Friday, June 26, 2009

Melestarikan Kesenian Lokal Sejak Usia Dini


Cerita yang ingin saya sajikan kali ini tentang mainan jaranan yang diperankan anak saya. Sebelum itu saya ingin bercerita mengenai kilas balik masa lalu saya ketika suatu waktu teringat saat usia, “kira-kira menginjak bangku madrasah tsanawiyah Tunggangri, Kalidawir, Tulungagung. Suatu bayangan “tempo doeloe” ketika ayah saya memergoki dan ketahuan saya menjadi bagian dari anggota jaranan di desa tempat tinggal nan-jauh dari tempat saya bermukim hari ini (Malang). Desa yang menyumbangkan cukup banyak investasi dari penghasilan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia (sebagian besar), yakni Sambidoplang, Sumbergempol, Tulungagung. Seketika ayah memergoki dan ketahuan saya bermain jaranan, sontak itu pula saya “dimarahi” dan diminta berhenti, untuk kemudian meninggalkan jaranan.



Sedikit ingatan saya, tentang alasan ayah yang melarang saya menjadi anggota jaranan karena saya adalah siswa sekolah Islam (Madrasah Tsanawiyah). Tidaklah pantas sekolah di Tsanawiyah, sementara saya menjadi penari jaranan yang bisa ditonton dalam setiap pertunjukkan desa, yang waktu itu tontonan jaranan adalah tontonan lokal yang cukup ngetren dan digemari oleh banyak warga.


Sebagai anak, saya patuh dan menuruti apa yang dimaui oleh orang tua. Maklum juga saya, saat itu saya belum bisa berpikir kritis tentang pilihan saya, sehingga seketika saya dilarang, waktu itu juga saya mengiyakan dan segera kembali ke keinginan orang tua. Tetapi geliat itu muncul di sini, saat saya menapaki usia dewasa, punya anak dan telah beberapa kali membaca buku, merenung, mendampingi mahasiswa meneliti skripsi mengenai nasib kesenian lokal yang hampir punah digerus, dan bahkan ditabukan oleh otoritas atas nama agama. Saya merasa gelisah.
Kegelisahan ini soal mengapa kesenian lokal jarang diminati dan keberadaannya berada di ujung tanduk ? Atau kesadaran saya bisa jadi, kata Freud, bapak psikoanalisis, mengalami fiksasi. Fiksasi yang saya maksud mungkin bukan pada gangguan perkembangan, tetapi lebih pada “fiksasi budaya”. Hasrat kinestetik waktu usia anak-anak yang menggebu-gebu dan melihat daya magis jaranan memberikan stimulus terhadap pikiran ingusan, hingga merespon untuk menjadi bagian dari pelaku seni jaranan. Saya berpikir sambil mengenang masa doeloe, dengan gumaman,
“kali’ dulu, bisa jadi saya telah menjadi bagian dari pekerja seni, dan atau kali’ sebagai bagian dari para pelaku budaya”.



Namun, kesadaran ini terlambat atau saya tidak mengharuskan terlalu tenggelam dan gundah gulana karena bakat terpendam saya, hee…heee…serasa gagal tersalurkan tempoe itu.



Mengritik dan bahkan menghakimi kesenian tradisional (jaranan) atas nama agama menurut saya terlalu berlebihan, apalagi mengata-ngatai bahwa jaranan jauh dari seni islami atau religius. Saya juga berpikir,


“Sengketa semacam ini apakah bisa saya katakan bahwa kehancuran/kepunahan kesenian tradisional adalah buah kemenangan “agama” yang menghakimi kesenian tradisional. Atau memang kesenian semacam jaranan tiada diminati ketika budaya kaca dan pop telah menggelayuti ruang imajinasi keluarga ? Atau campurtangan agama yang overdosis menjadikan jaranan sebagai “seni tabu” dengan segala kecurigaannya. Mungkin juga pengalaman saya telah menggeser kognisi anak-anak untuk menjaga jarak dengan kesenian tradisional karena “tidak pantas” atas nama agama”.



Saya tidak sedang mengritik ayah saya. Tetapi konstruksi atas “jaranan” yang ingin coba dilihat kembali. Gagasan ini saya peroleh saat mana anak kami begitu berjingkrak memainkan “barongan” (bahasa lokal untuk permainan seperti pada gambar).
Barongan dimainkan begitu agresif dan memecah kesunyian rumah kontrakan, mengacaukan interior rumah, bahkan kamar teracak-acak oleh geliat tarian tak terarah dari si bocak umur 4 tahun.


Maklum sajalah. Ia bisa mensimulasikan mainan barongan oleh karena ada dua kondisi yang bertemu. Sebelum membeli barongan, si kecil ini memang pernah sekali menonton jaran kepang di sebelah kontrakan, yang bertempat di ruang publik longgar di antara kerumunan rumah yang berhimpitan. Dia nampaknya telah menyerap dan mengambil inspirasi “kalap/ndadi/mengamuk/kerasukan” sebagai bagian dari ritual jaran kepang. Satu kondisi lain, saat berjalan-jalan di “malang tempo doeloe” mata dia bergerak dan menatap pajangan mainan jaranan di antara kios-kios yang menjajakan seambrek mainan tradisional. Mata si kecil langsung menangkap pajangan “barongan”. Ia tertarik, merengek meminta dibelikan “barongan”. Ia menjamah mainan itu.
Selintas pikiran Ibunya bergumam dan mencoba menahan anak ini untuk tidak merengek dan batal membeli, karena dianggap mainan ini tidak berkorelasi dengan apapun, selain menguras kocek kami. Namun, bayangan Ibunya tetap kalah dengan rengekan dia. Barongan pun terbeli.


Suara keras memekakkan telinga, memecah kebisuan dalam rumah. Hati terasa pecah mendengar anak ini bereksperimentasi memainkan barongan. Gerak tak terarah, berguling menirukan peran seorang penari jaranan, hampir di luar kendali, berjingkrak, melompat, seolah menunjukkan pemain jaranan yang sedang ndadi/kalap/mengamuk. Dua kondisi bertemu antara memori menonton jaranan dan membeli “barongan.”



Okelah, saya mencoba menerima kondisi anak ini. Saya berpikir, inilah cara kami melestarikan mainan tradisional, atau sebut saja kesenian lokal. Saya tidak mencoba untuk memosisikan kesenian jaranan vis a vis agama. Agama adalah satu sisi dan kesenian jaranan adalah sisi lain. Saya mencoba menghindari menggunakan agama untuk menghakimi kesenian jaranan. Biarlah anak saya mengenali jaranan dan dirinya dalam metamorfosis gerak tubuh, imajinasi diri, rekonstruksi identitas, dan “kegilaannya” dalam bermain barongan. Bagi saya tidak perlu mentabukan jaranan dalam nalar kognitif anak saya. Saya berpikir sebaliknya dan mengambil sejumlah gagasan positif.



Pertama, memberi ruang bebas anak dalam gerak dan imajinasi peran. Permainan barongan menjadi praktikum untuk memerankan dirinya sebagai sungguh-sungguh anak. Bagi saya, inilah saatnya saya tidak menjadikan anak ini sebagai mesin yang selalu menuruti kehendak orang tua. Dari permainan ini saya menangkap penalaran anak bergerak dalam ruang imajinasi dan modeling berbagai peran-peran yang lebih luas. Pembakaran kalori menjadi maksimal, gerak tubuhnya mengejawantah dalam berbagai variasi tari yang sulit dicerna menggunakan teori-teori gerak tubuh dalam ilmu tari. Sebuah gerak tubuh yang tak terkendali, tarian liar, imajinasi yang membebaskan.



Bu..!, ibu…!, adik kalap..!



Sahut kakaknya sambil mengomentari ekspresi tarian tak terarah adiknya.



Kedua, mengenalkan anak pada kesenian lokal dalam bentuk miniatur mainan anak. Kegiatan ini saya maknai sebagai bagian dari praktik keluarga untuk menjaga budaya, menginternalisasi budaya melalui bentuk-bentuk mainan seperti miniatur kesenian jaranan. Membelajari anak untuk memihak pada praktik budaya melalui kesenian dan menjadikannya nilai edukatif atas permainan ini. Saya tidak berpikir misalnya sedang mengamati dan mecoba menemukan bakat anak ini dalam hal menari. Pikiran seperti ini saya anggap terlalu egois. Saya mencoba berpikir lebih dari itu. Eksplorasi anak terhadap mainan ini memberikan pada dia ruang-ruang perluasan diri dalam rangka membentuk pengayaan perkembangan psikologis anak. Mengoptimalkan dunia permainan sebagai bagian dari jiwa-jiwa dia untuk berproses dan bertumbuhkembang. Saya tidak meribetkan diri dengan mencari-cari, dan bertanya-tanya,


“apakah ini ya..bakat anak saya ?”



“Tidak ! Bagi saya permainan ini cukup menjadikan dia hidup dalam imajinasinya, mendapati ekspresi kebebasan. Saya tidak mau terjebak gaya borju, bukan bubur kacang ijo…heee…mengejar bakat anak dan kemudian mengomodifikasikan anak dalam berbagai cerita-cerita populer atau karena melihat keahliannya dalam menari, lantas memaksa dia saya masukkan ke sekolah tari”.



“Mmmm…..bagiku ini terlalu dini bicara bakat. Tidak ! biarlah dia berproses dan mencari, bagi saya sebagai orang tua, memfasilitasi lebih baik daripada mengobsesi diri dan akhirnya jatuh pada mengomodifikasi anak untuk hasrat saya”




Pikiran itu berkecamuk hebat dan mencoba saya membangun kesadaran lain dari kesadaran yang biasa dilakukan beberapa orang tua yang demam menemukan “bakat” anak. Bahkan sangking terobsesinya, membawa si anak mereka ke psikolog untuk dites bakat……




Ketiga, memecah dogma telivisi. Menghadirkan mainan lokal semacam ini bagi kami sangat menguntungkan di tengah-tengah keterpenjaraan ruang keluarga akan dogma telivisi. Permainan ini bisa mengambil alih perhatian anak-anak untuk tidak berlama-lama menonton televisi. Tontonan yang memenjarakan anak-anak kita untuk diam, membisu di depan televisi dan bahkan mengambil peran-peran dalam televisi yang terkadang keluar dari konteks perkembangan anak, atau mendidik anak semata-mata menjadi agresif oleh karena doktrin televisi. Semakin kita menghadirkan mainan-mainan lokal semacam ini, kami berpikir akan jauh lebih bermanfaat bagi daya dukung perkembangan anak-anak dari aspek daya gerak anak, imajinasi, pembelajaran sosial terhadap permainan tradisional dan tetap menjaganya sekaligus menghidupi kesenian tradisional dalam praktik budaya di ruang keluarga. Dari kegiatan ini, sebagai orang tua, akan sedikit bisa melatih diri untuk memutus mata rantai dogma televisi, membangun perlawanan dari budaya kapital ke budaya lokal. Melalui kegiatan praktik budaya terkecil, kita paling tidak sudah mencoba membibit imajinasi anak menjadi pelaku budaya.



Keempat. Bersama keluarga mengenalkan anak untuk menjaga tradisi (seni) lokal sebagai praktik kebudayaan. Saya tidak tahu apakah ini berlebihan, tetapi ketika anak-anak telah menjadi obyek bagi nilai-nilai pertumbuhan ekonomis kapital, sejumlah permainan modern seperti game, mainan imitasi, dan berbagai mainan yang dijual di mall-mall atau di sekolah-sekolah, saya melihat anak-anak sebatas pelaku konsumtif. Mainan-mainan tradisional seperti barongan, bagi saya dapat menghindari perilaku konsumtif anak. Ia bagian dari cara-cara melestarikan budaya sendiri. Berbagai mainan tradisional diakui memainkan peranan signifikan bagi perkembangan psikologi anak, seperti memberi ruang kreatif dan menumbuhkan kekayaan imajinasi anak, memiliki nilai sosial psikologis karena biasanya dimainkan dengan cara aktif dan melibatkan lebih dari satu anak.


b>Kelima. Dengan mainan tradisional, kita bisa mendukung tumbuh kembang anak murah-meriah. Saya tidak berbicara dari aspek analisis ekonomi terhadap pasar permainan lokal. Apa yang tersampai di sini lebih pada nilai kreatif dan kelonggaran dalam menyediakan ragam permainan untuk anak. Mainan tradisional tidak perlu dibeli dengan mahal. Contoh, barongan ini sebenarnya tidak perlu dibeli, tetapi bisa direproduksi dari pohon bambu.



“Itu yang dulu saya lakukan”.



Melalui permainan tradisional, setiap anak dibelajari untuk memungsikan daya cipta dan memainkan peran-peran atas daya cipta ini. Ia bagian dari proses kreatifitas, membangun imajinasi dan mengambil peran atas produksi diri. Pelajaran seperti ini sangat mahal. Darinya juga kita memberi model membelajari anak untuk membangun daya cipta, berkreasi atas inisiatif sendiri (orisinil) dan mengambil peran dari kegiatan produksi



nilah sekelumit untaian pengalaman saya, semoga menjadi inspirasi bagi para orang tua dan marilah memopulerkan kembali permainan tradisional serta memanggil kembali permainan tradisional itu sebagai bagian dari ruang imajinasi anak dalam keluarga. Kegiatan ini menurut saya adalah bagian dari menjaga tradisi, menjaga kesenian lokal dan semoga kita juga punya komitmen melestarikan kesenian/permainan tradisional bersama anak-anak kita.

>
>

Malang, 13 Juni 2009


Mohammad Mahpur

No comments: