Suatu kali beberapa mahasiswa berkeluh kesah karena tulisannya ditolak media massa dan penerbit buku. Sebagian ada yang putus asa dan pensiun dini. Sebagian yang lain tetap semangat untuk mencoba.
Saya juga tidak berhenti memotivasi mereka untuk tidak putus asa. Saya sampaikan pada mereka bahwa “suatu saat pasti ada diantara tulisan itu yang diterima media, atau ada penerbit yang sukarela mau menerbitkan”. Saya sadar motivasi ini salah kaprah. Selalu menstimulasi mereka yang gemar menulis untuk mengambil target publikasi. Motivasi yang cenderung penuh intimidasi.
Saya merasa bersalah karena motivasi itu ibarat mimpi di siang bolong. Saya menyadari kehendak menulis adalah energi jiwa yang perlu diakomodasi bukan dalam kerangka mengonfigurasi nalar pop. Hasrat diterima di sebuah media massa dan diterima penerbit adalah orientasi yang obsesif dan menyiksa bagi penulis pemula atau bagi orang yang gemar menulis. Secara tidak sadar pula saya telah membunuh imajinasi mereka.
Akhirnya saya mencoba mencari celah bagaimana mereka itu tetap terjaga untuk selalu mau menulis. Hasrat ini menjadi medan jiwa yang membebaskan mereka dari sekedar mimpi untuk bisa dipublikasikan. Saya meletakkan menulis sebagai orientasi psikologis yang memediasi kebebasan jiwa. Hasrat itu alangkah arifnya dijadikan sebagai tonggak bagi proses menuju kematangan diri dari sebuah proses mengukir sejarah dan cara berpikir kritis tanpa hantu publikasi dan tuntutan ilmiah. Menulis adalah imajinasi kreatif yang mampu menggayut makna-makna terdalam jiwa manusia, utamanya bagi asah batin dan pikiran penulis. Dari tulisan cerita menjadi ada. Jalinan cerita sebagai lanskap sebuah kisah yang tertuang secara sukarela.
Mencari otentisitas
Jennifer Guglielno (2007), dalam tulisan di jurnal Transformation, berjudul Women writing resistance: teaching Italian immigrant women’s menguraikan, menulis semacam kisah atau sebut saja autobiografi tidak hanya dikenali sebagai bentuk dari kuasa kerja budaya. Menulis juga bisa dijadikan sebagai alat untuk menemukan diri dan perubahan sosial radikal.
Menulis merupakan wujud transformasi terdalam mengenali diri. Menulis juga mewadahi imajinasi perubahan. Pengalaman yang ia tuangkan dalam tulisan akan dibentuk dan dijalinkan antara peristiwa satu dengan peristiwa yang lain. Guglielno melihat para testimoni perempuan imigran di Italia bahwa tulisan merupakan alat kehidupan bagaimana mengenali tantangan dan kegelisahan. Dari sini motivasi, orientasi, harapan perempuan dibangun di bawah rezim imperium untuk bangkit melakukan perlawanan.
Diskusi yang hadir dalam konteks kemauan menulis sebagai bagian yang harus ada dalam kebudayaan manusia, menurut saya, jangan terlalu diforsir untuk kebutuhan dan penunjang kebudayaan kapitalisme yang tertumpu secara tunggal pada kekuasaan penerbit dan melihat norma royalti sebagai konsekuensi logis dari hasil akhir sebuah tulisan. Itu memiskinkan mental dan membikin trauma bagi penulis pemula.
Menulis sebagai kehendak. Eksistensi ini yang harus dipupuk dan dielaborasi agar manusia mau menghidupi kisah-kisah hidupnya melalui tulisan. Saya hendak mengatakan bahwa tulisan adalah jalinan kisah kehidupan. Oleh karena itu, menulis harus dipandang lebih ringan, bebas, menghibur, dan menjadi alat bagi penguasaan jati diri dan media solusi atas problem hidup. Ia bisa bebas dikembangkan oleh penulis sebagai alat otokritik dan kritik tanpa diembel-embeli oleh pakem kepenerbitan dan royalti sebagai bagian dari nilai ekonomis kapitalistik. Proyeksi ini hanya menciptakan imajinasi produk tulisan agar selalu patuh dan menjadi ruang hegemoni kapitalisme media.
Menulis berarti menyoal otentisitas manusiawi. Argumentasi ini saya kembangkan pada ranah pembelajaran psikologi melalui menulis. Mahasiswa saya menjadi begitu linglung ketika saya tuntut ia untuk memenuhi kaidah standar ilmiah dalam penulisan sebuah tugas matakuliah, terutama tentang tata bahasa. Tetapi saya heran ketika mereka diminta menuliskan autobiografi ihwal sejarah tentang diri mereka secara bebas, tidak perlu dibatasi ketat bagaimana mereka menyusun kalimat dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Nyatanya tulisan mereka hidup, mengalir, menjiwai, lanskap historis dari rangkaian peristiwa terjalin, kebebasan mereka hidup, pengakuan atas kesalahan begitu jujur, solusi atas problemnya menjadi praktik yang membebaskan. Jiwa-jiwa mereka tidak lagi kerdil dan tidak mampat oleh himpitan dan kaidah-kaidah bagaimana menulis yang baik dan benar.
Menulis sebagai praktik berbudaya. Anjuran saya, “ayo setiap diri, menulislah.” Hidupi kisah hidup kita dengan tulisan-tulisan ringan. Bisa berbentuk diary, puisi ringan, atau cuplikan kisah-kisah menarik kita, menggoreskan tinta dalam kalimat pendek seperti poster di lembaran kertas yang tidak berguna. Problem hidup kita yang terasa pahit, rahasia-rahasia kita yang kadang kita sumpal dalam-dalam, keluarkanlah melalui tulisan-tulisan yang mengalir. Tidak perlu taat azas bahasa yang baik dan benar atau takut menjauhi ruh ilmiah atas tulisan kita. Inilah praktik literasi yang membebaskan.
Menulis seperti ini adalah rajutan terapi dan bibit bagaimana kita menjadi diri merdeka. Menulis demikian mampu mengontrol untuk menunda agresifitas diri dipindah ke imajinasi. Ia bisa digunakan sebagai media mimpi jika harapan kita gagal. Ketegangan diri mampu dieksplorasi menurunkan tingkat tekanan stres dan depresi. Menulis bisa menjadi instrumen bagaimana cara menghidupi dan melatih pengendalian serta pemetaan diri. Kita akan dibimbing untuk selalu belajar yang asli dan otentik.
Produk tulisan bisa ditukar antar-teman. Ia bisa juga dijadikan referensi kisah dalam sebuah keluarga tentang pelajaran hidup, ihwal penderitaan, kegagalan dan keberhasilan, cita-cita, dan sebagainya. Dapat juga dijadikan kado tukar menukar tulisan. Kita bisa saling membaca kisah-kisah antarteman. Disinilah hidupnya sebuah kisah lisan dan tulisan. Semoga menulis bukan lagi sebagai beban yang memberatkan.
No comments:
Post a Comment