Monday, March 15, 2010

Jilbab yang Tersingkap Berujung Bui


Anda ingin disebut beradab, maka berpakainlah. Jika ingin lebih etis maka belilah baju agar tubuhmu tak dianggap sebagai penjaja dan pendosa di ruang publik. Jika engkau ingin jadi makhluk agamis maka tubuhmu harus kau kafani menggunakan sutra putih yang disebut sebagai kerudung, atau itu mungkin kurang agamis, gantilah kerudung itu dengan mode jilbab karena jilbab adalah dunia religi agar tubuh mencapai status sebagai muslimah atau menjadi seorang rahib yang menyucikan diri ditandai oleh jilbab pula.

"Patuhlah dan jangan membangkang karena undang-undang pornografi bisa jadi memenjarakanmu gara-gara kau singkap jilbabmu demi menyusui bayimu".

Seloroh seorang laki-laki yang mencoba memberi saran kepada seorang perempuan yang menggendong bayinya ketika sedang kebingungan mencari tempat yang steril dari pandangan mata lelaki hidung belang dan beringas di sebuah stasiun kereta api Kota Baru Malang.

Seorang laki-laki ini nampaknya begitu paham kondisi stasiun kota baru. Wajar saja memang lelaki ini tidak lain adalah pedagang asongan yang sudah mahir bermain siasat ditengah hingar-bingar manusia dalam kereta. Dunia siasat ia geluti untuk mencari sesuap nasi dan tambahan biaya hidup untuk menutupi hutangnya karena istrinya divonis kanker rahim dan ia hanya bisa menghutang untuk melakukan operasi di rumah sakit Saiful Anwar dengan jaminan tubuhnya karena ia sendiri tidak punya sertifikat untuk digadaikan apalagi gelang emas atau kalung istrinya. Tapi ia jadi juru selamat di stasiun. Setiap bahaya yang mengintai, ia pasti datang saat itu juga dan mengamankan orang yang akan jadi korban, entah disuruh pindah tempat, atau dia ajak ngobrol begitu saja dengan calon korban sehingga pelaku kejahatan tidak lagi mendekatinya.

"Memang sudah berapa orang mas, ibu-ibu yang dipenjara gara-gara menyusui anaknya di stasiun ini". Tanya ibu paruh baya yang menggendong anaknya umur 8 bulan yang menangis tak kunjung usai sambil menimang-nimang bayinya agar si anak menahan tangisnya.

"Wah, sudah di luar kapasitas bu. Penjara khusus pornografi ini sudah melebihi quota kelayakan. "Satu berbanding seribu bu". Jawab pedagang asongan ini mengutip sebuah sumber dari koran lokal seperti lagak parlente seorang pengamat yang tahu segalanya.

Ibu ini seolah kaget dan sedikit gusar karena harapan agar si bayi tidak menangis, bayi itu seolah mendengar kata-kata pedangan asongan ini sehingga justru tangisannya menguat dan mengalahkan deru suara kereta yang sedang parkir menunggu akibat kres dengan kereta dari arah yang berlawanan. Sontak banyak orang yang menoleh dan memandang dengan mata bisu bertanya-tanya, mengapa bayi itu tak kunjung berhenti menangis. Kalau bisa bicara mungkin bayi ini protes pada direktur stasiunnya.

"Buatkanlah ruang buat aku menyusui biar aku tidak menangis, biar ibuku leluasa neteki mulutku yang terlanjur kecanduan putingmu ibu".

Kalau arsitek stasiun kereta ini tidak peka terhadap kebutuhan aku, „emangnya kamu dulu tidak pernah netek sama ibumu kali !“ Barangkali itu yang dikatakan jika bayi itu bisa berbicara. Untunglah tidak ada bayi yang sekritis pengibaratan itu. Dan sampai saat ini tangisan bayi dianggap tetap bukan sebagai medium kritik (sosial) dan negosiasi bagi keinginan-keinginannya yang tetap menurut orang dewasa dianggap sebagai suara nakal.

Kegusaran berlanjut karena bayi ini tak jua berhenti menangis. Dia tidak merindukan ayahnya, karena bagaimana merindukan, ia dianggap anak jadah tanpa ayah karena hasil hubungan gelap sehingga terpaksa ia lahir ke dunia. Seorang ibu ini ibarat udah jatuh tertimpa tangga. Sementara ia masih dihantui oleh kata-kata seorang pedagang asongan koran di stasiun yang bertubi-tubi memberi warning, "sekali ibu mengeluarkan buah dada untuk neteki bayi ibu, lantas kelihatan oleh polisi pamong praja, pasti ibu akan dimasukkan bui, apalagi dandanan ibu terlihat kusut, tidak rapi, dan semrawut".

"Lantas bagaimana mas saya harus neteki anak saya ini". Sambung ibu yang menengok ke kanan dan ke kiri melihat kira-kira mungkin ada tempat yang aman untuk neteki si bayi yang tetap tidak mau berinisiatif menghentikan tangisannya, sementara hiruk pikuk stasiun dan orang-orang yang lalu lalang menatap tanpa suara dan bisu. Mata-mata itu begitu cuek, tidak peduli, acuh dan hanya menatap, terkadang sedikit ada yang mengerutkan dahi seolah pertanda jengkel mendengar tangis yang menyesakkan.

"Cup cup nak, jangan buat ibu malah tambah bingung, dengan cara apalagi ibu membujukmu untuk tidak menangis terus". Si ibu sudah kehabisan akal untuk menghentikan tangis anak yang ada dalam gendongannya. Tak ada cara yang paling efektif untuk menghentikan tangis si bayi kecuali dengan neteki. Tapi si ibu juga gak mau kalau akan dibawa ke bui oleh polisi pamong praja kalau dia mengeluarkan buah dadanya. Dalam renungan ibu yang sedang mencoba meninabubukkan anak kecil.

Tapi jeritan tanpa kompromi bayi mungil mengacaukan tatanan kosmik ruang tunggu stasiun. Ruang yang berisi nyanyian pedagang asongan dan pengamen jalanan, rintihan pilu pengemis dengan suara khas…”mas tolong mas?” yang diulang-ulang untuk mengundang simpati demi uluran recehan uang dari para calon penumpang.

Sang ibu dengan nekat membuka kancing baju dan menyingkap kerudung (jilbab) agar bayinya sedikit longgar netek ke susu ibunya. Ibu bayi ini tidak peduli apa yang terjadi. Baginya yang penting hak-hak anaknya terpenuhi.

Bayi itu langsung menghentikan tangisnya. Dia mengedot puting susu ibunya dengan dahsyat setelah sekian lama terganjal oleh kekhawatiran ibunya karena warta seorang pedagang asongan. Secara tidak sengaja tangan bayi ini menyingkap baju dan kerudung ibunya. Sontak buah dada ibu bayi ini kelihatan di muka umum, akan tetapi si ibu tidak menyadarinya.

Seorang lelaki berjubah melihat kejadian ini. Terlihat ia menghubungi hotline pengaduan pornografi dan pornoaksi di sebuah pojok stasiun. Selang beberapa menit kemudian polisi Pamong Praja bersemburat datang di lokasi. Laki-laki berjubah itu langsung menyambut polisi Pamong Praja. Pak, itu pak, buah dada ibu itu kelihatan banget. Berarti itu kan bisa dituntut dengan UU pornografi dan pornoaksi.

Semua orang terdiam di ruang tunggu stasiun. Tidak ada kata-kata sedikitpun di ruang tunggu stasiun.

No comments: