Tuesday, February 23, 2010
Mengeja Ulang Doa
Sudah dalam waktu lama saya merenung mengenai cara doa yang biasa saya lakukan sebagai seorang muslim seusai shalat. Kebiasaan ini akan berlaku juga bagi Anda yang muslim untuk selalu berdoa. Doa yang kita panjatkan pada Tuhan baik pada waktu habis shalat atau pada momentum tertentu sudah biasanya kita meminta dan berharap kesuksesan, melimpahkan harta kekayaan (rizki), mendapat pangkat atau pekerjaan yang barakah, atau rizki halalan toyyiban, memperoleh gelar kehormatan, memohon kepada Tuhan diberi anak yang sholeh sholihah, dikaruniai keluarga sakinah mawadah wa rahmah, dan banyak lagi untaian doa indah yang dimunajatkan ke Tuhan.
Bagi anda yang NU--mohon maaf kalau terlalu genit menyebut NU--setiap shalat pastinya selalu membaca doa iftitah setelah takbiratul ikram. Didalamnya ada sebuah kalimat yang sangat susah dijalani bagi saya khususnya terkait dengan sebuah kalimat, inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil 'alamin..., dengan arti kurang lebih bahwa sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku akan kembali kepada Tuhan. Untaian doa ini teramat berat bagi renungan saya disaat laku hidup kita banyak dinodai oleh beragam hasrat dan keinginan yang bermacam-macam. Soal ingin harta berlebih, soal ingin punya anak sholeh-sholihah, soal mendapatkan rizki dan keberuntungan yang maksimal, disembuhkan dari sakit atau banyak untaian harapan dalam doa yang kita panjatkan.
Pertanyaan menggelitik dan mengecamuk di pikiran saya adalah apakah doa yang kita munajatkan kepada tuhan terlalu berlebih dan tidak mendidik spiritualitas insani ? Pada saat awal sekali dalam shalat telah ditegaskan bahwa sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matimu semuanya akan kembali kepada Allah tetapi mengapa kemudian doa di akhir shalat kita justru membabi buta meminta setumpuk pengharapan dan berbagai keinginan yang belum tersampai sehingga kalimat pendek di doa iftitah tadi telah sirna begitu saja di sanubari kita. Di ritual shalat pada awal sekali umat dihantarkan untuk menerima dan menyatakan bahwa seluruh totalitas diri ini sudah harus diabdikan hanya untuk tuhan, tetapi usai shalat kita menutup doa dengan penuh keserakahan.
Kalau kembali ke kehidupan nyata dan rutinitas sehari-hari, sebagai manusia selalu digerakkan oleh motivasi, semangat, bekerja, belajar, dan berbagai cara untuk mengisi kehidupan. Semangat dan cara kita hidup adalah inner development yang musti menggerakkan manusia untuk mencapai derajat-derajat insani sebagai konsekuensi dari kehidupan. Bahwa kerja yang kita lakukan adalah memang untuk memperoleh kehidupan yang layak, bahwa belajar yang kita lakukan beroleh keilmuan bagi pencerahan hidup atau sebagai ibadah. Bagi saya ini adalah harapan dan doa yang langsung menjadi bagian dari kehidupan. Artinya bahwa realitas bergerak ini tidak mesti harus diulang-ulang menjadi pemujaan berlebihan dalam doa setelah shalat.
Mengapa demikian ? Saya berpikir, lantas kapan waktunya manusia itu mensyukuri apa yang kita miliki. Bahwa kalimat sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah semata-mata untuk tuhan, sejatinya shalat pada awalnya menjadi peringatan bahwa kepasrahan terhadap aktifitas kita sejak dini harus disiapkan dan tugas shalat kita adalah merangkai kepasrahan dan syukur itu sebagai titik pijak dari sekian doa-doa dalam shalat. Menurut saya ini yang lebih penting dan berat. Suatu contoh yang sering kami diskusikan. Jikalau kita berobat untuk sembuh dari sakit, yang kita panjatkan adalah doa agar segera diberi kesembuhan dari sakit. Nah doa-doa ini yang membuat kita menjadi belajar serakah dan justru mendorong kesakitan kita lebih parah. Sudahlah bahwa kita berobat memang untuk kesembuhan. Kegiatan berobat itu sudah semangat dan doa bagi kita. Nah apakah seharusnya doa di shalat bukan mengharap sembuh semata--kalau mungkin kita masih belum bisa meninggalkan pengharapan ini--tetapi menerima sakit sebagai kondisi yang memang itu sin qua non sebagai manusia. Bahwa kesiapan kita menerima sakit adalah buah dari kemampuan kita untuk bersyukur. Sakit dengan demikian adalah tugas dan titah kemanusiaan. Kapan kita kemudian belajar menerima sakit sebagai bagian dari kedirian kita. Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin. Banyak lagi contoh-contoh lain.
Kita sudah banting tulang mencari rizki yang dalam doa-doa kita selalu dimunajatkan untuk mendapat rizki halalan toyyiban, tetapi kita seolah tidak belajar bahwa itu semua akan kembali ke tuhan dalam bentuk kepasrahan dan syukur. Terbukti, kita seringkali memaki orang atau saudara atau teman ketika mereka punya hutang ke saudara kemudian tidak mengembalikan hutang itu, kita biasa menggunjing, memaki, dan bahkan mengumbar kejelekan orang yang menghutang. Dibalik pengharapan doa halalan toyyiban, kita disemangati keserakahan, bukan sebuah kesiapan atas ada tidaknya sebuah harta. Daya tangkap bahwa “kadal fakru ayyakuna kufran” yang artinya bahwa kemiskinan akan menjerat ke kekufuran harus dieja-ulang maknanya. Bahwa ketiadaan harta yang menyebabkan kekufuran karena kita jarang diajari untuk doa memasrahkan diri. Doa yang diajarkan berbuah keserakahan. Kita jarang diajari bahwa kedekatan dengan tuhan tiada disyarati oleh miskin dan tidaknya. Suatu misal sedekah diajarkan bukan karena anda memiliki harta atau tidak. Rabiah Adawiyah telah menyemangati hal ini, bahwa tuhan aku tidak pantas di surga tetapi aku tidak kuat di neraka. Bahwa pengharapan Adawiyah bukan sholat ibadah mengharap surga.
Saya pada akhirnya masih mencari doa-doa yang mengajari saya misalnya seperti ini, tuhan bahwa aku telah melakukan sebagian aktifitas dan tugas hidupku, tetapi ajari bahwa aku tidak akan dilekati oleh kebutuhan-kebutuhan itu. Bahwa jika sakitku ini adalah bagian dari diriku, maka ajarilah aku memahami tugas ini sembari aku berobat sebagai bagian dari titah yang juga Engkau ajarkan padaku. Tuhan ajari aku bahwa harta atau yang biasa disebut rizki tidak mendikte aku karena tiada atau adanya adalah sama. Bahwa ilmu yang aku cari kesana kemari tidak melekati aku menjadi dungu oleh apa yang aku tahu dan tidak tahu. Ajari aku bahwa dzikir yang aku lantunkan bukan mendidikku untuk beroleh kesaktian atau harapan-harapan lain dalam hasratku tetapi ajari bahwa dzikir yang aku lantunkan semata untuk memujamu, belajar bagaimana caranya kembali kepadamu, untuk peruntukanmu dan semua itu adalah cara bagaiamana saya belajar untuk menyerahkan totalitas diri hanya pada keputusanmu. Ajari aku tuhan bagaimana mengeja ulang doa itu. Berat dan mohon maaf kalau saya sendiri masih susah melaksanakan.
Label:
agama
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
bgus pak...artikel bapak bisa menyadarkan kita semua agar merenungkan bhwa sudah brp banyak ucapan terima kasih qt untuk Allah dalam sehari??sedangkan Tuhan terlalu banyak memberi untuk manusia..
semoga bermanfaat dan menjadi perenungan
Post a Comment