Sebagai Medan Sosial Konseling Santri
Abstrak : Based on social ecology theory, counseling using individual setting on the table illustrates crossing way alternative to solve the problems’ children and juveniles. The process takes place in as much the role of institution, namely school or Islamic boarding house is dominant to evaluate the problems’ children and juveniles. Even, it is because of being related to self discipline politic that has strong relation with image and necessity of the institution in instant manner. By developing Islamic boarding house domain, the concept of counseling implementation shifts from absolute client reorientation to social setting concept that makes Islamic boarding house students with the problems as agent to increase their participation. It has one purpose to make priority and optimal social field implementation so that counseling in Islamic boarding house integrates Islamic boarding houses domains as local knowledge. Besides that, it is important for counseling strengthening and keeping the continuity of counseling practice dynamically.
Kata Kunci : Islamic boarding house domain, Islamic boarding house student, social field, and counseling
Pengantar
Praktik konseling konvensional dilakukan secara dialogis yang tersentral pada konselor di atas meja. Ruang konseling diperkecil menjadi hubungan interpersonal dua arah konselor-klien. Hubungan semacam ini menisbahkan fungsi privasi yang didasarkan oleh diksi lanskap budaya individualistik. Dimensi ini menegasikan ruang terbuka sebagai medan sosial yang bisa dijadikan daya dukung konseling. Praktik konseling membudaya dalam seting privat yang mengalienasi individu dalam proses sosial dan budaya sehingga menciptakan model hubungan ketergantungan. Praktik konseling relasional tertutup masih dominan untuk beberapa kasus penyimpangan dan gangguan perilaku yang ada di lembaga khusus seperti pendidikan menengah atau pesantren di Indonesia.
Meskipun format konseling bervariasi dan mengalami perkembangan dari berbagai modifikasi terhadap teknik-teknik konseling yang baru, sejumlah sekolah masih mengandalkan ruang bimbingan konseling sebagai salah satu ruang privat bekerjanya medan konseling. Konseling individual semacam ini, di satu sisi dianggap efektif, namun di sisi lain ketika fokus kasus jatuh pada usia perkembangan anak-anak dan remaja, menerapkan konseling secara individual akan membatasi anak untuk mendapatkan hak sosialnya dalam memecahkan masalahnya sendiri. Metode ini akan membebani anak dalam membuat rasionalisasi perilaku dan pemecahan masalahnya sendiri. Anak dan remaja mengalami tekanan hanya sebatas untuk mengakui rasa bersalahnya dan dituntut dalam sebuah target instan merubah atau tidak mengulangi perilakunya.
Konseling dengan seting individual ini menggambarkan paradigma potong kompas dalam menyelesaikan masalah anak dan remaja bermasalah. Proses itu banyak berlangsung karena tuntutan kelembagaan (sekolah/pesantren) lebih dominan membayangi penilaian masalah anak/remaja terkait dengan reputasi “politik pendisiplinan diri” karena perilaku bermasalah anak/remaja akan selalu terkait dengan citra lembaga.
Ketika konseling dibayang-bayangi oleh hubungan subordinat niscaya kinerja konseling berproses menjadi modus paternalistik. Artinya, ruang psikodinamika konseli dikondisikan secara monologis dalam perubahan perilaku dibawah kendali keinginan kelembagaan dan masih dominan menggunakan sistem monologis melalui transfer of knowledge (Qomar, 2002) dalam pencangkokan pengetahuan dan nilai-nilai. Artinya, jika anak/remaja diposisikan sebagai bagian dari entitas kolektif dalam sebuah konteks institusional (sekolah/pesantren) niscaya pemahaman eksistensi anak/remaja nantinya akan diletakkan dalam seting pemahaman paradigma kolektifisme dan bukan semata individualisme tetapi berkohesi dalam seting psikososial-budaya sebagai komponen dari lingkungan sosioekologisnya (Chen, French, & Schnieder, 2006; Richard, 2005). Dengan demikian, perilaku bermasalah anak atau proses perubahan perilaku melalui konseling menjadi isu budaya dan sosial, bukan isu individualistik karena individu dipandang sebagai agensi dan diri sosial (Brabender, Fallon, Smolar, 2004). Berdasarkan pendekatan teori aktifitas dan teori simbolik dalam kajian psikologi budaya bahwa fenomena psikologis dibentuk atas partisipasi seseorang dalam kehidupan sosial, cerminan karakteristik kehidupan sosial dan perilakunya menggambarkan bentuk jalinan sosial yang saling terkait dengan struktur aktifitas sosial, lingkungan, dan kondisi alamiah serta perkembangan proses mental dimediasi oleh alat-alat psikologis seperti bahasa, konsep, penanda dan simbol yang merupakan produk budaya manusia (Ratner, http://www.humboldt1. com/~cr2/three.htm; Chen, French, & Schnieder, 2006).
Oleh karena itu, pesantren dapat menjadi ruang aktifitas sosial yang membentuk fenomena psikologis santri yang mengikat hubungan personal, relasional dan kolektif (Prilleltensky, Nelson, dan Macmillan/Palgrave, http://www.radpsynet.org/applied) dalam sistem struktur komunitas pesantren. Pesantren menjadi sumber inspirasional yang mendedahkan berfariasinya kohesi psikososial dalam lanskap budaya dan perilaku kolektif yang tertata melalui domain pengetahuan lokal dan kearifan pesantren. Domain ini menjadi wadah dan sebagai medan sosial praktis komunitas pesantren, termasuk di dalamnya adalah santri, yang bisa dikembangkan sebagai cara pendekatan optimalisasi konseling.
Domain ini sangat kuat membentuk dan menentukan karakteristik psikologis santri serta membentuk gugus identitas sosial yang seringkali disebut sebagai kaum santri. Di sini disposisi kaum santri adalah bentukan lanskap budaya pesantren dengan berbagai domain local genius-nya dan cakupan transformasi ritual sebagai gejala kolektif, personal, dan relasional yang diasah sebagai penopang edukasi dan pembentukan mental psikospiritualitas kaum santri. Pesantren menjadi subkultur dalam proses representasi sosial kemasyarakatan. Kekhasan pesantren dalam berbagai domain kearifannya dengan demikian dapat dikembangkan sebagai medium konseling sesuai dengan prinsip bahwa dinamika psikologis santri selalu berjejaring sebagai agensi pesantren dan melekat menjadi isu psikososial budaya sebagai makrosistem (Richard, 2005) perkembangan santri. Demikian juga jenis pelanggaran santri akan selalu diletakkan dalam koridor diskursus subkultur pesantren dalam perspektif teori agensi.
Paper ini berusaha mengembangkan domain kearifan pesantren sebagai medan sosial konseling yang meletakkan santri ke dalam gagasan teori agensi. Bahwa Agensi tak semata memosisikan atribut diri dalam koridor hubungan interpersonal melalui ko-regulasi berhadap-hadapan tetapi memandang santri dalam kerangka perkembangan partisipasi dalam arti luas ke dalam aktifitas sosial kolektif (Ratner, http://www.humboldt1.com/~cr2/three.htm). Medan sosial dipahami dalam seting komunitas momosisikan nilai sebagai basis perbaikan dan transformasi. Pelanggaran, penyimpangan dan gangguan perilaku santri dalam perspektif perkembangan kematangan psikologis santri akan didekati secara kolaboratif sebagai bagian terintegrasi dari visi dan nilai lokal dalam berbagai domain kearifan pesantren. Pendekatan ini membutuhkan kolaborasi partisipatoris untuk mengembangkan, merefleksikan, dan mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal sebagai bagian dari proses sosialisasi dan transmisi budaya untuk meningkatkan kesehatan personal, relasional dan kolektif melalui peran-peran aktif kelompok sebaya di lingkungan pesantren serta lingkungan sosial yang mengitari kehidupan keseharian kaum santri (Prilleltensky, Nelson, dan Macmillan/Palgrave, http://www.radpsynet.org /applied; Brower, Minichiello, dan Plummer, 2007; Chen, French, & Schnieder, 2006). Proses pendekatan komunitas telah dikembangkan dari pengalaman menjadi fasilitator pelatihan dan sebagai catatan kritis selama proses pelatihan konseling parakonselor bagi pengurus pesantren Tebuireng Jombang pada 1, 21-24 Desember 2007 dan 19-20 Januari 2008. Program ini kemudian dilanjutkan secara mandiri melalui inisiasi konseling mandiri bagi pengurus dalam bentuk kegiatan adik-kakak asuh.
Pesantren Sebagai Medan Sosial Konseling
Yeh, dkk. (2004) mendeskripsikan urgensi pengalaman mengenai penyembuhan lokal (indigenous healing) untuk kebutuhan pengembangan metode penelitian dan konseling psikologis. Yeh, dkk. (2004) menjelaskan bahwa pemahaman dan praktik konseling secara multidimensional dan interdependensi dapat diarahkan melalui pendekatan kontekstualisasi budaya. Prinsip sensitifitas budaya ini dapat diadopsi oleh konselor untuk mengintegrasikan model pengasuhan lokal sebagai partikuler pengembangan konseling karena setiap budaya memiliki gagasan tentang kesehatan mental dan keberlangsungan fungsi psikologis bagi komunitas. Konselor dalam wilayah praktisnya dengan demikian perlu mensyaratkan dirinya berposisi sebagai fasilitator dari sistem pengasuhan (penyembuhan) lokal. Konselor dalam ranah pengasuhan lokal disarankan untuk berunding dan berkolaborasi dengan para pengasuh lokal dalam memberikan pelayanan kesehatan psikologis dengan menempatkan konteks budaya dalam proses pemberian konseling. Dengan demikian praktik konseling memerlukan integrasi dalam proses praktik kesehatan mental komunitas yang mempertimbangkan keterlibatan spiritualitas, organisasi agama dan komunitas, seni kreatif, harmoni dan keseimbangan serta berbagai metode yang terkait dengan kepemilikan dan interaksi sebuah kelompok.
Pada saat implementasi konseling, pesantren secara indigenous diposisikan sebagai perangkat budaya yang memiliki domain-domain lokal yang telah dikembangkan sebagai indikator kebutuhan kesehatan mental dan mediasi psikologis bagi komunitas atau penghuni pesantren yaitu santri dan sejumlah sistem yang berkembang didalamnya. Dalam perspektif filosofis dan pengasuhan lokal, perlu memahami peran-peran spiritualitas, energi penyeimbang, jaringan sosial khusus dan kesalingtersambungan diantara berbagai sistem yang ada serta interdependensi budayanya (Yeh, dkk. 2004).
Prinsip yang akan dikembangkan dalam wilayah pesantren terkait dengan kebutuhan tujuan perubahan perilaku didasari oleh pemahaman tentang jejaring sosial yang semestinya diberlakukan dalam serangkaian proses koseling. Hal ini didasari oleh mengukur kapasitas seseorang sebagai bagian dari praktik bertindak yang merupakan kohesi dan efek dari bekerjanya ekologi sosial perilaku, sistem sosial dan kelangsungan interdependensi budaya pesantren sebagai subkultur masyarakat (Zaini, 2001; Rudkin, 2003; Bronfenbrenner, 2005).
Kurt Lewin dalam teori medannya (field theory) menggarisbawahi bahwa perilaku itu ditentukan oleh totalitas situasi individual. Medan yang dimaksud di sini dalam konteks pemahaman Lewin adalah totalitas koeksistensi sebuah fakta yang dikonsepsikan secara interdependensi antara satu dengan yang lain. Perilaku individu ditempatkan dalam kesatuan proses yang melibatkan aspek berjejaring antara fakta diri dengan situasi sosial. Komponen perilaku dibentuk oleh satuan individu dan lingkungan dalam perspektif medan psikologis atau disebut ruang kehidupan (lifespace). Individu dipandang memiliki perbedaan perilaku karena dibentuk oleh bekerjanya cara pandang persepsi diri dan lingkungan. Jika direplikasi untuk kepentingan konseling maka perubahan perilaku senyatanya ditopang oleh berfungsinya kapasitas personal yang berjejaring dengan seting lingkungannya. Sebagaimana persamaan yang diajukan Lewin tentang proses perilaku manusia digambarkan dalam bentuk persamaan B = F (P, E). Perilaku manusia atau perilaku organisasi sosial dipahami dalam konteks fungsi personal dan hubungan resiprokal dengan lingkungan sosial seperti orang tua, guru, kyai, teman akrab, organisasi pondok, piranti budaya dan tradisi lokal pesantren (Rudkin, 2003; Dale, Smith, Norlin, & Chess, 2006; Bronfenbrenner, 2005). Sementara itu proses perkembangannya dirumuskan dengan D = F (P, E). Bronfenbrenner (2005; 109) menegaskan bahwa perkembangan diri tidak hanya terfokus pada perkembangan itu sendiri tetapi perkembangan sangat ditentukan oleh sebuah waktu. Oleh karenanya perkembangan didefinisikan sebagai seperangkat proses yang mana sifat personal dan lingkungan berinteraksi untuk menghasilkan ketangguhan dan perubahan menjadi karakteristik biopsikologis personal yang mewadahi sumber-sumber kehidupan.
Perubahan dalam konteks perkembangan tidak dapat dilakukan kecuali ada keterlibatan sistem yang memperkuat perubahan tersebut yang melibatkan proses interaksi antara pribadi manusia dengan seting lingkungan. Dalam konteks ini perubahan individu diposisikan sebagai anggota dari sistem manusia yang terlibat secara intens sebagai bagian dari anggota sebuah kelompok sosial atau organisasi sosial yang ikut berproses secara mendalam untuk melakukan perubahan (Coghlan & Brannick, 2003).
Optimalisasi kelompok sosial yang terencana menurut Lewin (Brown, 2000) didasari oleh berfungsinya interdependensi mutlak (interdependence of fate) dan interdependensi tugas (task interdependence). Interdependensi mutlak mendasari proses keterlibatan seseorang dalam anggota kelompok secara meluas, bukan didasari oleh persamaan atau ketidaksamaan individu dalam satuan kelompok itu. Dalam artian ini pencapaian seseorang didasari oleh kesatuan yang dibangun oleh kelompok itu untuk mencapai tujuan yang direncanakan. Interdependensi otomatis sebenarnya merupakan bentuk kelemahan interdependensi dari sebuah kelompok. Ia akan lengkap jikalau setiap individu dalam kelompok memiliki tugas-tugas yang saling tergantung satu sama lain untuk mencapai sebuah tujuan, maka disitulah sebenarnya tercipta sebuah dinamika yang mahadahsyat (the powerful dynamic).
Dalam konteks implementasi konseling, proses menajemen konseling sebenarnya diharapkan bisa menjembatani sebuah praktik sosial yang nyata kedalam suatu proses dinamisme kelompok. Konseling yang didasari oleh kebutuhan praktik sosial didesain oleh konselor agar medan konseling dibangun berdasarkan manajemen psikososial dan rekayasa sosial. Ia membutuhkan organisasi sosial yang mewadahi berfungsinya dinamika kelompok dalam wilayah miniatur terkecil. Konseling akan menjadi satu kegiatan yang mengarahkan pada sebagian bentuk dari bekerjanya tindakan sosial terencana. Oleh karena itu, konseling diletakkan dalam kapasitasnya untuk memenuhi tanggungjawab sosial daripada terfokus pada persoalan identifikasi individualistik yang notabene individu akan menjadi ujung tombak dari seluruh proses konseling sehingga individu terbebani oleh sistem yang justru berproses secara subordinat dari struktur dominan.
Pengembangan medan sosial konseling di pesantren dalam konsep ini menggabungkan pendekatan psikologi indigenous yang mengompilasi komponen budaya setempat dengan wacana teori ekologi sosial dan teori medan yang mewadahi subkultur dan kultur sebagai makrosistem dan suprasistem dari proses pembentukan perilaku dan perkembangan psikologis manusia (Bronfenbrenner, 2005; Rudkin, 2003). Piranti budaya itu adalah obyek yang mana nilai-nilai budaya itu ditransmisikan (Rudkin, 2003). Pesantren memiliki sejumlah piranti budaya karena pesantren mengambil posisi sebagai subkultur komunitas. Piranti budaya di pesantren memiliki corak beragam tergantung pada model dan modifikasi pesantren. Keragaman ini ditentukan oleh tujuan kebutuhan pesantren terhadap input yang ada. Ada pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (Islam), juga pesantren yang sudah mengambil pendekatan formal dengan menggunakan manajemen modern serta pesantren yang mencoba melakukan fungsi kolaboratif untuk pengembangan komunitas.
Piranti budaya pesantren terdiri dari berbagai khazanah yang unik dan bercorak lokal. Budaya pesantren berkembang dan menyatu dalam satu tradisi yang bergerak melingkari sistem relasional dan jejaring makna. Ia diwariskan melalui berbagai pemodelan, simbolisasi, penghayatan, organisasi, tranformasi diri untuk merangkai proses perkembangan psikologis santri . Jejaring makna budaya ini membentuk kohesi psikososial dan diartikulasikan dalam berbagai kekuatan diri, sosial, lingkungan, trust, spiritualitas dan dinamika keagamaan kaum santri. Di sini nilai-nilai budaya ditransmisikan melalui pengajaran, ritus-ritus, pengamalan keagamaan, pembiasaan, pemodelan (itba’), diskusi, refleksi, perlombaan, mujahadah, konsistensi, pengabdian (abdi dalem), artikulasi artistik yang mengakar menjadi lanskap historis di pesantren. Karakteristik budaya pesantren ini menjadi lokus dan modus lingkungan sosial yang kondusif bagi tranformasi dan modifikasi konseling.
Sedangkan hubungan relasional di pesantren dapat dijalin secara sinergis melalui spektrum Kiai, gus (Kiai muda), ustadz, badal (asisten), murabbi (pembimbing) untuk pengembangan bakat santri, qari’, muthawwi’ (pembangkit motivasi para santri), dan satuan kelompok kecil dalam bentuk organisasi sebaya (A'la, Anisah, Azis, & Muhaimin, 2007). Komponen ini saling berinteraksi dan bertugas secara sinergi sesuai dengan pakem yang tumbuh mengiringi lanskap historis pesantren. Jalinan relasi sosialnya adalah cerminan karakteristik historis yang terhayati melalui medan-medan sosial dan budaya pesantren, ia juga membentuk kekuatan transformasi melalui metamorfosis budaya untuk mendedahkan negosiasi representasi antara kekuatan dari luar dan kekuatan dari dalam baik langsung berdampak pada diri santri atau sistem budaya yang membentuk watak lokal sebuah pesantren.
Melalui pendekatan ini maka pesantren memiliki peluang untuk melakukan pembenahan dan pengembangan konseling psikologis santri dari dalam pesantren itu sendiri (development from within) dengan melihat seperangkat nilai (ruh al-ma’had), cita-cita (himmah), tuntutan perkembangan masyarakat (himmah al-mujtama’), dan kemampuan serta daya dukung pesantren secara nyata (caring capacity and support system) (Chirzin, 2007).
Diskusi
Pengembangan Domain (Kearifan) Pesantren untuk Konseling
Mengenali dan menemukan medan sosial dan dinamika lingkungan sosial budaya pesantren berarti mencoba memberikan artikulasi domain kearifan pesantren menjadi bagian yang terintegrasi sebagai fungsi pragmatis bagi ubahan-ubahan perilaku yang bersifat kuratif atau berorientasi pengembangan kapasitas lokal mencakup pengembangan diri, kelompok dan komunitas pesantren. Menggerakan medan sosial dan ekologi sosial pesantren akan memediasi dialektika kearifan lokal pesantren sehingga menemukan struktur terdalam bagaimana habitus pesantren memberikan dasar pemahaman kearifan dalam membuahkan berbagai pengalaman perkembangan kematangan psikologi yang dirajut secara historis dan kolektif oleh komunitas santri dalam memproses nalar dan kehidupan hatinya serta menumbuhkan tatanan pengetahuan yang arif, nilai yang orisinil, sekaligus sikap dan kepribadian wira’i yang menjadi benteng bagi stabilitas mental dan emosi komunitas santri. Ia membentengi sikap dan kepribadian bijaksana sehingga tidak bisa dipungkiri kalau dikatakan bahwa pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penempa kepribadian seseorang untuk tangguh dan mampu survival menghadapi berbagai bentuk tantangan kehidupan. Pesantren telah banyak melahirkan para pahlawan bangsa, tokoh-tokoh perjuangan, penggerak dan bibit penyadaran bagi tumbuhkembangnya perlawanan terhadap kolonialisme, menjadi sebagian gerakan sosial jelang kemerdekaan, bahkan partikelir pesantren menjadi sebuah ujung tombak metamorfosis intelektualisme, tradisi kebangsaan, moralitas dan spiritualitas ((Steernbrink, 1986; Halwan & Hidayat, 2007).
Kearifan dalam bentuknya yang nyata di pesantren dapat diformulasikan dengan mengambil genre lokal pesantren melalui naratifisasi lanskap budaya, sejarah pesantren, model dan ketokohan kiai, sikap hidup wirai, mekanisme hubungan kekerabatan serta tradisi yang bermetamorfosis melalui praktik hidup kaum santri dalam bentuk internalisasi kehidupan dan kohesi interpersonal untuk memperkuat tatanan spiritualitas, kematangan mental dan penguasaan ilmu, interdependensi, penilaian dan moralitas.
Medan dan lingkungan sosiobudaya pesantren mewadahi sejumlah keutamaan pengetahuan, nilai hidup, deskripsi tradisi, kehidupan artistik dan estetis, ritualitas transpersonal, independensi dan edukasi, pemupukan ketahanan diri dari serangkaian ujicoba kehidupan yang langsung bisa menjadi simulasi harian dalam hubungan interpersonal terutama dengan kiai, contoh kehidupan dan nasihat diri yang langsung. Kesemuanya adalah khazanah bagi proses asah kematangan kehidupan komunitas santri. Pengembangan domain pesantren dengan demikian adalah upaya untuk menghidupkan kembali secara lebih eksplisit sumber kebudayaan pesantren sebagai proses interaktif bagi santri sebagai teknik transformasi pengembangan diri dari masa remaja menuju usia dewasa karena kearifan seseorang itu bisa dipelajari dan dikonstruksi melalui interaksi dunia pengalaman individu seperti pengalaman hidup di pesantren dan teknik pelajaran hidup terkait dengan bentuk pelatihan penyelesaian masalah sehari-hari untuk melatih bertanggungjawab merencanakan, mengatur dan menjelaskan kehidupan diri seorang santri (Bluck, & Gluck, 2005; Pasupathi, Staudinger, & Baltes, 2001). Kearifan terkait dengan perkembangan diri seseorang untuk menyelesaikan persoalan kehidupannya melalui integritas ego dan kematangan, ketrampilan penilaian dan interpersonal, serta kemampuan yang luar biasa dalam memamahi hidup (Aldert, 2000). Kearifan selalu bertransformasi sepanjang rentang kehidupan sebagai kerangka penalaran diri, konseling eksistensial, empati, jalinan intuitif diri dan orang lain (Kramer, 2000) yang bisa dikembangkan dari proses transmisi budaya dan pengalaman hidup seseorang melalui penggalian teori implisit. Oleh karena itu kearifan banyak diterapkan dalam beragam domain manajemen kehidupan, perencanaan hidup, review diri. Dari keragaman domain ini Kramer memiliki beberapa unsur penting dalam menjelaskan kearifan yang menekankan pada lima kapasitas fungsional yaitu menyangkut penyelesaian masalah hidup diri seseorang, nasihat orang lain, menunjuk pada institusi kemanusiaan, review diri atau instrospeksi spiritual/filosofis (Kramer, 2000). Proses ini dapat dijiwai sebagai salah satu cara yang terintegrasi ke dalam proses pelaksanaan konseling dipesantren.
Kearifan melintasi budaya dan sejarah kehidupan serta hubungan dunia seseorang yang menjabarkan makna inti esensial atas kehidupan. Baltes dan Kunzmann (2004) menyatakan kalau para filosof barat menempatkan kearifan dalam kerangka teori analitis disekitar pengetahuan yang komprehensif, keputusan, dan pedoman tentang kesulitan dan bentuk kehidupan yang tidak pasti. Sementara para filosof timur (ASIA) yang ditopang oleh tradisi pemikiran yang tidak sekuleristik menyatakan kearifan sebagai komponen yang disebutnya mengejawantah dalam sosok pribadi yang arif. Namun demikian dalam pendekatan teori analitis, kearifan menjadi salah satu formasi psikologi yang masih diperdebatkan diantara komponen kognitif, emosi, motivasi dan faktor sosial dalam konteks kehidupan. Kearifan yang semula muncul dalam dialektika filsafat dan teologi banyak diadopsi menjadi kerangka penelitian interdisipliner, terutama psikologi. Pada saat ini reformulasinya banyak dikaji dari perspektif lokal melalui pendekatan pribumi (indigenous perspectives) yang dikombinasikan dengan aplikasi sains seperti bidang psikologi dan konseling (Yeh, Hunter, Madan-Bahel, Chiang, Arora, 2004) serta pengembangan masyarakat (Rai, 2002).
Pengembangan kearifan yang ditransformasikan dari domain pesantren untuk kebutuhan konseling lebih menekankan pada penggunaan teori implisit yang memosisikan lanskap budaya dan dunia pesantren sebagai konstruksi kearifan. Penggunaan teori implisit memosisikan pengkajian kearifan melalui strategi kontekstual dengan menggali penuturan orang-orang lokal, khazanah budaya serta komponen yang terintegrasi kedalam potensi komunitas dalam bentuk pengetahuan, performance, penalaran moral dan spiritualitas. Pendekatan kearifan tidak terfokus hanya pada kompetensi orang, melainkan juga menyangkut motivasi menolong orang lain dan kemampuan seseorang memimpin, membimbing, dan memberi nasihat yang baik pada orang lain untuk menyelesaikan masalah kehidupan nyata melalui kekayaan pengalam hidup (Bluck & Gluck, 2005).
Pengembangan domain pesantren yang dideskripsikan dalam paper ini merupakan kodifikasi hasil pelatihan konseling parakonselor bagi pengurus pesantren Tebuireng Jombang pada 1, 21-24 Desember 2007 dan 19-20 Januari 2008 yang digunakan sebagai inisiasi awal memetakan domain pesantren yang bisa dikembangkan untuk daya dukung konseling. Domain ini adalah catatan yang bersifat ethnography, sebuah kodifikasi hasil-hasil perumusan yang dilakukan secara partisipatif untuk pengembangan dasar-dasar konseling di pesantren Tebuireng melalui pemberian penugasan kepada para pengurus dan pembina dalam sebuah sesi pelatihan. Berikut ini domain-domain kearifan yang bisa dikembangkan sebagai peluang untuk pemaksimalan konseling santri.
Domain ekologis santri dan pendekatan sebaya. Peserta pelatihan merumuskan prototipe psikologis santri Tebuireng mencakup tiga kompetensi yaitu ;
¢ Berwawasan luas,
¢ Berakhlakul karimah,
¢ Mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya.
Kondisi ideal tersebut selalu berhadapan dengan kenyataan yang silang posisional sehingga kesenjangan itu berujung munculnya masalah. Pemetaan masalah melahirkan kesadaran baru, bahwa permasalahan tidak hanya bertumpu pada santri, tetapi perlu pembenahan di tingkat ustadz dan pengurus. Kesadaran baru itu menimbulkan pemikiran baru tentang perlunya perubahan strategi dalam menangani santri dari yang semata punishment (berfokus menghukum murni) beralih pada pemberian dukungan dengan membuka peluang maksimalisasi potensi santri antara lain dengan mengembangkan support group melalui cluster penghuni kamar, organisasi dan bentuk hubungan non-formal yang berkohesi dengan dinamika psikologi kolektif santri.
Mengenal secara mendalam terhadap realitas psikologis santri membantu memberikan penilaian seimbang dan bersikap terbuka untuk melakukan pendekatan secara ekologis dan memahami munculnya masalah santri dari perspektif teori agensi. Problem dan penyelesaian santri selalu terkait reorientasi fungsi agensi santri baik dalam konteks agensi pertemanan, keluarga, dan fungsi-fungsi kekerabatan yang tercipta dari kultur pesantren. Oleh karena itu diantara para pengurus/pembina yang telah sensitif, mereka memosisikan medan sosial santri sebagai pusat dinamika psikologis dan karenanya diperlukan pendekatan terlibat untuk menemukan sumber masalah dan mengorganisasi nilai personal santri menuju perubahan diri.
Santri memiliki makna historis dan eksistensial. Historis dalam arti selalu muncul cerita-cerita dan pertukaran pewarisan kehidupan mengenai kisah hidup santri terdahulu dan replikasi internalisasi kedalam pengalaman masa kini atau dokumentasi kasus untuk kesadaran diri selama menjadi santri (Umbaran, 2007; A'la, Anisah, Azis, & Muhaimin, 2007). Makna eksistensial adalah santri cenderung berproses secara bersamaan dan melihat kedudukan santri sendiri sebagai sebentuk pengabdian tulus yang masing-masing selalu berusaha untuk menuju pada kualitas insani dalam bentuk-bentuk tawadhu, menjaga ritme ritual dan selalu berusaha mencapai kualitas munajat lebih tinggi. Santri cenderung tidak membedakan antar teman dalam proses diri. Mereka saling memosisikan secara setara dan sama dalam keseluruhan wilayah (space) pesantren. Proses inquiry terhadap domain santri bisa dijadikan pemetaan potensi-potensi santri, mentalitas yang sudah terbangun, aspek kompetensi tertentu, akses dan peluang yang sudah dibentuk santri. Ritme itu tidak saja berbentuk kebiasaan tradisional yang menjadi rutinitas santri, tetapi disitu terinspirasi sebuah ketulusan dan sentuhannya justru mengafiliasi kekuatan spiritualitas. Dalam kerangka tindakan agensi-pragmatis, kehidupan santri dalam pesantren justru memberjaraki untuk tidak terpasung dalam model kehidupan hedonistis tetapi lebih menampilkan kesederhanaan, kebersahajaan dan keakraban karena identitas setara. Hubungan sesama santri dapat diciptakan untuk menumbuhkan relasi perubahan individu sebagai bagian dari tugas dan tanggungjawab anggota kelompok (organisasi, kamar, pertemanan) yang memosisikan santri ke dalam praktik agensi dan tujuan interdependensi kelompok dengan parameter kesalihan yang mengedepankan ukhuwah (persaudaraan), tasammuh (kesetaraan) dan solidaritas (Brown, 2000; Harre, 1997; A'la, Anisah, Azis, & Muhaimin, 2007). Praktik ini dapat dilakukan dengan mengoptimalisasi relasi santri melalui optimalisasi produksi dan komunikasi hubungan sebaya santri untuk menumbuhkan peran dan makna kolektif melalu peran aktif mereka bersama yang lain merealisasikan, merencanakan, membuat rancangan, dan tujuan kelompok berdasarkan peran dan norma (Harre, 1997) dalam pesantren sebagai kekuatan lokal.
Domain tradisi pesantren. Tradisi pesantren sangat identik dan melekat sebagai bagian mentalitas yang secara antropologis dan historis menjadi pemancang keberlangsungan pesantren. Khazanahnya begitu variatif, kaya, genuin, fungsional dan mengakar dalam setiap aspek kesadaran sehingga bisa dirasakan oleh mereka yang telah tinggal di pesantren. Tradisi ini menopang, menggerakkan, membentuk karakter pribadi, kolektif dan komunitas secara kohesif sehingga menjadi kekuatan bagi proses pematangan santri. Tradisi pesantren mampu menopang konseling yang genuine dan telah tumbuh secara alamiah. Dinamika tradisi adalah gugus mentalitas yang menjadi semangat untuk segera diwujudkan sebagai basis konseling. Tradisi pesantren sebagai pijakan pengembangan konseling dimaksudkan "segala kebiasaan yang mempunyai efek psikoterapi melalui pengembangan nilai spiritual dan intelektual pada santri Tebuireng".
Wilayah | Cakupan Kebutuhan Konseling |
Ziarah, istighosah, i'tikaf, jama'ah | Medium taqaruban ila allah, muhasabah dan motivasi, kesabaran, pengharapan, meningkatkan kohesiftas dan kebersamaan |
Jam'iyah, halaqah, lalaran | Pengembangan diri (personal dan kelompok), penajaman kognitif dan memori, interaktif problem solver, ketahanan mental, learning by doing, keorganisasian (kapasitas dan progresifitas), dan peluang perubahan serta pembentukan self-esteem. |
humor santri, | Media mengelola stres, buah keakraban untuk memediasi konflik, kejenuhan dan situasi jiwa stagnan, kebersamaan, energizer, kreativitas dan dinamika |
Sowan, musafahah | Internalisasi modeling, perimbangan dimensi kepribadian introvert-ekstrovert, kemauan membuka diri, media konseling akut. |
Riyadhah | Penempa diri, pembentukan harga diri dan mentalitas sportifitas, asah ketajaman spiritualitas dan daya saing personal yang positif, konsep diri, konsistensi, daya juang (reseliensi) untuk survival, kearifan diri. |
Domain pengembangan diri. Salah satu sikap terbuka yang berhasil diraih dalam pemecahan masalah ketika pelaksanaan pelatihan adalah terbukanya cara berpikir bahwa masalah yang timbul dalam bentuk perilaku menyimbang tidak semata disebabkan oleh karena santri. Kesadaran bersama demikian perlu dikenali untuk memberi peluang proses pengembangan santri karena dapat juga dianalisis bahwa masalah timbul tidak saja karena sebab negatif yang menggerakkan santri untuk berperilaku menyimpang, melainkan buah dari kompensasi dan konflik identitas serta pencarian jati diri. Peserta selanjutnya tidak memungkiri proses dinamika santri dan menggali profil yang memungkinkan untuk dikembangkan, baik yang selama ini sudah ada namun diabaikan dan kurang difungsikan atau yang sudah ada di santri namun tidak diwadahi. Analisis bersama menyimpulkan bahwa pengembangan diri merupakan medan konseling yang mencakup metode pembuka menuju konseling dan proses (media) konseling itu sendiri. Tentu untuk pemecahan masalah dan pengembangan potensi-potensi diri santri secara sportif. Perhatian utama dari wilayah pengembangan diri adalah ketrampilan melakukan modifikasi wadah-wadah pengembangan diri dalam kultur pesantren sehingga bisa disinergikan dengan aspek-aspek psikologis dan media konseling santri dalam konteks tidah hanya praktik penyembuhan, melainkan aspek penguatan potensi santri.
Mewujudkan bentuk pengembangan diri santri tujuannya untuk mengenal bakat dan minat santri sehingga mampu membentuk optimalisasi potensi individu dan kohesi kelompok santri menjadi dinamis dan fungsional. Selain itu perwujudan pengembangan diri santri akan memperluas jangkauan partisipasi santri secara lebih bervariasi dan mereduksi ketegangan akibat konflik, deviansi perilaku, atau kecenderungan menyimpang lainnya ke pemindahan kompetensi yang diharapkan menekan angka pelanggaran dan menurunkan bentuk strategi menghukum dan memberikan wadah bagi penyelesaian pelanggaran dan sanksi secara konsultatif-interaktif (Suhartini, 2005) dalam berbagai bentuk apresiasi identitas kolektif seperti menulis, seni-karikatur, olahraga, kesusastraan, bernyanyi, latihan khithabah (pidato), berdiskusi, mengorganisasi kelompok, bermusik dan sosiodrama (Karyadi, 2008) yang bisa dijadikan sebagai tujuan antara (ahdaf)
Pengembangan diri ini bisa melalui kegiatan secara individual dan kelompok. Ia akan memperkuat simbolisasi dan eksplisitasi potensi sehingga identitas diri dan kolektif mampu menjadi makna baru bagi santri sehingga egosentris santri tumbuh dalam kerangka pemaknaan identitas sebaya yang produktif dan partisipatif yang menempatkan pengembangan diri itu sebagai bagian dari relasi dalam kelompok dan untuk memperkuat pencapaian interdependesi dan tujuan kelompok sebaya (santri). Bahkan kohesi ini bisa menimbulkan situasi humor, keakraban, relaks, dan bisa menurunkan efek stress karena proses dinamika santri diakui difungsikan dan sekaligus dirayakan. Perlu ditegaskan bahwa pengembangan diri ini tidak ditujukan untuk kompetisi tetapi lebih pada penguatan makna identitas yang bersifat eksplisit dan ditujukan untuk memperkuat interdependensi tugas santri melalui ruh hubungan sebaya.
Domain ubudiyah. Peserta merumuskan dan mencoba menimbang ulang dimensi ubudiyah terkait dengan kebutuhan psikologis. Ubudiyah merupakan bagian yang klasik dan normatif akan tetapi peserta ingin mendapatkan gambaran krusial sumber-sumber otentik mengapa ibadah selalu berdimensi ganda, di satu sisi adalah buah kewajiban bagi semua tetapi di lain sisi sering menjadi persoalan. Mereka memberikan kerangka konseptual kalau ibadah tidak saja dipersajikan kepada sang Khalik, tetapi perlu dimodifikasi aspek terluarnya sehingga bisa disertakan fungsi-fungsinya untuk mencapai ketenangan hati, kebersamaan dan melatih kedisiplinan. Aspek manfaat yang tercakup pada domain ibadah untuk implementasi daya dukung konseling dapat bertujuan sebagai ;
1. Sarana menjalin ukhuwah (kapasitas perjumpaan hati, seperti simpati, saling mengenal atau sebagai buah keakraban dan harmonisasi)
2. Jika konsisten dan terjaga kontinuitasnya akan memupuk semangat kebersamaan lebih lengkap antarsesama pengurus dan santri sebagai buah keterbukaan santri-pengurus.
3. Menumbuhkan sikap empati sebagai pendukung proses konseling untuk mengurangi jarak komunikasi dan dalam rangka mencapai efektifitas penyampaian pesan perubahan.
Semangat tersebut adalah cerminan dari tumbuhnya nilai dan kualitas ubudiyah yang mewadahi pengembangan aspek spiritualitas sufistik dengan semangat khauf (takut), syauq (rindu), uns (tentram bersama-Nya), raja’ (tentram bersamanya) (A'la, Anisah, Azis, & Muhaimin, 2007) sebagai penempa kematangan ego santri.
Domain sumber nilai. Peserta pelatihan menerjemahkan nilai sebagai sesuatu yang dijadikan patokan (tatacara) dalam kehidupan bermasyarakat di pesantren Tebuireng". Elaborasi ini lebih dekat pada nilai sebagai standar etik dalam hidup dan menata keteraturan santri yang semestinya diugemi (dipegang teguh). Sumber nilai dapat digunakan sebagai informasi untuk memproses perubahan ke arah yang lebih baik bagi santri sehingga perlu dirumuskan sumber nilai yang bisa dirujuk dan dikembangkan untuk kebutuhan konseling hingga pada membuat profil potensi dan keteladanan santri terhadap implementasi nilai-nilai fungsional.
Nilai yang digunakan sebagai sumber inspirasi meliputi kepribadian, sikap dan pandangan mengenai moralitas, otentisitas hidup seorang figur, cerita tentang pengasuhan dan rasa bijaksana yang dikembangkan oleh figur-figur itu dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah. Selain itu juga bisa dikembangkan melalui pengkajian dari sumber-sumber keagamaan baik melalui al-Quran, ibrah nabawiyah, life-history para kiai dan alumni dan sejumlah khazanah nilai dalam kitab kuning. Sumber nilai itu ditransformasikan melalui dialektika diskursif para santri untuk mensinergikan antara gagasan otentisitas nilai dengan praktik kehidupan seperti bentuk tahqiq (pembuktian) dan tabayyun (klarifikasi) (A'la, Anisah, Azis, & Muhaimin, 2007).
Domain sumber nilai ini dapat dikembangkan dalam teknik pengasuhan atau dikembangkan sebagai pendekatan konseling. Suatu contoh tentang sikap pengasuhan yang mementingkan nilai keterlibatan santri dengan sikap dan pikiran terbuka. Seorang pengurus pondok menyatakan bahwa seorang kiai yang melihat seorang santri yang bermasalah, kiai itu tidak menghukumnya (takzir) tetapi justru mengundang dia dan memberi kepercayaan kepadanya bekerja di dalam rumah (dalem) kiai dan dimintai pertolongan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu. Kiai ini mencoba memberikan kepercayaan dan membangkitkan motivasi santri sehingga ia terlatih bertanggungjawab, merasakan artikulasi kepercayaan, memberikan umpan balik yang positif dari pada menghukum karena sebuah kesalahan. Nilai-nilai lokal ini memberi atmosfir keterlibatan diri santri untuk mengenali bentuk otentisitas hidup melalui, kesederhanaan, kepiawaian, kepribadian, kebermaknaan, keikhlasan, keterlibatan dan partisipasi dalam mengeksplorasi praktik nilai dalam kehidupan. Nilai itu menggambarkan bahwa perbaikan moralitas tidak cukup dihadapi melalui teknik hukuman tetapi perilaku yang baik dan bijaksana perlu ditumbuhkan sikap dan tindakan melatih kepercayaan, pembiasan perilaku/kebiasaan dan penguatan sikap setelah tindakan itu dilakukan atau dibuktikan (ittiba’) (A'la, Anisah, Azis, & Muhaimin, 2007).
Kesimpulan
Domain inilah yang menjadi fundasi implementasi praktik konseling santri. Domain pesantren yang sengaja dirumuskan memberikan ruang bagi berjalannya proses artikulasi mentalitas yang dirajut dari makna dan pengetahuan lokal yang berkohesi dengan serangkaian jejaring sosial komunitas pesantren, budaya dan lanskap historis sehingga pergulatan psikodinamika dalam proses konseling langsung mengambil makna terdalam dari jenius lokal dan kearifan pesantren. Konsep ini diharapkan memberikan karakteristik kepribadian dan perkembangan psikologi santri secara orisinil dan berkonfigurasi membentuk kematangan kolektif yang berdampak bagi kedewasan dan kematangan diri santri secara individual.
Domain pesantren tersebut merupakan sumber terbentuknya pengetahuan tersembunyi sebagai salah satu pengembangan kearifan melalui pendekatan teori implisit dengan memperkuat pemahaman terhadap sumberdaya, nilai, sistem pengasuhan, tradisi, pengalaman dan habitus lokal untuk memediasi berjalannya fungsi transformasi konseling. Agar konseling dalam konteks pesantren mengintegrasikan kapasitas lokal sebagai kesatuan proses yang menempatkan konseli sebagai bagian dari praktik agensi yang memperkuat variasi partisipasi melalui aktifasi komponen kearifan lokal sebagai bagian dari kenyataan mengalami kehidupan untuk bersama-sama menyelesaikan masalah, menggerakkan kompetensi, menolong orang lain, dan mencari hikmah atas tindakan yang dilakukan secara bersama-sama demi tujuan dan kebaikan bersama.
Tulisan ini pernah di muat di jurnal psikoislamika, jurnal psikologi Islam UIN Malang
Daftar Pustaka
Bibliography
A'la, A., Anisah, H., Azis, A., & Muhaimin, A. (2007). Praksis pembelajaran pesantren. Yogyakarta: Yayasan Selasih dan Forum Pesantren.
Aldert, M. (2000). Antecedents and effects of wisdom in old age, A longitudinal perspective on aging well. Research on aging, Vol. 22 No. 4 , 360-39.
Baltes, P.B. & Kunzmann, 2003. Wisdom. The Psychologist. 16 (23), 131-133.
Bluck, S; Gluck, S. (2005). From the inside out, People's implicit theories of wisdom. In R. Sternberg, & J. Jordan (Eds.), A handbook of wisdom, Psychological perspectives (pp. 84-109). New York: Cambridge University Press.
Brabender, V.A; Fallon, A.E; Smolar, A.I. (2004). Essentials of group therapy. New Jersey: John Wiley and Sons.
Bronfenbrenner, U. (2005). Making human beings human bioecological perspectives on human development. California: Sage Publication.
Brown, R. (2000). Group processes dynamics within and between groups (Second edition ed.). MA-USA: Blcakwell Publishing.
Chen, X., French, D., & Schnieder, B. (2006). Culture and peer relationships. In X. Chen, D. French, & B. Schnieder, Peer relationships in cultural context (pp. 3-20). New York: Cambridge University Press.
Chirzin, M. H. (2007). Pesantren selalu tumbuh dan berkembang. In N. M.D, A. A'la, H. Anisah, A. Azis, & A. Muhaimin, Praksis pembelajaran pesantren (pp. vii-x). Yogyakarta: Forum Pesantren dan Yayasan Selasih.
Coghlan, D., & Brannick, T. (2003). Kurt Lewin, The praktical thorist for the 21st century. Irish journal of management , 24, 2, 31-37.
Dale, O., Smith, R., Norlin, J., & Chess, W. (2006). Human behavior and the social environment, social sistems theory (Fifth ed.). Boston: Pearson.
Halwan, M., & Hidayat, Y. (Eds.). (2007). Sang pejuang sejati. KH. Muhammad Yusuf Hasyim di mata sahabat dan santri. Jombang: Pustaka Ikapete.
Harre, R. (1997). Social life as rule-governed patterns of joint action. In C. &. McGarty, The massage of social psychology, Perspective on mind in society (pp. 129-145). Massachusetts : Blackwell Publishers.
Karyadi, F. (2008). Budaya menulis di pesantren tebu ireng. Tebuireng media pendidikan dan keagamaan Edisi 3/Tahun II/Januari-Maret 2008 , 42-44.
Kramer, D. (2000). Wisdom as a classical source of human strength : conceptualization and empirical inquiry. Journal of social and clinical psychology, 19, 1 , 83-101.
Kunzmann, U., & Baltes, P. B. (2003). Wisdom-related knowledge : Affective, motivational, and interpersonal correlates. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 1104-1119
Pasupathi, M; Staudinger, U.M & Baltes, P.B. (2001). Seeds of wisdom: Adolescents knowledge and judgement about difficult life problems. Developmental psychology, Vol. 37. No. 3 , 351-361.
Qomar, M. (2002). Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Ratner, C. (n.d.). Three approaches to cultural psychology : A critique. Retrieved November 27, 2006, from http://www.humboldt1. com/~cr2/three.htm
Ray, K. (2002.). It Begins with the people : Community development and indigenous wisdom. Adult Learning , 12/13, 14-17.
Richard, M. (2005). Foreword Urie Bronfenbrenner : Career contributions of the consummate developmental scientist. In U. Bronfenbrenner, Making human beings human bioecological perspectives on human development (pp. ix-xxix). California: Sage Publications.
Rudkin, J. (2003). Community psychology guiding principles and orienting concepts. New Jersey: Prentice Hall.
Staudinger, U.M & Baltes, P.B. (1996 Vol 71. No. 4). Interactive minds : A facilitative setting for wisdom-related performance. Journal of Personality and social psychology , 746-762.
Steenbrink, K. (1986). Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Sternberg, R. (2001). Why schools should teach for wisdom ; The balance theory of wisdom in educational settings. Educational psychologyst 16 (4) , 227-247.
Suhartini. (2005). Manajemen strategi dalam pengembangan pondok pesantren/madrasah. In A. S. Halim, Manajemen pesantren (pp. 115-126). Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Umbaran. (2007). Muhammad Nur Kholis Setiawan : Santri harus mandiri. Tebuireng Media Pendidikan dan Keagamaan , Edisi II Tahun I Oktober-Desember, 46-51.
Yahya, A. (2007). Sama tapi Beda Potret Keluarga Besar K.H. Wahid Hasyim. Jombang: Yayasan K.H. Hasyim Asy'ari.
Yeh, C., Hunter, C., Madan-Bahel, A., Chiang, L., & Arora, A. (2004). Indigenous and interdependent perspectives of healing: Implications for counseling and research. Journal of Counseling and Development , 82, 4, 410-419.
Zaini, N. C. (2001). Agenda kerja kultural pesantren. In A. Wahid, & N. Hidayat (Eds.), Perspektif baru pesantren dan pengembangan masyarakat (pp. 18-28). Surabaya: Yayasan Tri Buna Bhakti.
No comments:
Post a Comment