Ketololan, Kecerdasan dan Kearifan
Sternberg (2004), seorang pakar psikologi kognitif menempatkan kearifan sebagai komponen penting yang harus diajarkan di sekolah karena pengalaman dunia yang bertumpu pada IQ tidak memberikan garansi munculnya hubungan antar-negara yang saling menopang kedamaian. Sebaliknya, pengalaman itu telah menyertai perkembangan global dengan keragaman konflik antarnegara dan peperangan tidak kunjung usai dari negara yang disebut menurut kapasitas kecerdasan lebih maju dari negara-negara dunia ketiga.
Kerunyaman perkembangan global itulah Sternberg (2001) mengajukan gagasan ihwal perlu kiranya memikir ulang sinergi sekolah dengan unsur kearifan. Ia menyatakan kalau ada semacam kesalahan dalam memprediksikan ketrampilan kognitif dengan melihat (mengukur) bahwa sumbangan IQ dari setiap analisis peristiwa global tidak cukup mampu menjelaskan konflik global yang hari ini meluas.
Strenberg melihat secara paradoksal. Kalau di U.S dan negara lain IQ diyakini meningkat secara kasar 9 poin pergenerasi dalam 30 tahun, namun demikian apakah kenaikan itu betul menjawab hubungan antar-negara di dunia yang memiliki batas tipis dan skala yang semakin meluasnya konflik global ? Bukanlah sebuah keniscayaan jikalau peningkat IQ akan menjamin meningkatnya hubungan antar negara yang satu dengan yang lainnya secara lebih bijaksana.
Bisalah diterima kalau intelegensi cukup penting untuk dicapai di sekolah dan demi pencapaian kesuksesan hidup, namun hal itu tidaklah cukup. Persoalannya jika kita bercermin pada peristiwa global hari ini, saat kekerasan global (perang, konflik, chaos, anarkhisme dan kekerasan sebagai bagian integral perayaan keseharian), lantas Sternberg mencoba mengajak berpikir ulang bagaimana orang cerdas tanpa kearifan ?
Ketololan
Jika kecerdasan menjadi ukuran bagi keadaban manusia yang paling akurat dan menggeser ukuran lain yang lebih rendah dari nilai-nilai negatif masyarakat kelas rendahan ”yang kurang cerdas” dan suka berbuat kesalahan maka bilakah manusia yang pandai juga rentan secara khusus berbuat kesalahan dalam pemikiran mereka selayaknya masyarakat yang kurang cerdas yang dipandang menurut orang-orang cerdas lebih suka melakukan kebohongan karena ketidakcerdasannya (Sternberg, 2005). Yang tidak cerdas menyingkir padahal tidak kalah yang cerdas pun menjadi 1) egosentris-- dunia yang luas ini berputar di sekitar dirinya, 2) mahatahu (omniscience)— berpikir bahwa mereka tahu segalanya, 3) mahakuasa (omnipotence) – berpikir bahwa mereka bisa bertindak apapun sesuai keinginannya, 4) invulnerability–berpikir bahwa mereka bisa mendapatkan apapun dengan segala cara (Sternberg, 2004). Parameter cerdas seolah sebagai parodi ketidaksadaran orientasi dan sikap hidup dalam memberikan atribusi terhadap siapa yang salah atau sebenarnya yang lebih tolol dari orang cerdas, semisal masyarakat yang dianggap tidak cerdas.
Pada tataran lebih spesifik, jika merenungkan carut-marutnya keadaban hari ini, menyangkut persoalan pendidikan, tantangan pekerjaan dan masa depan murid dalam mengarungi kehidupan maka memasukkan studi kearifan menjadi bagian integral kurikulum pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Menurut Halpern (2001) pendidikan tidak hanya berorientasi pada pekerjaan yang bersinergi dengan kompetensi inteligensi, ia juga mengatur di luar dunia kerja. Disinilah kearifan itu diperlukan karena pendidikan membutuhkan cakupan orientasi kebutuhan masa depan, baik untuk ketrampilan kerja atau hidup. Artinya, pengajaran juga perlu mengagendakan berfikir kritis tentang kearifan sebagai sebuah nilai dan jika kita tidak tahu maka kita tidak akan mengajarkan anak bagaimana menjadi arif dalam hidupnya. Kasus kebocoran Ujian Nasional yang terjadi di berbagai wilayah dengan pelaku pendidik, kepala sekolah, dan dinas pendidikan setempat di Medan yang mengguncang normatifitas pendidikan (Kompas, 17/4/2007) membuktikan sekolah tidak lagi perduli pada kejujuran dan kearifan sebagai basis tujuan pendidikan. Justru dari guru, sikap arif pudar demi membela nama baik, reputasi dan harga diri yang senjang menghadapi kenyataan untuk takut gagal. Semua cara (omnipotence) kemudian dipilih mengabaikan dimensi substansial dalam pencapaian pendidikan yang lebih manusiawi.
Semestinya secara lebih khusus kita harus bertanya ulang bahwa pentingkah untuk merumuskan “becoming wise” sebagai tujuan dan praktik dalam pendidikan ? Di Indonesia, kearifan semacam apa yang dipandang bisa membelajari siswa untuk becoming wise. Apakah melalui pendidikan agama, budi pekerti, melalui kewarganegaraan atau justru kearifan tidak begitu dianggap sebagai parameter yang signifikan untuk mencapai taraf kemajuan sebuah bangsa, lebih spesifik sebagai bagian intergral prototipe psikologis membangsa. Bisakah prototipe membangsa dicapai dengan kapasitas IQ tanpa dimensi kearifan melalui kaca mata standar nilai kelulusan 5 misalkan.
Membelajari keseimbangan hidup
Pengembangan wawasan kearifan di sekolah dapat menjadi bekal kehidupan bagi anak-anak untuk tahu dan bisa beradaptasi dengan kehidupan. Siswa juga harus tahu bahwa ada fakta yang riil akan dihadapi tidak sekedar mengandalkan kemampuan penalaran akademis. Kompetensi akademik melalui penalaran logis mungkin bisa diandalkan untuk mencapai target prestasi di sekolah akan tetapi cara bagaimana hidup tidak serta merta mampu dihadapi dengan cara-cara berpikir logis, sistematis dan epistemik.
Wawasan kearifan adalah modal sosial dan proses membelajari trust anak didik untuk respon dan bertanggungjawab dalam kehidupan. Menurut Fukuyama dalam buku Guncangan Besar Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru (Gramedia, 2005) mengatakan bahwa modal sosial melemah karena kepercayaan orang terhadap orang lain surut disebabkan oleh menguatnya orientasi individu sehingga kontrol sosialpun melemah. Dampaknya adalah kejahatan meningkat, kepedulian terhadap yang lain rendah dan kehidupan bersama tidak lagi menjadi tujuan komunitas.
Adapun isi wawasan kearifan menurut Sternberg dapat dijabarkan berdasarkan teori keseimbangan (balance theory) yaitu kapasitas seseorang bagaimana ia dengan nilai-nilai yang tumbuh oleh kesepahaman kontrak sosial dapat membelajari setiap pribadi dalam mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama dapat dicapai kalau seseorang dapat menyeimbangkan antara 1) intrapersonal yang tercakup didalamnya keinginan untuk memperoleh popularitas, memperoleh uang, belajar lebih banyak, meningkatkan kesejahteraan spiritual, meningkatkan kekuatan diri, 2) aspek interpersonal yaitu bagaimana mendapatkan keadilan yang sama dan lebih mengutamakan orang lain daripada diri sendiri dan 3) ekstrapersonal, mencakup misalnya bagaimana sumbangan seseorang untuk peduli pada kesejahteraan sekolah, menolong masyarakat, membentuk dan mendorong kesejahteraan negaranya, menjadi pelayan Tuhan dan sebagainya.
Sinergi sekolah adalah membuka crakawala melalui simulasi nilai-nilai kehidupan agar lebih sensitifitas untuk bisa knowing how, yaitu mengetahui bagaimana menghadapi kegagalan, menumbuhkan empati, mengerti perasaan yang lain, kemauan berbagi, pelatihan memformulasi masalah, cara mengambil keputusan yang elegan atau adil dan sebagainya. Pendidikan kearifan merupakan modal sosial yang dibelajari untuk menyeimbangkan kehidupan. Nilai-nilainya tidak semata patuh pada otoritas dominan tetapi kearifan akan menjembatani nilai itu diukur dari seberapa besar ia menopang pencapaian tujuan bersama tanpa perasaan tersingkir dari masing-masing individu.
No comments:
Post a Comment