Saturday, February 28, 2009

Menghargai Masa Lalu

Sejarah bukan Souvenir

“Sejarah itu sederhana. Anda tahu apa yang dinamakan sejarah? Apa yang telah terjadi, itulah sejarah” (Rush Limbaugh).
***


Sejarah akan selalu hidup dan memberikan makna ketika sejarah itu dibangun dalam fundasi naratif yang terbuka, otentik dan menjadi pembelajaran dari sebuah proses kehidupan. Sejarah menjadi berarti ketika temuan masa lalu direproduksi sebagai kesatuan pandangan tentang yang silam, masa kini dan masa depan.



Sejarah adalah soal otentisitas identitas. Semakin dikenali ia akan memberikan keluasan cara bagaimana kehidupan dibentuk dan direkonstruksi agar kehidupan kini lebih baik. Agar masa lalu bisa membentuk masa depan. Masa lalu ditempatkan sebagai basis spiritualitas mengada manusia. Jika itu sebuah bangsa, masa lalu adalah orisinalitas. Identitas yang genuin mengatribut sebagai filosofi bagi dasar terbentuknya entitas bangsa berikut klaim tentang asal mula sebuah bangsa mengada.


Dan ketika tanda-tanda masa lalu itu rusak atau dirusak, apakah setiap dari kita merasa terlukai. Atau disikapi dengan mental personal yang parsial. Begitulah masa lalu. Punah dan pudar perlahan digerus siklus perubahan sosial politik dan kebudayaan.


Majapahit kini perlahan-lahan rusak dan dirusak. Lepas dari kelalaian kita sebagai bangsa yang mewarisi kejayaan Majapahit atau keengganan kita untuk menjaga tentang masa lalu (sejarah) karena anggapan bahwa sejarah tidak bisa menghidupi artikulasi kedisinian kita, niscaya empati historis bangsa ini tidak sanggup menggayut emosi atas warisan yang silam.
Masa lalu kehilangan daya tarik ketika dijadikan praksis kehidupan karena masa lalu identik dengan primitif, ketinggalan, klasik dan rajutan emosi regresif jauh dari kemodernan. Jadi apa artinya sejarah bagi orang modern dan sebuah bangsa yang telah menjadi modern yang mengagungkan kedisinian.



Entitas kedisinian mungkin saya anggap lebih sebagai sak-wasangka dan ketergesaan untuk mengambil kesimpulan terhadap polemik dan terjadinya sejumlah kerusakan (permanen) pada situs peninggalan Majapahit (Kompas, 8/01/2009). Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIN) di Trowulan Mojokerto telah menjarah masa lalu. Saya berharap PIM bukan buah dari potret kedisinian yang mengabsolut.


Ayu Utami (2008) dalam rajutan novel Bilangan Fu menggambarkan bagaimana masa lalu disingkirkan dan dilokalisasi dalam batas-batas mitos dan takhayul. Ia hanya bisa dihidupi oleh orang dengan mentalitas tradisional, primitif, di kehidupan desa terpencil yang jauh dari nalar modernitas. Nalar modernitas kerap menempatkan masa lalu menjadi sovenir tuorisme untuk meningkatkan pendapatan dan perdagangan benda-benda kuno, representasi eksistensi kekunoan sebagai bentuk pertunjukan kesenian tradisional untuk menyambut berbagai bentuk kunjungan lintas-negara, atau sebagai ornamen yang dipajang dalam bentuk pembakuan situs di sebuah museum yang dipertontonkan untuk melihat kemegahan dan didiferensiasi melalui identitas kunonya.


Penyejarahan modern


Siasat modernisme yang didikte oleh nilai ekonomis mengonfigurasi masa lalu sebagai komodifikasi yang bersinergi dengan nilai-nilai kapitalisme. Sambil mengagungkan egosentrisme, kegagahan masa lalu mampu dihadirkan dalam bentuk situs-situs unik, yang didiamkan dalam kemegahan, disimbolisasi melalui mitologi harga. Semakin barang itu kuno maka ia akan bernilai milyaran. Kalau tidak demikian benda-benda itu dipamerkan agar menjadi daya tarik yang menghibur.


Pertanyaannya apakah proyek PIM telah terperangkap dalam siasat modernisme yang menilai warisan sejarah masa lalu dalam budaya populer yang mengedepankan sejarah sebagai hiburan (rekreatif)? Jika demikian adanya maka praktik pembangunan yang tidak melihat situs dan artefak sebagai bagian dari cara mengenal masa lalu dengan menghidupi cara baca bangsa dengan spiritualitas bahwa masa lalu adalah bagian dari manifestasi kearifan, niscaya inspirasi membangun PIM hanyalah sebuah mentalitas mercusuar dan merusak.


Sejarah telah kehilangan dialektika. Tanda-tanda dalam bentuk aslinya bisa saja lenyap diganti dengan penanda hiburan. Konsep ini menjadikan tanda (baca:situs) bisa menjadi tidak bernilai, apalagi sebuah tumpukan batu-bata. Tanda-tanda yang hidup akan dihargai jika itu bernilai uang. Begitulah penyejarahan modern melemahkan dialektika spiritualitas masa lalu yang gagal dihadirkan sebagai watak mondial.


Kekuatan masa lalu kehilangan ruhnya dan gagal dikenali sebagai preferensi membangun kehidupan yang arif. Jalinan masa lalu diformasi menjadi fakta ekonomis dan sebagai atribusi politik kekuasaan masa kini. Bahkan masa lalu dibungkam sehingga dimensi kritis yang lahir di masa lalu juga gagal menjadi ruh kehidupan masa kini. Sejarah telah menjadi hak kuasa yang menyempitkan masyarakat untuk sanggup membuat dialektika masa kininya dengan cermin bening masa lalu.


Tidak dipungkiri jikalau anak-anak Mojokerto nantinya tidak lagi mengenal Majapahit sebagai tonggak dari spiritualitas nusantara berikut detil-detil konfigurasi cerminan membangun sikap dan mentalitas membangsa. Anak-anak hanya tahu bahwa Majapahit bisa hadir dalam imajinasi dunia hiburan dan perayaan rekreatif. Disinilah sebenarnya kita menghadapi masalah besar dalam membaca persoalan sejarah masa lalu.


Sejarah sebagai dialektika kesadaran diri


Sudah waktunya sejarah dihidupi dengan cara baca dialektis. Penuturan sejarah perlu didekati dengan psikologi naratif. Mengenali sejarah berarti menggali rangkaian cerita tentang otentisitas diri untuk bisa melihat perbandingan peran, kemajuan nilai-nilai hidup, bentuk-bentuk kehidupan sosial dan politik kearifan dalam mengatur kehidupan bersama. Melalui naratifisasi historis terjalin produksi metanarasi generatifitas yang menggambarkan proses pembelajaran antar-generasi (Cvorovic, 2008). Disitulah jalinan cerita menjadi identitas dan memperkuat idependensi diri karena penyejarahan telah mengakar menjadi mentalitas.


Ia juga bagian dari praktik kesadaran titik temu antar-generasi untuk mewarisi kebijaksanaan hidup, menghilangkan atau meminimalisir kegagalan dan kedestruktifan. Pemahaman masa lalu diorientasikan agar menembus artikulasi artistik dari sifat benda. Benda sejarah adalah penanda adanya jalinan mental, cerminan sikap kolektif dan individu, entitas kosmologis dan simbolisasi kehendak dari setiap relasi masa lalu yang tertuang dalam bentuk metafora. Pendidikan sejarah dengan demikian adalah soal membongkar diskursus metaforis itu untuk mendapati ajaran tentang siasat, representasi, moralitas, kebajikan kepemimpinan, kegagalan dan kejayaan.
Pembacaan sejarah seperti ini hanya bisa hidup jika setiap warisan masa lalu dihadirkan dalam bentuk terbuka, orisinil dan otentik. Situasi kritis masa lalu dihadirkan untuk mengonstruksi otokritik agar bisa keluar dari kegagalan. Sejarah dihadirkan untuk membentuk kesadaran tentang diri dalam rangkaian peta life-history dan jauh dari sifat mengambil untung secara materialistik. Sebagaimana orang Jawa punya filsafat sejarah cakra manggilingan. Masa lalu merupakan kerangka berpikir dan petunjuk membentengi fungsi praktik kehidupan di masa kini dan akan datang. Ia bagian dari proses perubahan dan sistem hidup yang berkelanjutan (Bambang Purwanto, 2006).


Penghentian sementara dan pengusutan atas kerusakan permanen di beberapa bagian situs Majapahit untuk proyek pembangunan PIM semoga menjadi babak baru kesadaran kita bahwa sejarah bukan souvenir. Sejarah tidak lain bagian dari bentuk menyadari diri sendiri. Sebuah langkah membangun kebudayaan bangsa yang otentik.

1 comment:

Kerja Keras Adalah Energi Kita said...

Yups, benar sakali Pak. Sejarah adalah pelajaran yang berharga bagi kita. Dengan menghargai masa lalu, kita akan mendapatkan pelajaran yang bagus. Intinya Kerja Keras Adalah Energi Kita yang dapat memberikan stimulus untuk melangkah kedepan.

Salam kenal pak. :)