Sunday, May 31, 2009

Anakku Menulis Cerita


Judul : Membantu ibu


Bangun tidur aku merapikan tempat tidur

Habis itu memasak

Terus aku mandi sekolah

Sekolahnya pinter semua

Nilainya 100

Aku dikasih hadiah sama bu guru

Habis itu aku pulang ke rumah

Saya di rumah saya ada doog (dog—anjing)

Ada juga rabbit (rabit—kelinci)

Dirumahku ada semuanya

Aku ganti baju (clothe)

Terus aku membantu ibu

Membeli telor di mak nah

Terus dimasak

Habis itu dimakan sama ayah dan ibu

Saya disuapin ibu dan ayah, hiiii hiiii…….!

Selasa, 24 Maret 2009

Suatu waktu saya mencoba mengajak anak saya menulis cerita dengan sistematis karena saya melihat alur cerita yang dia tulis. Waktu itu, dia sedang menulis cerita mengenai “Malang Tempoe Doeloe” (MTD), akhir Mei 2009. Di tulisan yang ia kerjakan, rangkaian kalimatnya sudah sampai pada alur menuju pulang, akan tetapi kalimat berikutnya justru kembali ke peristiwa ketika di lokasi MTD. Saya kemudian mencoba untuk menginformasikan agar kalau menulis cerita, jika alur ceritanya sudah sampai di rumah, maka cerita itu dianggap sudah selesai (the end), dan saya menegur agar jangan lagi kembali menulis peristiwa sebelum pulang ke rumah. Tetapi apa reaksi anak saya,



”sak karepku to yah nulis ceritanya”.



Sontak saya terkejut dan berpikir dalam hati, “begitu kritis dan asertifnya dia”. Saya teringat sebuah tulisan di media masa, kalau tidak salah ingat, media yang saya sebut adalah Jawa Pos. Seorang guru menulis sebuah persepktif teknik pembelajaran menulis puisi untuk anak-anak. Cara membelajari guru ini cukup unik dan bisa dibilang suatu teknik belajar menulis yang amat sepele. Suatu teknik berbasis pengalaman nyata. Guru itu menginformasikan, anak didiknya diajak ke ruang terbuka disuruh berjemur dan merasakan kehangatan/rasa panas mentari. Setelah usai berjemur, anak itu kemudian diminta menulis puisi dengan mengingat kembali rasa panas yang menyengat tubuhnya. Ketika dibaca hasil tulisan puisinya, tidak dinyana bahwa anak siswa kelas 2 SD cukup puitis dan memukau dari proses penghayatan atas pengalaman yang dijalaninya.



Memperkaya imajinasi adalah bagian dari menghidupkan kehendak anak menjangkau masa depan dan membantu melahirkan kekuatan diri anak. Disini saya melihat ada sebuah proses tumbuhkembangnya keberanian anak untuk memertahankan apa yang ia pikirkan, dan anak sudah belajar melakukan bargaining terhadap hasil pemikirannya sehingga saya merasa ada suatu hikmah bahwa dia tidak semudah untuk patuh demi untuk memertahankan orisinalitas.



Menyangkut imajinasi yang diperlukan bagi orang tua menurut saya bukan mendikte, tetapi memberikan lingkungan dan sarana yang tidak harus mahal untuk mengembangkan daya jangkau tidak terbatas kepada imajinasi anak. Demikian halnya dengan membelajari anak menulis cerita.

No comments: