan hak-hak terhadap subyek yang berusaha disingkirkan karena perbedaan tribalisme (kesukuan) atau karena ia orang yang lemah di hadapan kekuasaan. Pengalaman historis ini membawa pada bukti otentik bagaimana subalternisasi adalah bagian dari proses panjang historisitas pengalaman keagamaan yang perlu difungsikan untuk melihat konfigurasi kritis bagaimana hak-hak minoritas diberi ruang dan dibela.
Sensitifitas Umar menunjukkan adanya fakta historis yang menjelaskan pemihakan terhadap kepentingan minoritas inferior yang ingin didiferensiasi dari kekuatan hegemonik keteraturan negara (pemerintah) yang pada dasarnya menjelaskan kepada kita tentang keterlibatan menjadi bagian dari subalternisasi yang muncul sebagai horison historis pengalaman keislaman. Namun pengalaman ini nampaknya acapkali diabaikan setelah menyeruaknya politik keagamaan yang didasari pemahaman keislaman ke dalam fragmentasi teologi yang penuh dengan nuansa infiltrasi konflik kelompok sehingga penalaran keagamaan terpola menjadi perebutan makna tunggal terhadap keislaman yang melahirkan identifikasi subyek-obyek dalam rangka mencari pengukuhan teologis. Pengalaman historis ini lantas menyebabkan munculnya pemilahan subyek historis kedalam dua tatanan oposisi-biner melalui standarisasi muslim-kafir. Bagi subyek yang tidak patuh terhadap konstitusi teologis maka pendulum resikonya ia harus diinfiltrasi sebagai subordinat dan didisiplinkan ke dalam subyek devian yang dilainkan dari tatanan konsepsi teologisnya sebagai pihak luar yang distigmatisasi sebagai kafir atau pada wilayah praktis memberikan agenda terhadap ketunggalan keselamatan yang ekslusif mengenai "diri sendiri" dan siapa yang disebut "orang lain". Dus, yang diberi keselamatan adalah sebatas orang Islam "yang taat" pada tatanan kesepakatan teologis dan meniadakan substansi kemanusiaan dengan tanpa menjamin terhadap subyek lain yang bisa dikelompokkan menjadi muslim yang tidak taat (murtad) atau non-muslim. Pengalaman keislaman kemudian jarang berbicara atas nama orang yang dilainkan dan cenderung lebih suka mencari konfigurasi diri secara logosentris untuk melihat orang lain dari kacamatanya sendiri. Islam lebih sebagai fakta historis yang diterjemahkan menjadi kerangka psikologis mayoritas untuk kemudian membangunnya berdasarkan kekuatan kerajaan dan mengabaikan disparitas kemanusiaan yang bervariasi dan tidaklah tunggal melewati deskripsi kesejarahan subyektif sehingga Islam tidak melayani atau mengabaikan sebentuk pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang dianggap picisan.
Dalam konteks studi subaltern, pengalaman keislaman senyatanya perlu diperluas ke dalam habitus baru mengemansipasi keragaman, keberbedaan untuk praksisme bagi subaltern yang momentumnya sudah diperoleh semenjak kesejarahan Muhammad. Ketika Islam Arab terbentuk, yang terjadi bukanlah penunggalan Islam sebagai identitas mayoritas. Muhammad memahami bahwa Arab tidak bisa dilepaskan dari variasi subkultur (suku pedalaman atau non-Arab) yang ditandai beragamnya suku yang perlahan-lahan membutuhkan inovasi-inovasi perilaku politik dari komponen identitas keislaman menjadi pemihakan terhadap hak-hak kemanusiaan sehingga di dalam haji wada'-pun telah dijamin hak kemanusiaan itu sebagai titik akhir diakuinya hak atau kehidupan, kepemilikan harta, sebuah artikulasi penting mengenai martabat dan kehormatan yang dijalankan tanpa sebuah konstanta diskriminasi. Realitas minoritas dengan demikian sebagaimana diklasifikan oleh Esack merupakan the other as unavoidable neighbor. Bahwa orang lain sebagai bagian terintegrasi ke dalam kelompok masyarakat yang hidup bersama tidak dibedakan oleh neraca kelas, stratifikasi, namun memiliki nilai keberadaan yang sama dalam lingkup kemanusiaannya.
Kontestasi keagamaan bersama yang tak bersuara, sebuah telaah metodologis pendampingan minoritas.
Mengacu kepada gagasan besar Gayatri Spivak mengenai kondisi psikologis seorang perempuan Sati, bahwa pola yang dicari untuk menerobos kebusian mereka dalam memfasilitasi keberpihakan terhadap diskriminasi orang-orang yang tertindas tidak memudahkan distansi yang hendak dipahami mengenai perlunya pemahaman realitas intersubyek sebagai langkah menghindari tujuan kolonisasi subyek yang tak mampu bersuara dan bisa mempertemukan kesatuan suara dari subyek subaltern yang dalam kacamata Spivak nampak sulit dan terkadang menjebaknya kedalam hegemoni baru ketika bergaul dan berusaha menyuarakan subyek subaltern.
Keterbukaan kepada hak-hak minoritas dengan demikian adalah sumber emansipasi dalam memulai upaya menciptakan keberpihakan kepada nilai-nilai fasilitative melindungi dan menjamin hak-hak minoritas. Oleh karena itu pengalaman keagamaan harus ditransformasikan ke dalam tindakan praksis menjembatani persoalan yang menimpa akibat diskriminasi dan membantu menginisiasi keberdayaan bagi orang-orang yang tidak bisa bersuara atau dalam pandangan Spivak adalah ruang yang didiami secara berbeda bagi orang yang tidak mempunyai akses mobilisasi di masyarakat.[17] Dalam konteks fasilitasi komponen-komponen psikologis mengenai hak-hak orang yang berusaha dilainkan dari tatanan mayoritas adalah memerlukan pendekatan fenomenologis untuk menumbuhkan motivasi pemberdayaan minoritas sebagai kekuatan menegaskan posisi representasinya ditengah himpitan mayoritas.
Siasat eksploitasi yang timbul terhadap kalangan minoritas dan orang-orang yang tidak berdaya sekaligus tidak sanggup berbicara digambarkan dalam al-Quran mengenai ketakberdayaan anak yatim perempuan menghadapi penindasan masyarakat Arab sebagaimana QS. 4:127 yaitu :
"Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya".
Ayat ini mengandung kritik terhadap orang-orang yang mencoba mencari celah dalam rangka ingin membebaskan anak yatim perempuan dari kolonisasi baru. Ketika adat orang-orang Arab Jahiliyah menjadi wali terhadap para perempuan anak yatim dalam pengasuhannya maka hartanyapun akan menjadi milik pengasuhnya. Jika perempuan yatim cantik maka ia akan dikawini dan diambil hartanya dan kalau perempuan itu buruk rupa maka hak kawinnya dihilangkan dari perkawinan dengan laki-laki lain namun ia akan menguasai hartanya saja.
Pengalaman yang dijelaskan dalam QS. 4:127 menggambarkan adanya kebutuhan terpenting berfokus pada individu penolongnya dan mengabaikan kebutuhan terhadap orang lain yang ditolongnya.[18] Penggambaran ini jika ditinjau dari gagasan posisional dalam pembicaraan subaltern adalah buah munculnya kolonisasi baru terhadap tata cara pendampingan atau strategi membantu kelompok subaltern dan justru yang terjadi adalah reproduksi penindasan terahadap minoritas untuk kebutuhan penolongnya yang mengabaikan hak-hak asal perempuan yatim untuk mendapat kemerdekaan, namun Arab Jahiliyah tetap memandang perempuan yatim sebagai identitas yang dilainkan dari representasi kehidupan Arab.
Pertanyaan kontestasi pengalaman adalah siapa yang paling berhak mewakili kelompok subaltern. Spivak sangat berhati-hati menjelaskan pola perwakilan terhadap kelompok subaltern karena kita terkadang akan terjebak ke dalam hegemoni dan kolonisasi dibalik upaya kita membantu kelompok subaltern berbicara karena kebiasaan yang muncul dalam habitus memperjuangkan hak-hak anak yatim, disamping upaya mencoba menyantuni anak yatim, tak pelak urgensi ini menjadi siklus penindasan baru berbentuk model-model kepatuhan mutlak terhadap penolongnya (majikannya) dalam bentuk kerja-kerja pelayanan. Gagasan penyantunan dalam konteks anak yatim (perempuan) yang tidak mengeluarkan identitas mereka sebagai subyek-obyek memposisikannya sebagai subyek yang dikontrol karena keyatimannya mengidentifikasi sistem representasinya sebagai subyek yang dilokalisir menjadi anak yang perlu mendapat perhatian yang dalam kapasitas diri sebagai the second class.
Moral instrumental untuk mengukuhkan posisi penolong-ditolong dan fungsi emansipasi adalah keterlibatan intersubyektif bagaimana otoritas diri tidak digilas oleh moral bantuan yang memenjarakan subyektifitas keyatiman sebagai identitas lain dari pemberi bantuan (majikan). Hal ini sebenarnya yang dibongkar dalam tataran penyantunan anak yatim perempuan dalam tradisi jahiliyah yang hendak dibebaskan dari situasi eksploitasi kapital yang berpusat pada kekuasaan laki-laki sehingga anak yatim perempuan tetap tidak bisa menyuarakan dirinya sendiri dan tidak memiliki bahasanya dalam meneguhkan kemerdekaannya karena identitas yatim telah menciptakan representasi sebagai obyek dari kekuasaan patriarki. Ketika gagasan bantuan terhadap anak yatim masih bertumpu pada dimensi-dimensi ekonomi senyatanya ia adalah produk subordinat yang memasukkan siklus hubungan relasi subyek – obyek yang melainkan posisi anak yatim yang tetap tidak bisa menyuarakan kemerdekaannya dan keberdayaan dirinya untuk mempunyai kuasa dalam membentuk representasi otonomnya dan bukan representasi keterwakilan dari sang majikan sebagai subyek cengkeraman yang eksploitatif.
Dalam kerangka gagasan emansipasi subaltern, keberdayaan terhadap kelompok tertindas dan disingkirkan adalah membangun wahana keagamaan anti diskriminasi melalui cara mengakui kehadiran kelompok-kelompok subaltern tanpa mengoordinasi kapasitas minoritas mereka untuk melebur ke dalam tata laksana mayoritas dalam berbagai sikap dan perilaku hidupnya. Hal penting yang perlu dilakukan adalah mencapai derajat teologis yang tak saja bergulat dalam tatanan vertikal-eskatologis dalam mencapai kedamaian psikologis, namun secara teologis usaha menjadikan dimensi horisontal keagamaan[19] adalah upaya menciptakan teologi pembebasan yang bekerja ke arah pembebasan agama dari struktur serta ide sosial, politik, dan religius yang didasarkan pada ketundukan yang tidak kritis dan pembebasan seluruh masyarakat dari semua bentuk ketidakadilan yang didasarkan pada ketimpangan gender, ras, kelas dan agama yang biasanya mereka jika mengalami diskriminasi berada dalam relasi subordinat yang dituntut menyesuaikan dengan tatanan mayoritas yang hegemonik.[20]
Kontestasi pengalaman keagamaan diperkaya melalui koordinasi perilaku sosial yang menjalin dinamisme menuju kesadaran kolektif untuk mempersamakan dimensi manusia ke dalam sistem pertukaran pengalaman kemanusiaan sebagai bentuk penjagaan momentum religiusitas yang bersifat hifdz al-nafs karena setiap manusia memiliki kesamaan hak untuk hidup. Artinya sikap keberagamaan juga mampu menjalin hubungan dialektis dan komunikatif menjadi gagasan kunci pengembangan keberdayaan minoritas yang biasa dibungkam oleh herarkhi kuasa yang dominan menjadi sumber kontrol keberadaan minoritas dari kelompok kelas tidak berdaya. Untuk itu aspek-aspek metodologis pendekatan terhadap pendampingan minoritas dapat dikembangkan sebagai berikut ;
Pertama, menaikkan negosiasi representasi orang-orang minoritas untuk bisa bersuara menciptakan resistensi budaya yang bergulat dalam tatanan subordinasi dengan melepaskan hubungan monologis melalui jejaring subyek-obyek yang terperdaya melalui kesadaran keterwakilan. Dalam konteks ini kelayakan pengalaman adalah keberadaan minoritas sebagai sumber praksis dari kebahagiaan dan salah satu penuturan yang paling absah dalam menjelaskan realitas subyektifnya. Parameter ini pernah dilakukan Umar ketika melarang membeli budak perempuan dan menghapus pembelian budak itu sendiri untuk dikawini karena hanya akan menimbulkan incest dan eksploitasi dalam bentuk lain.[21] Melalui pembebasan ini representasi budak diputus dari hubungan eksploitatif dan hegemonik.
Kedua, prinsip pendampingan kesetaraan (al-musawwa). Prinsip ini lebih pada percampuran intersubyektif yang bersifat partisipatoris yang mendekonstruksi hubungan oposisi-biner menjadi persamaan subyektif kehadiran. Subyek subaltern berada dalam posisi yang tidak diletakkan sebagai representasi lain dari subyek fasilitator. Al-musawwa adalah kemauan berbagi dan peleburan intersubyektif untuk membentuk pengalaman bersama sebagai on becoming process. Intersubyektifitas dengan mendasari prinsip kerjanya pada pendalaman dari QS 13:49. Prinsip al-musawa berarti mendudukkan keterlibatan subaltern untuk memiliki akses dalam mobilisasi tanpa ruang partisipasi karena dibedakan oleh status kelas berikut prasyarat prioritas yang dilabeli berdasarkan perbedaan representasi.
Ketiga, Memformulasikan kuasa sebagai produksi kekuatan melalui pengetahuan kuasa.[22] Dalam konteks ini hak-hak minoritas ditempatkan dalam posisi prosesi deliberasi representasi dalam kerangka politik identitas[23] untuk mencapai kekuatan perlawanan terhadap status dominan. Dari perspektif terapi, menjelaskan kalau pengetahuan akan memproduksi wacana mengenai representasi konkret sehingga kuasa dalam pengertian ini difungsikan untuk membentuk kekuatan yang dikodifikasi dan disistematisasi agar menjadi kapasitas aktualisasi.[24] Dalam kaitannya fungsi kuasa sebagai representasi aktualisasi maka proses deliberasi bisa kita pelajari dalam rangkaian fungsi transformasi politik identitas untuk memperkuat hak-hak negosiasi realitas dan kehidupan dunia.[25] QS. 16:125-126 menegaskan upaya melakukan perlawanan dengan cara bijaksana merupakan metode meningkatkan kuasa pengetahuan untuk mencari bargaining position dengan cara yang baik (hikmah) dalam mencapai keadilan sebagai gagasan peluang adanya proses deliberasi untuk mencapai kesamaan hak dan akses yang adil dan merata.
Keempat, diperlukan satu medium untuk memprakarsai momentum-momentum kebersamaan (collaborative) dengan komponen kesalinghadiran dialektis yang bisa membandingkan persepsi dan sharing penilaian antara subyek (minoritas) dengan representasi komunitas.[26] Karena berdasarkan dimensi representasi sosial secara teoritik hubungan antara individu dengan kelompok selalu problematik dalam psikologi. Ketika kognisi sosial kolektif memberikan atribusi kepada pengalaman personal maka individu dari kelompok minoritas menjadi agensi dari representasi kelompok yang biasanya dominan dan memunculkan agensi the others. Untuk itu menurut Ivana Markovà dalam buku, Dialogicality and Social Representations: The Dynamics of Mind yang ditinjau ulang oleh Raggatt[27] disebutkan bahwa hipotesis dialogicality adalah sebentuk kapasitas pemikiran manusia untuk mengonsep, mencipta, dan mengomunikasikan realitas sosial menurut kaidah atler dan pemikiran dan bahasa manusia yang dihasilkan dari dialogikalitas. Prinsip dialogis ini ditekankan pada aspek Ego dan Alter untuk membantu memahami formasi representasi sosial. Hal ini juga ditegaskan oleh Esack kalau hubungan kita dengan the others dilihat dari komparasi keberadaan komunitas sendiri atau diri itu menimbulkan banyak dimensi yang memerlukan pemahaman mendasar tentang ko-eksistensi.[28] Untuk itu diperlukan usaha memahami diri sendiri untuk terlibat sepenuhnya terhadap keberadaan yang lain yang biasanya dinafikan dari konteks representasi yang adil dan membebaskan dari situasi eksploitasi dan penyingkiran melalui hegemoni dan eksploitasi sehingga orang lain di luar diri kita mempunyai kehadiran yang sama, kalimah al-sawa. Dalam konsep pengembangan komunitas, pendekatan kalimah al-sawa merupakan bagian dari kolaborasi pengalaman untuk di mana melalui dialogisitas itu akan mendorong produksi strategis sebuah tindakan di komunitas yang digali dari pengalaman dan pengetahuan minoritas yang menurut Kenkel dan Couling bahwa prinsip kolaborasi akan bermanfaat untuk mengadvokasi anak yang mengalami dan menyaksikan kekerasan domestik.[29] Bahwa pengalaman anak dan pengetahuan anak menjadi bagian yang sangat penting dan baik dalam proses advokasi karena melalui pendekatan kolaborasi anak memiliki partisipasi dalam mengonstruksi pengalaman dan pengetahuannya sendiri yang disebut sebagai partik inklusif bertujuan untuk memposisikan anak sebagai partisipan aktif di dalam pengembangan komunitas ketimbang menerima secara pasif harapan-harapan dan mimpi-mimpi orang dewasa. Melalui pengalaman dan pengetahuan langsund dari anak-anak maka psikologis anak-anak difungsikan secara maksimal dalam membentuk proses perkembangan dirinya bebas dari pengendalian hubungan biner subyek-obyek untuk mencapai kemerdekaan menentukan masa depannya. Karena keterbukaan ruang dan privailis suara anak-anak merupakan prasyarat bagaimana agar pengembangan komunitas merupakan proses yang mengantarkan, penyatuan, dan memberikan legitimasi terhadap pengalaman dan pengetahuan kelompok-kelompok marjinal.[30]
Penutup
Engineer[31] mengatakan jikalau nilai-nilai dasar Islam itu adalah kesamaan (equality) sebagai basis kekuatan untuk mewujudkan kehidupan sosial yang baik yang merupakan perwujudan teolologis kesehatan sosial yang membebaskan dari rangkaian penindasan terhadap orang-orang lemah baik laki-laki, perempuan dan anak-anak (QS. 4:75). Keniscayaan melihat harkat kemanusiaan sebagai inti masalah yang perlu diperjuangkan untuk mencapai derajat kesamaan memerlukan keterbukaan diri untuk menerima orang lain sebagai bagian dari ko-eksistensi yang memiliki hak untuk terlibat penuh dalam mencapai kebahagiaan. Berdasarkan sumber al-Quran pada Surat 4:75 telah jelas bahwa posisi orang-orang yang mencoba dilainkan oleh karena perbedaan ukuran dari mayoritas yang biasanya terpinggirkan dan marjinal bukanlah garis tepi eksistensi yang dibeda-bedakan oleh sebab ketidaksamaan agama, ras, etnik, jenis kelamin atau kelompok tertentu akan tetapi mereka orang yang perlu memeroleh keadilan dan kesamaan perlakuan melalui konsepsi keadilan distributif (distributive justice) untuk mencapai persaudaraan yang universal (universal brotherhood) (QS. 7:31).
Disinilah penting diupayakan mencari konfigurasi pengalaman keagamaan yang tidak hanya tersentral dalam mekanisme ritual yang menegasikan pengalaman kemanusiaan yang lebih riil sehingga agama memiliki dialektika horisontal melihat pengalamannya dari sisi yang beragam dan mendasari pergulatan agama lebih ke sifat praksis untuk memberikan emansipasi kepada kelompok-kelompok yang bukan elit dan dinegasikan oleh kekuatan mayoritas yang hegemonik dan mencoba mengontrol keberadaan subaltern sebagai bagian dari penyimpangan normalisasi kenyataan atau kelompok picisan yang tak dipikirkan sebagai bagian dari realitas kesatuan manusia (unity of humankind). Selanjutnya perlu dirumuskan lebih aplikatif lagi mengenai komposisi instumental untuk mencapai pembelaan terhadap kelompok subaltern dari sistem hubungan kuasa hegemonik dan normalisasi kehendak mayoritas ke sistem negosiasi representasi identitas yang membebaskan dengan mengakui hak-hak dasar mereka sebagai bagian dari proses menjadi.
Daftar Pustaka
Abdul Kodir, F. tt. Diskriminasi seks dalam teks klasik Islam. Majalah Kebudayaan Desantara. Edisi 08. hal. 30-37
Abu-Zayd, N.H. 2004. Rethingking the Qur'an Towards a Humanistic Hermeneutics. Humanistic University Press : Amsterdam
Associated with the Experience of Conversion. Culture & Psychology. Vol. 11(1): 89–100
Baso, A. 2005. Ke Arah Feminisme Postradisional. Dalam Hayat, E. & Surur, M. Perempuan Multikultural. Negosiasi dan representasi. Jakarta : Desantara. Hal. 3-28.
Budianta, M. 2005. Perempuan, Seni Tradisi dan Subaltern : Pergulatan di Tengah-Tengah Lalu Lintas Global-Lokal dalam Edi Hidayat dan Miftahus Surur (Editor). Perempaun Multikultural Negosiasi dan Representasi. Jakarta : Desantara.
Davidson, J.C. tt. "Conversations With/In Latin American Culture Gayatri Spivak: "Learning to Learn". http://www.cti.manchester.ac.uk/Spivak. shtml. Diakses tanggal 25 Juli 2007
De Beauvoir, S. 2003. Second Sex Kehidupan Perempuan. Terjemahan Toni B. Febriantono dan Nuraini Juliastuti. Pustaka Promethea : Surabaya.
Engineer, A.A. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Terjemahan oleh Agung Prihantoro. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Esack, F. tt. Muslims Engaging the Other and the Humanum. [http://uk.geocities.com/faridesack/femuslimsengage.html] diakses tanggal 27 Juli 2007
Esack, F. tt. Muslims Engaging the Other and the Humanum. Diakses melalui situs internet [http://uk.geocities.com/faridesack/femuslimsengage.html] tanggal 27 Juli 2007.
Gandhi, L. 2001. Teori Poskolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Terj. Oleh Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah. Jogjakarta : Qalam.
Gergen, K. J. 2000. From Identity to Relational Politics dalam Holzman, L & Morss, J. (Editor). Postmodern Psychologies, Societal Practice, and Political Life. New York : Routledge. Hal : 130-150.
Glossary of Key Terms in the Work of Gayatri Chakravorty Spivak dalam situs http://www.english.emory.edu/Bahri/Glossary.html diakses tanggal 25 Juli 2007
Guilfoyle, M. 2005. From Therapeutic Power to Resistance?: Therapy and Cultural Hegemony. Theory & Psychology. Vol. 15(1): 101–124
Hartiningsih, M & Pambudi, N.M. 2006. Membaca Gayatri Chakravorty Spivak. Kompas. 12 Maret.
Huda, M.H.N. 2004. Membongkar kekerasan epistemik. Dalam Sutrisno, M. & Putanto, H. (eds.). 2004. Hermeneutika Pascakolonial. Soal Identitas. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 113-120
Iborra, A. 2005. Beyond Identity and Ideology: Processes of Transcendence Associated with the Experience of Conversion. Culture & Psychology. Vol. 11(1): 89–100
Kurzman, C. 1999. Liberal Islam: Prospects And Challenges. Meria Journal. Volume 3, No. 3
Leon-Guerrero, A. 2005. Social Problem Community, Policy and Social Action. Thousand Oaks: Sage Publication
Muhammad, H. 2004. Islam agama ramah perempuan pembelaan kiai pesantren. Yogyakarta : LKiS.
Moosa, I. 2004. Islam Progresif Refleksi Dilematis tentang HAM, Modernitas dan Hak-hak Perempuan di Dalam Hukum Islam. Terjemahan oleh Yasrul Huda. Jakarta : ICIP.
Raggatt, P. 2006. Voices in Dialogue, but Lost in a Crowd? Theory Psychology: 16; 854-856
Sutrisno, M. & Putanto, H. (eds.). 2004. Hermeneutika Pascakolonial. Soal Identitas. Yogyakarta : Kanisius.
Verdiansyah, V. 2004. Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan. Jakarta : P3M dan Ford Foundation.
No comments:
Post a Comment