Saturday, August 08, 2009

Anakku dan Alam Semesta


Ketika Minggu 2 Agustus 2009 kami berjalan sekitar 3 km dengan anak-anak kami (laki dan perempuan), tanpa sebuah tujuan tertentu. Kami hanya ingin berjalan menghabiskan waktu Minggu sambil mengenali jalanan gang-gang kota malang sekitar kelurahan Dinoyo. Sampailah kami di kampus UIN Malang. Disitulah kami duduk di rumput hijau dan mencoba menikmati sepinya hari Minggu tanpa lalu lalang mahasiswa. Ruang terbukanya pun bebas sehingga anak kami bermain leluasa di rerumputan dan pelataran parkir.

Tiada bertengkar keduanya. Tidak sebagaimana biasanya. Kalau di rumah pertengkaran lebih sering terjadi ketika sedang bermain bersama. Tetapi ini tidak terjadi. Kerjasama keduanya dalam permainan terwujud begitu lama dan keceriaan, terguling, terkena serempetan paku-paku nakal pada salah satu kaki, si anak saya tidak juga menangis. Berbagai kreasi permainan diciptakan, mulai dari berjalan di pinggir got, seperti mereka-ulang keahlian seorang “ninja warior” yang sering ditonton di salah satu TV swasta, berselancar di rumput dengan balok kayu yang ditemukan dari sisa bangunan, sampai kejar-kejaran tak tentu arah. Semua muncul begitu saja. Permainan yang sepi dari pertengakaran. Kami pun juga sepi dari mengeluarkan kata-kata melarang atau “hati-hati nak”.

Saya berdiskusi dengan istri, apakah karena ruang publik yang longgar sehingga alternatif permainan selalu muncul dan tidak menjemukan. Jikalau di rumah, selain unsur jenuh, peraga permainan juga itu-itu saja. Tidak ada kreasi baru dan alat lain yang diimprovisasi sehingga anak akhirnya berebut, bertengkar dan saling mendominasi.

Saya berpikir, sepertinya ruang publik menjadi penting bagi anak untuk menurunkan derajat agresifitas destruktif, melonggarkan menghindari bentuk-bentuk koersi dan abuse pada anak.
Alam yang alamiah adalah jawabannya. Sentuhan alam terhadap anak perlu dihadirkan agar mereka tumbuh kembang dengan kreatif. Mengajak anak berjalan kaki, mengajak mendaki gunung atau kamping misalnya, adalah bagian dari upaya mendekatkan anak dengan alam sekaligus memunculkan aneka kreasi yang akan dimainkan anak sesuai dengan pilihan imajinasinya. Di sini juga membebaskan anak untuk berpikir dan mencipta sekaligus juga membebaskan anak dari intimidasi cara berpikir orang tuanya. Dari sini saya tidak harus membayar mahal (mem-playgroup-kan) untuk sekedar memunculkan anak untuk lebih kreatif. Resepnya perlu sedikit gila dan siap-siap dibilang seperti orang stres saja, misalnya kepergok mahasiswa di sebuah jalan ketika ditanya begini,

“Pak mau ke mana kok jalan kaki ?”


Saya akan sediakan jawaban,

“Mau naik TSG (Tunggu Sampai Gila) …”


Merujuk kepanjangan TSG seperti pemberitahuan seorang mahasiswi (AMEL) yang waktu itu juga sedang asyik mengobrol dengan kami.

Padahal TSG bisa kami tumpangi amat dekat dari tempat kami tinggal. Tapi kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki lagi dengan tanpa tujuan.

Ketika menemukan pohon murbei di pinggir jalan kamipun menyempatkan memetik buah itu untuk di makan bersama. Tak hanya buah murbei yang kami petik, buah ceri yang merahpun kami jadikan camilan kecil tuk melanjutkan perjalanan.

Si kecil bertanya, “kate nengdi se buk,”

Ibu menjawab sekenanya, ga tau dik, yoo..sak pegele,

“hahaha………..”


Tertawalah kami mendengar jawaban si kecil yang begitu saja nyeplos.
Si kecil berharap tidak bermaksud menuruti ayah dan ibunya yang berjalan tanpa tujuan dan punya rencana hari Minggu yang kami anggap gratis, menyehatkan dan mencoba membelajari anak untuk berfenomenologi dengan alam. Logika ini memang tidak tersampai pada dua anak kami.

Sumber heran kedua kami, ketika bermaksud mencari tumpangan angkutan kota, si kecil kembali mengusik dan tidak konsisten.

“Yah ! Saya belum capek !”


Kami pun akhirnya membatalkan menunggu angkutan kota. Kaki kami berempat melanjutkan perjalanan gila di Minggu itu dengan tanpa berpikir panjang.

No comments: