Wednesday, January 14, 2009

Al-Quran dan Psikologi Naratif

Mendekati Cerita Al-Quran dengan Psikologi Naratif


AL-QUR'AN mengandung banyak sekali cerita. Cerita yang tergambar didalamnya cukup bervariasi dan mengambil konteks beraneka ragam. Sebagian mengisahkan tentang peristiwa-peristiwa historis berkaitan dengan kenabian sebelum Muhammad, cerita yang memberikan gambaran sebuah pewahyuan, kemu’jizatan Muhammad dan nabi-nabi sebelumnya, cerita kaum terdahulu, cerita tentang surga dan neraka, kasus unik seperti pemuda ashabul kahfi, cerita ratu Bilqis, Burung Ababil, perang gajah, cerita tentang Adam dan Hawa, peristiwa pembunuhan dan sebagainya. Kesemuanya dapat dipandang sebagai satu bangunan tersendiri dan menjadi corak dari sekian penuturan Kitab Suci.

Cerita di dalam Al-Qur'an mengambil bentuk detail, yakni ada bukti otentik dan historis yang bisa ditemukan jika dilakukan pelacakan data-data antropologis, betul terjadi dan menjadi penuturan sejarah Islam. Ada pula yang mengambil bentuk metafora, yaitu berisi kisah-kisah dan cerita yang bersifat di luar konteks realitas atau peristiwa sesungguhnya. Cerita kategori terakhir adalah model cerita yang dituturkan Al-Qur'an berisi perumpamaan dan gambaran suatu hal yang dimasukkan dalam wilayah ”fiksi”. Yakni, jangkauan historisnya tidak ada dan secara kognitif memiliki alur menggiring seseorang pada sebuah panorama dan ilustrasi untuk tujuan-tujuan tertentu sehingga penggambaran itu akan memberikan keyakinan seseorang akan sebuah tujuan, seperti perubahan sikap, perilaku, tentang keimanan, kenabian, tentang kehidupan sebelum kelahiran atau setelah kematian.

Cerita dalam Al-Qur'an dengan demikian bisa bermakna implisit dan juga eksplisit. Yang implisit terkadang tidak terjangkau oleh rasionalitas pemahaman atau hanya mampu ditangkap secara spiritual tanpa mampu dieksplitasi menjadi pengalaman baru dalam memahami alur cerita Al-Qur'an. Bahkan epistema cerita dalam Al-Qur'an dibiarkan karena bersifat eskatologis dan hanya Allah yang tahu. Ia diterima secara taken for granted sebagai, begitulah Allah mewahyukan Al-Qur'an . Rangkaian narasi ceritanya diabaikan sebagai sebentuk doktrin imani dan religiusitas yang tidak perlu dipertanyakan atau dipahami lebih lanjut bagaimana dibalik cerita yang terungkap dalam Al-Qur'an. Jika Al-Qur'an diletakkan dalam pemahaman ’linguistik-linguistik korpus’ (corpus linguistics) maka konstruksi kalimat dan rangkaian narasi yang dibangun dalam Al-Qur'an memiliki banyak cakupan makna dan hasrat capaian terhadap sasaran komunikan. Linguistik korpus biasanya mengutamakan makna. Ia secara verbal terkomunikasi di antara berbagai anggota komunitas wacana. Linguistik korpus memposisikan bahasa yang harus dipahami dalam perspektif sosial. Jika demikian konstalasi hermeneutika Al-Qur'an memiliki kekuatan transhumanism, melintasi ranah multikognitif dalam setiap jenjang logika manusia yang berdialektika membentuk sinergi komunikasi baik melalui alam sadar komunikan atau alam taksadarnya.

Urgensi Mendekati Psikologi Naratif pada Cerita-cerita dalam al-Qur'an

SEBAGAI praktik komunikasi, kehadiran al-Qur'an dan begitu juga isi cerita dan makna yang termaktub didalamnya merupakan praktif diskursif yang saling bernegosiasi, melakukan daya tawar, membujuk, merayu, bahkan mentransformasi kekuatan energi kognitif menjadi pola-pola terapi yang menyentuh hubungan psikososial antara wahyu dengan masyarakat lokal Arab. Disitulah kandungan cerita akhirnya mampu merubah kemapanan pengetahuan dan sistem kognitif yang dipertahankan oleh masyarakat Arab sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu Al-Qur'an sebagai linguistik korpus jelas mengandung watak, bahasa, dan tatacara yang bersentuhan dengan aspek-aspek psikososial sehingga kehadiran Al-Qur'an akan nampak tidak saja formal atau menjadi wahyu yang kaku, dogmatis, akan tetapi dengan hadirnya sebuah cerita maka wahyu menjadi bervariasi, estetik, artistik, ramah budaya, dan persuasif. Ia tidak saja menjelaskan peristiwa aktual yang terjadi pada waktu itu, akan tetapi juga tentang ”hikmah dibalik peristiwa semacam itu dan efek psikologisnya”. Wadud menyatakan bahwa kebanyakan umat tidak mendapati suatu petunjuk pasti untuk menentukan apakah peristiwa yang dituturkan Al-Qur'an merupakan produksi bahwa peristiwa-peristiwa itu memang historis, atau merupakan narasi yang bersifat metaforis, harfiah atau kiasan.

Memahami cerita dalam Al-Qur'an tidak saja mengambil cerita sebagai sebuah narasi yang begitu saja diterima sebagai doktrin ilahi yang kosong dari usaha memahami realitas ketika konstruksi psikososial cerita itu terhimpun (diwahyukan). Sebuah cerita di dalam Al-Qur'an menunjukkan berbagai model dan watak yang cukup beragam. Hal ini membuktikan kalau wahyu diturunkan memperhatikan sensitifitas psikologis agar supaya nilai-nilai yang dibawa sebagai pesan rahmah li al-alamien mampu membangkitkan kesadaran baru dan melekat menjadi fundasi baru bagi pembangunan mental masyarakat Arab. Terbukti kalau Al-Qur'an mampu merasuki kesadaran baru masyarakat Arab yang mampu dipelihara dalam bentuk hafalan-hafalan dan minus tulisan. Hal ini menunjukkan ada formulasi wahyu yang menyesuaikan dengan fungsi-fungsi otak melalui model dan jenis wahyu yang terurai dalam berbagai bentuk sehingga mampu dicerap secara longterm memory. Melaui cerita maka wahyu mudah diserap dan direkam dalam otak masyarakat Arab. Oleh karena itu cerita dalam Al-Qur'an akan dilihat sebagai bagian dari metode sosio-kognitif yang mengandung unsur-unsur mempermudah pemahaman, memberikan kesan mendalam sehingga pesan-pesannya mudah diingat, atau menstimulasi revolusi pemahaman terhadap warisan tradisi yang tidak tepat. Dengan menggunakan sarana cerita, kesan absolut tradisi Arab menjadi pudar dan menyusupkan dimensi baru dalam pengertian baru tentang kebenaran.

Cerita dalam Al-Qur'an oleh karenanya tidak dipahami dalam domain deskripsi skripturalis dan dibiarkan membentuk ujaran yang ahistoris. Di sini dimaksudkan bahwa sebuah cerita al-Qur'an mengandung dimensi obyektif kesadaran masyarakat setempat. Untuk itu asumsinya dalah bahwa, cerita Al-Qur'an memiliki korelasi dengan sistem kognisi sosial yang berkembang dan menjadi akar pemahaman bagi masyarakat Arab waktu itu. Dengan begitu memahami cerita berarti memahami tujuan pencapaian sebuah cerita yang turun dalam bentuk wahyu dan lokus kognitif, seperti memprediksi konteks turunnya ayat melalui pembacaan asbab al-nuzul untuk memetakan struktur kognitif pendengarnya dan relasi diskursif yang disusun melalui makna dibalik ayat sehingga cerita sebagai proses komunikasi dapat dianalisis menggunakan siklus dialektika antara tuhan, wahyu, dan setting psikososial yang berkesinambungan dengan tatanan psikologis pendengarnya dan mengapa cerita berbunyi demikian ?

