Thursday, February 12, 2009

Ketika Perkawinan Mengalami Titik Balik

Judul : Pendampingku Tak Seperti Dulu Lagi. Penulis : Sawitri Supardi Sadarjoen. Penerbit : Penerbit Buku Kompas. Cetakan : 2005. Tebal : xii+225 (tanpa indeks)


Setiap individu yang sudah siap mengarungi bahtera rumah tangga jelas ia akan mendambakan realisasi cinta sejati yang mungkin menjadi janji sebelum dua pribadi saling bertemu untuk melangsungkan kehidupan bersama. Perkawinan tidaklah berbatas pada terpenuhinya hasrat seksual biologis yang sebelumnya diharamkan dan dengan ikatan perkawinan kemudian hubungan itu menjadi halal. Dan bukan juga terpenuhinya jumlah materi yang dihitung bisa menghidupi pasangannya.

Ideal perkawinan adalah meleburkan dua pribadi yang berbeda dan tumbuhnya saling pengertian, kedewasaan diri dalam bersikap, membagi tugas dalam rumah tangga, kematangan emosional atau bahkan diperlukan kedewasaan spiritual untuk tetap menjaga keutuhan keluarga dari badai konflik.

Tidak selamanya kehidupan rumah tangga rukun, damai, dan tanpa persoalan. Juga tidak menjamin ego masing-masing pasangan akan mampu melebur secara kontinu tatkala cinta sudah menyatu jika itu tidak dididik secara berkelanjutan untuk tahu dan mengetahui tentang potensi, kelemahan dan daya dukung berdua secara berimbang agar rumah tangga bisa utuh, mawadah wa rahmah.

Kalau kita menyimak berita di infotainment seperti beberapa artis yang kawin-cerai, lantas kawin dan cerai lagi membuktikan bagaimana jaminan material, kematangan profesi, dan sejumlah situasi glamour yang mencukupkan mereka akan kesenangannya tidak juga menjadi jaminan mampu memertahankan bahtera rumah tangga. Ambruknya bahtera rumah tangga para artis dapat dijadikan instorspeksi bagaimana rumah tangga tidak mungkin dikalkulasi dari nominal uang atau materi serta gaya hidup yang terstandarisasi secara serampangan.

Sawitri SS sebagai seorang psikolog, dalam buku “pendampingku tak seperti dulu lagi”, memeringatkan kepada para pasangan, bahwa materi bukanlah segalanya dan konflik tidak pernah selesai jika hanya dijawab dengan materi, apalagi jika tidak disertai oleh komunikasi verbal dan non-verbal dengan dibantu upaya investasi emosi serta dedikasi emosional positif secara optimal. Saran Sawitri agar pikiran bahwa materi menjadi segalanya harus dihindari (hlm. 42).

Penting menjadi kesepahaman berdua bahwa perkawinan tentu akan membuka katup konflik karena setiap pasangan masing-masing memiliki harapan dan persepsi yang berbeda. Menguatnya perbedaan karena beban kerja, labilitas emosi pasangan, atau situasi diskomunikasi, konstruksi bias patriarkhal dalam reposisi peran jika itu dibiarkan dan tidak dikontrol dikhawatirkan menjadi candu yang mengubah keintiman relasi ke titik balik konflik. Karena pada dasarnya menurut Sawitri “kehilangan oasis keintiman relasi dalam perkawinan itu berarti akan menjadi landasan dasar bagi berkembangnya berbagai area konflik” (hlm. 76).

Untuk itu perlu dibangun sebuah interaksi yang tidak bertumpu pada model hubungan tipe kekuasaan kepemilikan konkret dan kekuasaan interaksional. Kedua tipe kekuasaan ini membuka peluang perebutan dominasi karena didasarkan oleh kekuatan satu pasangan dan mengukur kelebihan yang satu atas yang lain sehingga unsur menguasai dan dikuasai mendominasi.

Perkawinan harus membongkar situasi dominasi hubungan ke tipe kekuasaan yang bersifat intrapersonal. Sebuah jalinan keintiman yang bermuara pada tembusnya situasi batin yang saling menumbuhkan keseimbangan emosi dan watak transformatif batin sehingga nilai hubungan kekuasaan itu berbagi dalam sebuah tindakan yang empatik dan mendamaikan, saling semitra sejajar sehingga bisa menggeser unsur-unsur kekuasaan kendali antar pasangan dalam perkawinan (hlm. 102)

Perlu juga diketahui bahwa kemesraan percintaan dalam perkawinan tidak sekedar menumbuhkan suasana romatisme dengan seambrek kata-kata manis yang terkadang banyak orang menjadi hanya berfantasi tentang keindahan bercinta. Kondisi ini disebut Sawitri sebagai passionate love. Yakni, cinta bergairah dan luapan emosi cinta ketika dua pasangan saling bertemu kemudian muncul kata manis dan bujuk rayu memikat sehingga dirasa timbul hasrat cinta yang memabukkan kedua pasangan.

Passionate love ini akan mengarah ke situasi cinta buta dan akan berhadapan dengan kenyataan hidup yang lambat laun akan memudarkan romantisme. Passionate love juga perlu ditumbuhkan, namun ketika itu tidak lagi tumbuh dalam usia perkawinan yang panjang, ada baiknya cinta romantis ini dipupuk untuk menumbuhkan model lain yang disebut Sawitri sebagai cinta pertemanan (companionate love).

Cinta kemudian berbagai dalam situasi saling berimbang dan menunjang yang mengombinasi keintiman dan komitmen mendalam sehingga kebersamaan hidup pasangan menjadi terasa lengkap, tentram, nyaman dan sejahtera. “Cinta pertemanan akan lebih memuaskan dan stabil bila dibandingkan dengan cinta romantis. Bahwa cinta pertemananlah yang menjadi tonggak utama bagi keberlanjutan perkawinan penuh kasih pada pasangan” (hlm. 199).

Buku ini sangat membantu bagaimana membangun cinta perkawinan lebih bermakna karena menyajikan sejumlah kasus-kasus praktis bervariasi yang diambil dari rubrik konsultasi psikologi di sebuah harian nasional dan bagus menjadi rujukan resolusi konflik perkawinan sehingga bisa mempelajari reproduksi proses negosiasi batin antar pasangan.

No comments: