Genta malam ini, saya menerima SMS dari seorang perempuan, namanya MOZA. Menanyakan apakah waktu ini saya sudah istirahat. Waktu di SMS menunjukkan angka 08:28:16 PM di hari Minggu, 28/06/2009 dengan isi SMS,
“Pak mahpur sudah istirahat kah ?”…
“Belon”, reply saya ke dia.
“Mau ngobrol sm sy gak ? I feel confuse, what do you think ? saya rasa saya jatuh cinta lg”. dia membalas SMS saya.
Sontak pikiran ini menerawang. Terbayang suatu malam di mana ada yang kesepian dan menawari untuk sekedar buat ngobrol. Apalagi SMS ini masuk dari jari-jemari perempuan yang usianya jauh di bawah saya. Saya bisa jadi tersanjung, sekaligus juga gemetar antah berantah membayangkan peristiwa yang tidak-tidak. Ada apa dengan jawaban rada genit, menggoda dan penuh tanda tanya. Bayangan ini tidak begitu lama bertahan, kembali saya tersita waktu untuk fokus menjawab SMS lagi.
Saya tidak begitu ingat persis jawaban saya karena tidak menggunakan penyimpanan fasilitas reply SMS di HP yang saya punya. Jawaban SMS tersebut kira-kira tidak jauh seperti ini,
“Ee…..jatuh? cinta ? emang ada apa?”
Jawaban saya ini sebenarnya sebuah reaksi emosi untuk meredakan ketegangan yang seolah sedang tersambar petir di malam ini. Keterkejutan saya cukup beralasan. Perempuan yang sedang mengirim SMS ini adalah seorang “istri”. Lebih dari itu, saya juga mengenal suami dari si perempuan ini. Tetapi karena sudah kenal, reaksi psikologis saya langsung terkendali dan mencoba mengendalikan suasana batin saya datar-datar saja. Mencoba bangun dari suasana shock dan HP disamping saya berbunyi kembali pertanda ada SMS baru masuk.
“Setelah sekian lama. Sekarang sy jatuh cinta lg. Jatuh cinta. Berdebar2. Terkagum2. Mata sy berbinar. Bibir sy tersenyum aneh. Rasanya memang aneh. Tdk seperti sama kang rizal (bukan nama sebenarnya) dl. I ‘m in love. Again. Kali ini, sama cewek. I can’t bilieve it. I want’t to believe it”.
SMS ini telah memorakmorandakan memori saya untuk mengingat kembali apa jawaban terhadap SMS dia. SMS yang aneh menyebabkan konsentrasi bubar, namun reply yang saya sampaikan sekitar mencari kepastian apakah benar SMS ini dikirim oleh si pemilik HP tersebut. Dia yang memang saya sudah kenal. Saya jawab dengan menanyakan sebenarnya apa dia adalah dia yang saya maksud.
Dia menjawab sembari menyakinkan bahwa dirinya adalah orang yang saya kenal. Saya memang berpikir curiga,
“Jangan-jangan orang ini bukan si pemilik HP tetapi orang iseng yang kebetulan menggunakan HP dia”. Saya terbengong sendirian sambil melihat TV. Sekali lagi jawaban dia meyakinkan pada saya bahwa dia adalah orang yang benar telah kukenal.
Saya tidak mau berbasa-basi dan tidak juga bersedia menjawab cerita dia melalui SMS. Saya menganjurkan dia untuk menelpon saja. Respon dia melambat dan akhirnya melalui jaringan CDMA, saya mencoba mengawali menelpon dia.
Pembicaraan pun mulai dengan bait cerita-cerita berantai.
Ia telah bertemu dengan teman perempuannya. Ia merasa ada daya tarik yang kuat saat melihat dan menatap keseluruhan sosok perempuan temannya.
“Apa yang kamu sukai”.
Dia menjawab,
“Teman perempuannya dirasa seperti laki-laki walau tidak amat tomboi, tetapi ia “ganteng” dan cantik. Walau perempuan ini tetap berdandan sebagaimana layaknya perempuan, memakai bedak dan kosmetik “putih”, nampak kecantikannya dapat dilihat sangat jelas”.
“Apakah kamu sudah sangat akrab atau kenal sudah cukup lama.”
Dia menyahut pertanyaan saya sembari ada kesan suara enjoyble, “ya… kenal belum begitu lama”.
“Apakah kamu sudah memegang tangannya”.
“Ehhh….belum lah pak! Gila lah pak! Taku…t”.
“Saya tidak berani pak ! Saya tidak membayangkan kalau memegang tangannya pasti dia tahu dan dia jelas akan merasakan hal yang berbeda dengan pegangan tangan saya. Saya tidak berani pak”.
“Mengapa ?“
“Tut..tut..tut..” layanan jarinan dari CDMA ini pun terputus.
Dering pesawat CDMA saya memecah di antara suara TV di depan saya. Dia menelpon balik.
“Ngapa kok mati ya..”, sapaku untuk membuka komunikasi lanjutan.
“Biasa deh pak, maybe kelamaan.”, sambung dia yang seolah sudah terbiasa dengan jaringan CDMA yang seringkali putus nyambung-putus nyambung.
Pembicaraan melanjutkan cerita dan pendapat touching screen membedah soal berpegangan tangan dan simbol-simbol gesture yang menjadi bagian dari cara mengukur kadar cinta seseorang dan kelekatan sense cinta di antara sejoli (dua perempuan ini). Wicara kami gayung bersambut menelusuri memori yang diluapi kesan berbinar dan berbunga-bunga sehabis bertemu seorang kekasih pujaan hati.
Moza langsung berseloroh dengan intonasi yang sedikit mabuk kepayang,
“Kalau saya memagang teman akrab saya sih Pak, biasa saja. Tidak ada perasaan apa-apa karena memang tidak ada perasaan tertarik seperti apa yang saya rasakan terhadap sosok perempuan ini. Mungkin saya tidak akan melakukannya pak, meskipun saya terbiasa memegang tangan teman akrab saya”.
“Saya cukup bahagia membayangkan dirinya, mengimajinasikan sosok dia yang cantik, nan ganteng. Perasaan saya amat berbinar, meluap seolah saya menemukan cinta baru. Menyegarkan. Keceriaan dalam bayang diri mengenang dan memainkan bayangan dirinya dalam angan. Sensualitasnya tuh pak tidak bisa dilupakan. Sosoknya bak binar lelaki tampan, membuat pesona hatiku colaps, tak kuasa tuk buat kata-kata mengurai perasaan saya yang takjub, ranum hati yang galau oleh sinar diri dia yang bercahaya dalam imajinasi ini, Pak”.
“Apa kamu ingin memeluknya, apa kamu juga ingin menciumnya”.
Saya menyela di antara kata-kata dia yang nrocos mengungkap cerita penuh semangat bagai penyiar radio yang memudar kata riak-riang penuh daya khayal. Sementara saya menjadi pendengar yang kebetulan chanel radio ini hanya diisi oleh dua jalur komunikasi dua arah antara penyiar dan pendengar. Komunikasi timbal balik yang cukup menyita menit-menit menonton TV saya menggelembung menjadi kegiatan yang berhamburan mendiskusikan suasana hati seorang penyiar.
“Iya pak…”.
Suara genit lirih menyahut dengan segera penuh daya refleks cukup cepat. Suara genit lirih menyahut interview saya untuk memperluas jangkauan cerita yang lahir dari si dianya. Aku serasa tidak menerima begitu saja, hanya menjadi tumpuan wicara atas gejolak hatinya. Sebagai seorang yang hari-harinya bergulat dengan psikologi, rasanya kesempatan ini akan memompa imajinasi rasa ingin tahu saya akan sebuah peristiwa diri yang “langka” (meskipun sudah beberapa kali saya bertemu dengan peristiwa semacam ini).
Aku merasa malam ini adalah momentum berharga. Akupun tercebur dalam dialog yang begitu fenomenologis. Aku seolah terjun dalam dunia wicara yang romantis. Wicaraku berjalan dalam intonasi romantis, mengikuti arus luapan gembira bercahaya cinta bersemai yang mencuat dari stimulus cerita yang dia rangkai dari peristiwa dan tutur dia yang berbunga-bunga. Suaraku rendah, bahkan selayaknya orang sedang bercengkerama dengan kekasih. Suaraku aku sahdukan, bahkan imajinasiku aku tempatkan dalam sosok pewicara romantik, bak kekasih yang sedang menukar kisah asmara sekian lama tak sua bertemu. Bagai syair lagu Rosa yang melantun sahdu memecah bisunya malam. Suara lirih bergemuruh memukau dalam tone telepon gengam ini.
“Atau kamu bayangkan ingin lebih dari sekedar menciumnya,” suara lancang yang saya lontarkan ke dia, bak saya mencoba menerobos norma seksualitas. Menggali tingkat intensitas kelekatan dia pada sosok ganteng yang cantik itu.
Memang seolah dia penyiar radio. Suara nerocos memompa andrenalin dia berbicara ikhwal seksualitas dan bentuk-bentuk keintiman. Dia kemudian berseloroh agak meninggikan intonasi suaranya dan kemudian kembali pada detil-detil cerita lirih yang semburat membongkar tabu-tabu.
…………………………………………….. (sensor)
“Dia ingin memeluk dan menciumnya” tetapi seraya menegaskan bahwa dia tidak ingin untuk lebih jauh bertindak melampaui keinginan hanya untuk mencium dan memeluk. Dia sangat tahu diri untuk tidak melakukan making love.
“Gila apa pak ! Ih, enggak lah pak ? saya tidak terobsesi sejauh itu.”
Betul, dia adalah orang yang kukenal. Betul, ia juga menceritakan bahwa dia memang tertarik pada cewek. Dia bilang bahwa sayalah orang yang tepat untuk sekedar mendengar rasa “aha”-nya (kegembiraan) atas peristiwa yang menghantuinya. Dia mencintai dua orang. Satu adalah suaminya, dan satu adalah teman ceweknya. Pembicaraan berlangsung sekitar 20 menit.
Setelah usai menelpon, dia mengirim SMS penutup pembicaraan malam itu.
“Ini cuplikan puisi yang sdg sy tulis : (Aku berjalan. Setelah airmataku kukeringkan. Aku berjalan entah apa. Setelah jauh, aku menemukannya. Mencintaimu membuatku belajar ada). Trimakasih tlh mjd pendengar yang baik. Night…Ga usah dibls ga pa2”.
Saya pun tersenyum dan bangun, sembari menutup SMS darinya untuk kemudian melanjutkan nonton film “zoom” di salah satu stasiun televisi swasta. Di luar terdengar hujan gerimis disertai kilat memecah malam.
Dalam batin saya bergumam.
“Betul, dunia telah bergerak dalam perubahan”.
Malang, 28.06.2009
No comments:
Post a Comment