Dalam rangka menangkap wahyu tuhan yang sifatnya universal, maka orientasi pemahaman cerita dengan demikian lebih baik menghindari prosesi terjadi formalisasi konteks (formalizing contexts) terhadap keberlakuan ayat sehingga pemahamannya menjadi terbatas pada konteks tertentu dan tidak memberikan cakupan lintas historis untuk menjawab perkembangan kasus baru dalam menafsirkan cerita dalam Al-Qur'an . Kesalahpahaman penafsiran dalam formalisasi konteks biasanya akan terjebak pada usaha membuat hukum berdasarkan sebab khusus dan diberlakukan secara keseluruhan hukum dalam Al-Qur'an sehingga hukum itu sendiri justru didominasi oleh asbab al-nuzulnya, atau kekhususan itu diumumkan menjadi dominasi hukum, sementara prinsip universalistik wahyu hilang digeser oleh kekhusuan kasus di dalam asbab al-nuzul.

Sinyalemen ini sepadan dengan review Nakassis untuk buku Chris Gauker yang berjudul Words without Meaning. Nakassis mengkritik kalau Gauker gagal merumuskan hipotesis bahwa makna merupakan rekomposisi konstituen terhadap makna dalam menjelaskan sebuah komunikasi sehingga proposisi kalimat yang membentuk sebuah makna didasari bahwa, makna itu merupakan tindak penyusunan kembali kalimat melalui pemahaman audiens. Yang dikritik adalah bukanlah pikiran yang mendahului bahasa kemudian bahasa membentuk susunan kalimat, namun pikiran independen dari bahasa.

Menurut Gauker, dalam setiap wicara komunikasi, pendengar bertindak sebagai rekonstruktor pikiran pembicara sehingga pemaknaan terbentuk. Yang paling mungkin terjadi memang begitu, karena didasari bahwa bahasa terdiri dari proposisi kalimat yang dirajut kembali berdasarkan makna konstituen. Ketika Gauker menyatakan demikian, bagi Nakassis, Gauker telah mengambil satu hipotesis yang lebih mengamankan formalisme konteks sebagai basis ontologisnya dengan memperkuat bahwa rekonstruksi audienlah yang dominan sebagai basis pemahaman. Nakassis melihat kalau Gauker kemudian terjebak ke dalam ontologi obyektifisme di konteks audiens yang memutuskan disitulah kebenaran makna menjadi satu kaidah di dalam menjelaskan proses komunikasi. Nakassis menganggap kerja Gauker terlalu memaksa dan ambisius karena nilai kebenarannya terletak dikonteksnya yang dianggap sebagai pola obyektif pemahaman dan pemaknaan komunikasi.

Kritik Nakassis akan dimasukkan sebagai bagian strategi penafsiran yang kebanyakan didominasi oleh konteks obyektif azbab-al-Nuzul yang dibakukan sebagai alasan mengapa sebuah wahyu turun dan disampaikan kepada masyarakat Arab sebagai laboratorium sejarah Islam. Cara pendekatan ini hanya berkutat pada wilayah yang disebut Nakassis persis apa yang dikritiknya terhadap pendekatan komunikasi Gauker, bahwa obyektifikasi sebuah pemaknaan dan rekonstruksi pemahaman teks pesan selalu terletak pada audiens. Artinya nilai korelasi yang membentuk dialektika pemahaman hilang sebagai proses menangkap kembali apa yang benar dalam sebuah proses komunikasi. Padahal strategi dialektis komunikasi menggambarkan adanya kesinambungan pembentukan makna antara komunikator dan komunikan. Dalam sistem diskursif, komunikator sangat berkuasa dan memiliki interfensi pengetahuan dalam menentukan kinerja interpretasi komunikan (audiens). Jika kinerja ini mendominasi interpretasi al-Qur'an maka mistifikasi asbab-al-Nuzul akan membunuh situasi dialektis dan hilangnya interfensi Tuhan dalam memengaruhi kognisi sosial masyarakat Arab. Terlebih sebuah gugus panjang yang mengiringi sebuah narasi al-Qur'an yang berbentuk cerita. Memahami cerita sebagai cerita akan memangkas rasionalitas diskursif dibalik kekuatan cerita. Padahal kalau dipahami secara psikososial, sebuah cerita memiliki situasi dialektif antara penutur dan pendengar. Cerita mampu memengaruhi audiens, menggerakkan sistem kognisi, menurunkan kesadaran, menggerakkan kesadaran dan yang paling mentradisi cerita mampu melahirkan produk mitos-mitos dalam kebudayaan manusia.

Menggali cerita melalui pendekatan linguistik korpus akan diperoleh makna-makna diskursif tentang kinerja cara penuturan wahyu sehingga konteks cerita bisa diterjemahkan sebagai sistem dialektis yang berkesinambungan dengan elemen dan kebutuhan psikososial sasaran komunikasi.

Pada tahap ini mempelajari cerita al-Qur'an akan lebih melampaui deskripsi tekstual penuturan wahyu dan akan mengungkap aspek-aspek tersembunyi yang belum terpikirkan dalam menafsirkan sebagian isi Al Quran. Penerapan klasifikasi makna diskursif dalam menyelidiki cerita Al-Qur'an menjadi krusial untuk tujuan mengungkap kandungan ayat sehingga diperoleh muatan, nuansa dan konstruksi makna yang tersembunyi dalam teks komunikasi yang terjadi dalam Al-Qur'an . Oleh karena itu usaha penyelidikan terhadap teks-teks yang berisi cerita Al-Qur'an akan berarti mendudukkan teks Al-Qur'an sebagai teks komunikasi yang terjadi melalui jejaring sender, teks (pesan) dan penerima (komunikan) yang masing-masing merepresentasikan dialektika psikososial yang saling merepresentasikan satu dengan yang lainnya.

Melalui pendekatan diskursif dan strategi dialektis dengan melihat karakter teks al-Qur'an sebagai konstruksi wacana maka maksud tersembunyi yang terkandung di dalam al-Qur'an dan seting historis konteks pewahyuan diharapkan mampu melahirkan satu metode komunikasi yang mengungkap unsur-unsur tersembunyi kekuatan teks Al-Qur'an dalam mempengaruhi, meyakinkan, membujuk, menolak, meneriman atau bahkan berkonfrontasi dengan sasaran komunikan. Karena itu cerita al-Qur'an lebih didudukkan bukan sebagai formalisasi konteks atau sebentuk doktrin ontologis yang obyektif menggambarkan normatifitas wahyu, namun cerita itu diletakkan sebagai bentuk strategi komunikasi dan dengan demikian sebatas sebagai mediasi pesan yang digunakan laksana ”iklan” yang mampu merubah sasaran pendengar untuk taat dan secara tidak sadar mengikuti arus gagasan pengirimnya. ”Tuhan sebagai komunikator mengkonstruk sebuah wacana untuk menyampaikan sebuah pesan tertentu dengan melihat konteks yang meliputi proses terjadinya wacana tersebut” .

