Sunday, January 03, 2010

Perspektif Multikulturalisme dalam Parenting


Situs American Psychological Association menyitir arti parenting (kepengasuhan) dari penjelasan ensiklopedi psikologi yang diedit oleh Alan E. Kazdin, bahwa praktik pengasuhan di seluruh dunia tercakup didalamnya tiga tujuan utama, yakni memastikan mengenai kesehatan dan keamanan anak, menyiapkan anak untuk hidup produktif saat dewasa kelak, dan mampu mentransmisikan nilai-nilai budaya. Oleh karena itu hubungan yang baik dan berkualitas antara anak dan orang tua merupakan situasi kritis (penting) bagi tumbuh kembang anak (http://www.apa.org/topics/parenting/index.aspx).

Upaya pencarian ini saya lakukan terkait dengan keingintahuan saya ikhwal bagaimana sebenarnya perspektif pengasuhan yang menjadi salah satu fokus penelitian disertasi saya di sebuah desa pinggir dan mungkin bisa disebut marjinal. Sidowayah Ponorogo. Saya tak ingin mengurai terlalu luas penelitian saya tetapi saya ingin berbagi pengalaman yang tetap terhubung dengan konsep dan pemahaman tentang pengasuhan. Kebetulan sesi penelitian yang saya lakukan ikut pula menyertakan anak-anak saya dengan usia taman kanak-kanak dan usia kelas 2 SD.

Selain sebagai modus traveling bagi keluarga, penelitian ini saya manfaatkan juga untuk anak saya agar mencari perspektif yang meluas tentang pengalaman ini agar dijadikan sumber belajar dan buah inspirasi. Alasannya sederhana, anak saya hidup di kota dengan perangkat budaya kota yang notabene memiliki cara hidup, situasi pergaulan, dan perspektif bermain yang tentu berbeda dengan situasi desa sebagaimana lokasi penelitian saya yang dipenuhi oleh dinamika budaya pedesaan yang masih orisinil dan rendah terpengaruh oleh spektrum kota yang antahberantah. Saya berniat ingin mentransformasi dan mengenalkan perspektif multikultural dalam sesi kepengasuhan kami untuk anak kami agar mereka mengenali keberbedaan dan mengakrabi keberbedaan sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan dan saling membelajari dua properti budaya kota desa. Pertemuan ini ibarat kisah dalam film Beastmaster 2. Orang kota yang asing dengan kehidupan rimba, dan orang rimba yang asing dengan kehidupan kota, walaupun mereka mencoba ingin saling mencari tahu.

Saya seolah menempatkan anak saya sebagai instrumen penelitian. Bahwa cara berbaur anak ini memberikan inspirasi dan gagasan tentang tata-cara penelitian saya terkait pengasuhan anak. Perbedaan mindset budaya antara anak saya dan anak-anak Sidowayah merupakan manifestasi transformasi multikultural yang langka saya dapati dalam situasi praktis, langsung dan natural. Kalau di psikologi (Universitas atau Laboratorium) paling banter kondisi-kondisi itu tercipta dalam skenario eksperimen yang tidak asli, direncanakan, dibuat-buat agar menyerupai yang orisinil dan terjaga keaslianny dalam dalil validitas dan reliabilitas, namun pengadaan itu tetap tidak bisa menyamai dengan yang orisinil, yakni pengalaman langsung dan nyata adanya yang genuine diinisiasi secara mandiri oleh anak-anak ini. Jauh melampaui ukuran validitas dan reliabilitas.

Saya sebut anak saya sebagai instrumen penelitian, bahwa aktifitas berbaur anak saya dengan anak-anak di pinggir Sidowayah memunculkan fenomena kompleks terkait aktifitas mereka. Artinya tanpa saya mendesain dengan segudang guide wawancara dan observasi, pembauran mereka melahirkan beragam fakta dinamis tentang aktifitas anak-anak. Di situlah saya kemudian membangun inspirasi dan gagasan-gagasan yang orisinil dari anak-anak tanpa sebuah intervensi dan saya kemudian mengambil hikmah bahwa hubungan interaktif antara anak saya dengan anak-anak Sidowayah memunculkan satu bentuk hubungan multikultural yang sejatinya secara tidak sengaja, saya menemukan pelajaran baru bahwa perspektif multikultural bisa diajarkan sejak usia dini.

Anak-anak ini jelas tidak tahu apa itu multikulturalisme, tetapi bagi saya pengalaman sosialisasi yang berproses merupakan pembelajaran langsung tentang mengenali the others, bahwa ada orang luar atau lain dari dirinya yang perlu diintegrasikan dalam kesatuan eksistensi seperti praktik bergaul, bermain, menulis, saling bertukar pengetahuan, ketrampilan dan sebagainya yang tanpa skenario dari saya sedikitpun. Praktik inilah yang kemudian memberikan argumentasi bahwa multikulturalisme bisa diajarkan sejak dini.

Situasi alamiah ini ternyata menguntungkan dan lebih mudah dari praktik sosialisasi di sekolah. Contohnya, Alul. Di sekolah, Alul perlu waktu berbulan-bulan untuk mencairkan suasana pertemanan sebayanya, sementara di Sidowayah, hanya hitungan 1 sampai 2 hari dia sudah mampu bersosialisasi dengan anak-anak Sidowayah dan mulai meleburkan dalam mindset kebudayaan anak Sidowayah. Kelonggaran yang saya berikan terhadap Alul mentransformasi kebebasan Alul untuk berinisiatif secara merdeka untuk memulai mengakrabi properti lokal dan budaya lokal anak Sidowayah. Menurut saya ini ibaratnya sebuah perkakas pengasuhan yang telah menyumbangkan ikhwal Quantum sosialisasi (adaptasi).

Anak-anak Sidowayah menawarkan perbedaan sosialisasi dan keakraban kolektif bahkan massif yang jarang didapati adanya kerumunan anak sebesar ini (sekitar 10-15 anak) di situasi pertetanggaan kota. Di Sidowayah kelompok sebaya anak bergerombol di sejumlah lokasi. Di basecamp saya, anak-anak juga bergerombol menjadi sumber dan pusat perhatian bagi anak-anak. Gerombolan inilah sebenarnya yang menjadi awal dari sebuah proses transformasi sosialisasi dan menyadari adanya muatan multikulturalisme dalam kegiatan anak-anak.

Di sinilah aktifitas pertukaran budaya anak saya yang pendatang dan anak Sidowayah sebagai pemilik budayanya sendiri mulai terjalin. Hubungan dalam sosialisasi dimulai dari masing-masing pihak memeragakan keahlian/kesukaannya masing-masing. Suatu contoh, anak saya mempresentasikan MP4 secara terbuka dalam kerumunan untuk mencari lagu yang akan mereka dengarkan dan nyanyikan bersama-sama. Zara mereferensikan sebuah lagu a, b, atau c dan mempertanyakan secara kolektif apakah lagu ini disukai dan dikenali oleh anak-anak Sidowayah. Meskipun anak-anak Sidowayah asing dengan alat ini, tetapi presentasi terbuka memunculkan diversitas kognitif bahwa keberbedaan jika dialami bersama dan dibelajari bersama menjadi mengasikkan dan saling mempertukarkan dan wawasan lintas budaya dibentuk secara bersama-sama.

Sisi yang lain, anak saya juga mulai belajar menggambar bersama. Jika anak-anak Sidowayah yang dekat dengan pegunungan kemudian menggambar obyek alam gunung, daun, binatang, burung dan ekosistem di sekitarnya, maka obyek-obyek gambaran anak saya secara otomatis mengekor jalinan obyek yang digambar anak-anak Sidowayah. Di sini saya melihat adanya pertukaran nilai-nilai yang dikandung secara tersembunyi. Mereka mendinamisasi perasaan, pikiran, gerak tangan melalui negosiasi kultural berobyek alam pegunungan, pertanian, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Properti ini juga sinergi dengan nilai-nilai kreatif yang berkembang dalam labirin budaya anak-anak. Melalui perspektif pertetanggaan penjelajahan kognitif dan afektif merupakan miniatur kebudayaan anak-anak untuk membentuk dunia imajinasi, kreatifitas menggambar dan pertukaran interpersonal dari pameran-pameran gambar yang ada.

Dari alam berkembang permainan multikultural. Contohnya gelembung udara. Jika anak saya mengenal permainan gelembung udara harus dengan merengek-rengek minta duit dan membeli seribu rupiah sampai dengan 20 ribu rupiah di alun-alun kota Malang, di sini anak saya dikenalkan dengan gelembung udara oleh anak-anak Sidowayah melalui tangkai daun jarak yang bertebaran di sana sini.

Isu daun jarak ternyata di Sidowayah tidak hanya dikaitkan dengan bio-disel sebagaimana isu kota terkait kepentingan politis hemat energi. Di lokasi ini, daun jarak adalah properti kultural yang bersifat lokal yang dibangun untuk kebutuhan anak-anak. Gratis, mudah didapat dan melimpah ruah. Cukup petik tangkai dan daunnya. Langsung dipatahkan tetapi patahan tetap dipertahankan agar seratnya tersambung. Syarat lainnya patahan tangkai daun jarak ini harus ada getahnya. Tarik sedikit agar getahnya menyatu dengan serat dan siap ditiup perlahan-lahan. Terbentuklah gelembung udara sama sebagaimana harga mainan gelembung udara 20 puluh ribu di alun-alun Malang. Di sinilah saya melihat isu pohon jarak saya letakkan sebagai isu kebudayaan. Sebuah produk lokal terkait dengan properti mainan anak. Di sini hidup imajinasi, keceriaan, dan kedamaian.

Lebih luas lagi, anak saya menegosiasi permainan yang sama, tetapi dimainkan di Sidowayah dengan teknik lebih kaya. Misalnya kotak pos, jamur-jamuran, ayam dan luak, dan saya tidak hafal sejumlah permainan lainnya. Bagi anak saya, konteks mainan ini lebih dinamis, memainkan kohesifitas, menjalin fungsi emosi dan jalinan interpersonal, gerak kinestetik yang tinggi dan keceriaan yang maksimal. Konteks ini jauh dari bentuk-bentuk mainan kota yang minim gerak karena sifat budaya kota yang mungkin invidiualistik, konsumtif, terbatas ruang publik anak dan kalahnya mainan anak semacam di Sidowayah dengan mainan modern.

Di Sidowayah, ruang publik anak luas, longgar dan beragam. Mereka bisa mengambil ruang dengan bebas. Model-model mainan ini saya nilai merupakan jurus ampuh mengendalikan anak dari tontonan kekerasan. Mereka diuntungkan bahwa dengan mainan ini aspek tumbuh kembang mereka justru maksimal mencakup tumbuh kembang kognitif, emosi, perasaan, interpersonal, daya gerak, kepribadian dan masa depan karena secara tidak sengaja saya menemukan anak-anak yang lentur gerak tubuhnya, anak yang lucu dan trengginas, piawai menendang/menggiring bola dan modelpun ada.

Secara psikologis dan dalam konteks penelitian disertasi saya, bahwa aspek multikulturalisme sejatinya menjadi sub analisis yang mampu dikembangkan untuk teknik-teknik parenting yang bersifat neighborhoods (pertetanggaan) untuk kebutuhan maksimalisasi tumbuh kembang anak, menjadi medan terapi dan konseling anak. Inspirasi ini tentu akan saya integrasikan dalam satuan tindakan penelitian ke depan. Penelitian semacam ini dapatlah merupakan penelitian yang memihak subyek untuk kepentingan pemberdayaan. Konteks ini saya sinergikan dengan cakupan definisi multikulturalisme sebagaimana diuraikan dalam ensiklopedi wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Multiculturalism).

No comments: