Dari kecenderungan itu dibutuhkan peninjauan kembali atas proses pendidikan agama di sekolah. Jika begitu, ada beberapa gagasan dan sudut pandang bagaimana mewujudkan paradigma pendidikan agama berbasis pendidikan pluralisme.
Kurikulum pendidikan pluralisme
Rumusan pendidikan pluralisme mengacu pada responsibilitas dan akuntabilitas sikap dari berbagai persoalan kehidupan keagamaan masyarakat saat ini di tengah munculnya nuansa tidak harmonis hubungan antaragama.
Tantangan mendasar untuk menyampaikan gagasan pluralisme melalui pendidikan agama berbasis pluralisme akan sangat tergantung kepada bagaimana penerjemahan seluruh pembelajaran agama dikreasikan dalam bingkai transformasi kesadaran keagamaan siswa melalui pemahaman, pengertian, sikap diri dan tindakan hidup yang memihak kepada kemaslahatan untuk semua (maslahah al-ummah).
Kalau selama ini pelaksanaan pembelajaran sangat tergantung pada isi kurikulum yang cenderung disalahmengertikan oleh guru sebagai sebentuk paket yang harus ditelan mentah-mentah dan dijejalkan dalam mesin-mesin pikiran siswa, seri pendidikan pluralisme tidaklah demikian. Walaupun pada saat ini kurikulum berbasis kompetensi menjadi jenis pola pembelajaran baru, hal itu dianggap tidak ada gunanya jika dasarnya selalu sebentuk paket material yang datang dari atas. Oleh karena itu konsep dasar seri pendidikan pluralisme diangkat dari kenyataan sosiologis, psikologis dan antropologis kehidupan agama masyarakat. Konsep ini mencoba menggali gagasan dari bawah dan memahami sejauh apa pengertian masyarakat (siswa, orang tua, guru atau yang lain) tetang pentingnya pluralisme.
Seri pendidikan pluralisme di sini bisa menjadi suatu kerangka filosofis yang nantinya akan bisa dirumuskan dalam bentuk paradigma proses pembelajaran agama di sekolah. Namun, otoritas ini bukan sebuah “upaya tanding” atas kurikulum pendidikan agama selama ini atau menjadi konsep baku yang harus diadopsi mentah-mentah bagi para praktisi pendidikan di lembaga sekolah, melainkan bagaimana secara umum para pendidik di bidang agama tidak terpaku pada perubahan kurikulum lantas lupa pada kenyataan umum yang terjadi di dalam masyarakat saat ini. Artinya, kurikulum adalah satuan kecil dari proses pendidikan, sementara kehidupan adalah sebuah pengetahuan yang harus dimengerti bagi keseluruhan proses pembelajaran sehingga fungsi evaluatif lebih bervariasi karena kehidupan keagamaan masyarakat juga sangat multikultural.
Dengan tema utama pendidikan pluralisme maka tujuan utama merumuskan sejumlah perangkat filosofi dasar yang bisa mewadahi model pendidikan agama berbasis pluralisme antara lain dapatlah hal ini digunakan sebagai sarana memperkaya khazanah pendidikan agama di sekolah, lantas pengetahuan agama tidak hanya memuat basis pengamalan agama secara ketat, melainkan mencoba keluar menuju paradigma pembelajaran agama yang langsung bersentuhan dengan fenomena dan dan bagaimana ia bisa memecahkan persoalan keberagamaan secara kontekstual (experiential curricullum) yang arahnya untuk menumbuhkan kecakapan hidup (life skills) siswa bersama yang lain dalam sebuah masyarakat heterogen. Seperti apa yang dirumuskan oleh UNESCO (Bagir, 2003) kecakapan itu meliputi kecakapan untuk berpikir dan mengetahui (learning how to think), kecakapan untuk bertindak (learning to do), kecakapan (individu) untuk hidup (learning to be), kecakapan untuk belajar (learning how to learn), dan kecakapan untuk bisa hidup berdampingan (learning to live together).
Hal itu tentunya tidak terlepas dari upaya mencapai tujuan pendidikan secara umum seperti menurut paham psikologi mazhab ketiga agar pribadi itu tumbuh menjadi manusia yang utuh, memperkaya kebahagiaan dan aktualisasi potensi pribadi secara memadahi, atau diarahkan agar betul-betul mampu menjadi pribadi (capable of becoming) serta memiliki potensi aktualisasi diri (Maslow, 1976).
Laboratorium pluralisme
Kelas merupakan ruang yang menghimpun sekumpulan individu-individu yang memiliki karakter dan pribadi yang satu dengan lainnya saling berbeda (individual differences). Kelas dibentuk mula-mula hanya memudahkan proses belajar agar pembelajaran lebih efisien dan efektif. Namun, terkadang kelas pun menjadi “penjara” yang mengalienasi siswa dari kehidupan nyata. Kelas tidak hanya sekedar efisiensi proses belajar tetapi berubah fungsi menjadi “selubung gelap” pembelajaran (tidak transparan). Tidak jarang ketika siswa mulai berbondong-bondong masuk kelas siswa harus sudah siap sebagai mesin-mesin (banker) yang bertugas menampung semua materi pelajaran. Siap atau tidak siap, siapa yang mampu menghafal dengan sempurna, giat, belajar dan belajar tak kenal lelah dari pelajaran satu ke yang lain, ia akan meraih predikat “the best” dengan angka rata-rata di atas delapan dan lantas menjadi ranking satu di kelas. Sementara mencukupkan evaluasi hanya pada nominal angka 0-9 menyebabkan ukuran-ukuran kepribadian, moralitas, dan kehidupan tidak jarang menjadi hal yang terabaikan.
Kelas sebagai laboratorium pluralisme yang dimaksud adalah ingin memfungsikan kelas sebagai miniatur masyarakat di mana di kelaslah tempat berkumpulnya individu dari latar belakang yang berbeda. Kenyataan ini hendaknya dipahami bahwa keragaman individu dalam kelas merupakan faktor keberuntungan untuk menunjukkan bagaimana heterogenitas itu betul-betul ada. Siswa bisa dipahami dari seluruh aspek-aspek kehidupan yang saling beda di kelas.
Sebagai suatu laboratorium pluralisme, kelas merupakan tempat yang bisa dimanipulasi (dalam pengertian metodologis) untuk kegiatan pembelajaran pluralisme. Dalam konteks ini, penerapan pendidikan agama yang bermuatan pluralisme dengan berdasar kepada ketidaksamaan antarpribadi dalam kelas seperti adanya perbedaan warna kulit, paras wajah, kemampuan, agama, atau mungkin simbol-simbol status sosial lain akan merupakan satu keuntungan bagaimana keragaman itu merupakan sesuatu yang nyata adanya dan bisa dipelajari (baca:dialami) secara langsung.
Dari sinilah pendidikan agama berbasis pluralisme akan mudah ditransformasikan menurut kesadaran riil masing-masing siswa. Dengan demikian tema sentral pengembangan pendidikan agama berbasis pluralisme akan mudah diserap secara kolektif yang diharapkan bisa menjadi fundasi pertama bagi terciptanya penghargaan atas perbedaan agama.
Kalau itu bisa terwujud, tidak perlu menyediakan guru agama berdasarkan berapa banyak agama siswa, melainkan karena konteksnya pluralisme agama, gurunya bisa satu saja atau jika memungkinkan dua guru (team teaching), karena pengetahuan agama sudah seharusnya mencakup keseluruhan pengertian kita mengenai agama itu sendiri dan dengan demikian guru agama selain Ia mengerti agamanya sendiri juga dituntut untuk memiliki kreasi membangun basis pengetahuan bersama siswa ihwal pengetahuan lintas agama sehingga tidak lagi ada guru yang semata-mata menjadi misionaris agamanya sendiri. Dalam arti, pendidikan agama adalah “pembelajaran lintas agama” yang didalamnya memuat kecapakan kognitif, afektif (emosional, sosial, dan spiritual) dan psikomotori (Bagir, 2003), dan bukan pengajaran agama tertentu. Dengan demikian setiap siswa sudah lebih dini mengetahui sisi kebenaran masing-masing agama dan dengan berbekal pengalaman di kelas diharapkan siswa juga mempunyai dasar kesadaran akan arti penting toleransi, solidaritas dan keterbukaan pandangan sehingga mereka sudah memiliki dasar bagaimana menyikapi kehidupan dan kedewasaan dalam beragama. Dengan demikian lokalitas plural lebih mudah dipahami dan difungsikan sebagai bahan pendidikan.
No comments:
Post a Comment