Dalam kinerja psikologi sosial cerita merangkai kekuatan yang melahir azas dan sinergi keterpautan antara isi cerita dengan kondisi psikologis penerima pesan. Orang yang menyampaikan pesan melalui cerita akan berbeda dengan pesan yang disampaikan langsung melalui kata-kata konvensional. Cerita memiliki kekuatan menggerakkan otak dan kesadaran audien. Contoh kecil adalah manakala anak kecil dibacakan sebuah cerita sebelum tidur, maka kedudukan cerita tidak berdiri sendiri hanya sebagai sebuah cerita. Membaca cerita untuk anak kecil menjelang tidur berarti merangkai dimensi kesadaran anak-anak agar terkondisi dan terbawa ke alam fiksi dan kesadaran terhadap realitas mengendur, saraf otak menjadi rileks dan bagi sebagian anak ini akan mempermudah melalaikan realitas kesadaran anak untuk segera masuk ke dunia mimpi. Cerita menjadi salah satu teknik menggeser kesadaran nyata ke suatu kondisi netral dan memudahkan anak untuk segera tertidur. Cerita menjadi kekuatan hipnostik. Ia bukan merupakan rangkaian narasi yang menggambarkan fiksi alur peristiwa dan kejadian, komposisinya menyusup di alam bawah sadar manusia dan dapat menciptakan induksi dan sugesti terhadap pendengarnya sehingga cerita menjadi cara efektif merubah komunikan pada kondisi baru, bahkan melalaikan sementara waktu realitas sadar audiens (komunikan).

Studi tentang klasifikasi makna diskursif cerita al-Qur'an dalam dimensi psikososial berusaha menangkap horison dialektis dan kekuatan kata-kata dalam al-Qur'an yang merangkai dalam sebuah narasi tertentu sehingga tidak saja makna yang didapat tetapi bagaimana cerita itu mengakrabi sistem kognisi masyarakat sasaran wahyu sehingga ia menjadi sebagian metode yang mensugesti suatu perubahan tertentu yang ingin dicapai. Dengan cerita itu kemudian nilai-nilai yang disampaikan tidak ditolak atau melalui cerita peneguhan-peneguhan menjadi daya tawar dan cerita menjadi media konsolidasi atau negosiasi yang ramah budaya. Oleh karena itu, sedapat mungkin posisi cerita dalam al-Qur'an dapat ditelusuri melalui narasi, konteks kognisi sosial masyarakat Arab disaat wahyu itu turun dalam bentuk cerita.

Studi ini acapkali diabaikan dan belum banyak dipelajari mengapa sebuah wahyu turun dalam bentuk cerita. Jika pendekatan seperti ini diambil niscaya, secara psikologis akan didapatkan sebuah konteks baru bagaimana teknik-teknik psikososial dipahami dalam sistem pewahyuan al-Qur'an sehingga cerita dijadikan salahsatu teknik penyampaian pesan keimanan, keislaman dan keihsanan. Kajian ini akan memberikan satu dampak baru bagaimana sistem cerita merangkai dialektika kognitif dalam menerjemahkan pesan-pesan keagamaan sehingga nilai itu menjadi fleksibel dan tidak memaksa. Eksplitasi yang akan dilakukan dengan melihat relasi diskursif cerita dalam Al-Qur'an berarti mencoba menggali teknik-teknik psikososial yang dimainkan Tuhan dalam konteks tertentu terkait cerita itu diturunkan atau menjadi satu konteks tertentu penyampaian sebuah pesan. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam pengembangan sistem induksi Qurani sebagai bahan temuan yang dapat digunakan sebagai teknik perlakuan yang cukup bermanfaat dalam pengayaan psikoterapi sehingga situasi dramatis, imajiner dan emosional sebuah cerita menjadi senjata tersendiri untuk sebuah perubahan perilaku yang dimaksud dan terkandung dalam isi ayat-ayat al-Qur'an untuk mentransformasikan nilai-nilai, moralitas, keimanan, religiusitas tertentu bagi sasaran wahyu bahkan reproduksi mitos yang tidak terlacak secara historis bahwa cerita sekedar sebuah strategi mitologisasi an sich. Melalui cerita dalam Al-Qur'an, transformasi nilai menjadi ringan, perlawanan menjadi tidak langsung dan lebih estetis sehingga implikasi psikososial cerita al-Qur'an mampu ditangkap corak, model dan logika kontinuitasnya dalam mempengaruhi audiens.

No comments: