Saturday, December 05, 2009
Peminatan Psikologi Sosial, Bagaimana ?
Kali ini saya mencoba menjawab mengenai kegundahan tentang psikologi sosial dan persoalan “pesimisme peminat” psikologi sosial. Baik peminatan atau pemilihan mata kuliah. Diskusi ini dimulai dari pertanyaan Nisa dan tanggapan Prima.
Ass. Pak saya mau tanya lagi. Kemarin waktu bapak cerita tentang kajian psikologi sosial dan disertasi bapak, saya tertaik untuk mengkaji lebih dalam mengapa, bagaimana dan apa sebenarnya psikologi sosial.
Secara definitif psikologi sosial menjelaskan mengenai deskripsi psikologis berupa pikiran, perasaan, dan perilaku baik yang observable dan tidak observable dipengaruhi oleh imajinasi, tindakan dan kehadiran orang lain. Melalui sekilas pengertian psikologi sosial ini, pemahaman terhadap perilaku manusia tentu melibatkan situasi atau penggambaran psikologis personal sebagai subyek aktif yang berpikir, merasa dan berperilaku dan penggambaran faktor di luar subyek yakni kehadiran orang lain sehingga pikiran, perasaan dan tindakan itu terbentuk.
Berpijak dari definisi sederhana tersebut, bahwa psikologi sosial adalah investigasi untuk memahami fakta psikologis itu sendiri, namun perspektif analisisnya saja yang lebih kompleks (luas) daripada misalnya hanya menyangkut soal diagnosis individu atau masalah semata-mata pribadi orang tersebut. Nah, oleh karenanya perhatian terhadap kondisi sakit dan sehat pun tidak terpaku pada pemahaman subyek sebagai seorang diri dan ketika misalnya sakit, kemudian semata-mata ditentukan diagnosisnya karena “dirinya”. Ini menurut saya yang paling urgen (penting) untuk dipahami. Kondisi sakit (psikologis/mental) dapat pula dijelaskan dalam konteks hubungan dinamis sosial misalnya ada faktor interpersonal, keluarga, teman, masyarakat, atau bahkan pemerintah (faktor politik dan kebijakan). Coba lihat sejumlah bab terkait dengan sikap, nilai, atribusi, pengaruh sosial, persuasi dan lain sebagainya.
Contoh lain misalnya, tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menyebabkan seseorang (istri/anak) mengalami depresi dan trauma. Depresi dan trauma adalah standar PPDGJ atau DSM, tetapi cara diagnosis dan cara menentukan sebab-sebab munculnya depresi dan trauma sangat ditentukan pemahaman kita terhadap situasi “sosio-psikologis” perkawinan. Orang yang hanya paham pengukuran klinis, mungkin saja akan memfonis orang ini sakit ditunjukkan dengan sejumlah pengukuran klinis karena orang ini telah menunjukkan bukti depresi dan trauma. Oleh karenanya perlu direhabilitasi karena dia adalah orang yang sakit.
Ini akan menjadi kesalahan fatal dan akan berdampak pada “kesesatan” vonis diagnosis. Tetapi ketika fakta depresi dan trauma dipahami dalam konteks sosial psikologis, betul diakui bahwa kondisi depresi dan trauma adalah fakta yang dibuktikan dengan instrumen klinis, tetapi tidaklah dikatakan bahwa mereka kemudian menderita “sakit mental atau gangguan mental” semata, tetapi mereka dikatakan adalah korban dari abuse, coercion, aggressive, violence, sadisme dan sebagainya. Artinya, depresi dan trauma di sini adalah dampak dari perilaku orang lain bukan sebab diri perempuan atau anak yang tidak pandai-pandai mengelola dan memejemen dirinya agar tidak depresi dan trauma. Ibarat kuliah tamu kemarin, kondisi itu lebih disebabkan karena faktor bencana dan bukan karena soal semata-mata pertahanan diri perempuan dan anak lemah.
Oleh karena itu, jika dibutuhkan bantuan dalam bentuk konseling, terapi atau intervensi, jelaslah bahwa semata-mata memerlakukan mereka (perempuan dan anak) secara sendiri adalah tidak tepat. Oleh karena itu dibutuhkan analisis kuratif dalam bentuk rehabilitasi misalnya dengan perspektif psikologi sosial dan pada konteks ini menghadirkan situasi sosial yang baru bagi perempuan dan anak adalah niscaya. Situasi sosial ini jelas dirumuskan dalam berbagai varians analisis psikologis yang tidak semata-mata “klinis” misalkan, tetapi dari perspektif sosial menjadi penting diintegrasikan.
Dari contoh ini saja, tidak cukup kiranya memahami (diagnosis dan prognosis) dalam konteks psikologi hanya mengandalkan satu sudut pandang, tetapi meluas mencari konteks sosial yang mampu menjadi referensi diagnosis atau konteks menolong orang. Tanpa itu, psikologi tidak memadahi berbicara tentang sakit/gangguan dan sehat mental. Jadi gerak psikologi selalu berpijak pada individu, interpersonal, keluarga, kelompok/komunitas, pemerintah/negara, kembali lagi ke individu. Begitulah sehingga membentuk siklus analisis.
Dalam disertasi saya, perspektif pengasuhan dibangun tidak hanya hubungan orang tua anak di rumah. Tetapi karena persoalan pengasuhan terlilit didalamnya persoalan kemiskinan dan sumberdaya manusia, misalnya faktor budaya positif yang diabaikan dan pengetahuan yang minim sebuah kelompok masyarakat tertentu, maka untuk membangun kesadaran kolektif terhadap pengasuhan sehat jelas saya tidak cukup melakukan analisis individu semata, maka saya perlu melakukan analisis dan tindakan komunitas untuk fokus pengasuhan (pendidikan dan klinis). Nah, di sini susah membedakan apakah saya ini orang klinis, atau saya orang pendidikan atau saya orang sosial ?.
Saya adalah orang yang concern ke sosial, tetapi itu adalah metode analisis dan tindakan di lapangan yang selalu menjadi titik pijak, tetapi kasus-kasus psikologisnya akan sangat kental dengan nuansa pendidikan, klinis, atau perkembangan…Jadi ? Terlalu “menyesatkan lah” kalau kemudian kita memilih begitu ketat tentang perbedaan-perbedaan itu. Bagi penelitian disertasi saya, perlu untuk membuka kepekaan sosial saya apakah itu terkait dengan kebijakan tentang pemenuhan hak-hak anak atau terkait dengan psikologi komunitasnya dalam seluruh cakupan budaya pengasuhan yang sedang saya teliti.
Gini pak, kenapa psikologi sosial minim peminat? Persepsi seperti apa yang membuat mereka tidak interest dengan psikologi sosial ? Padahal dalam berhubungan sosial, kita amat sangat membutuhkan psikologi sosial untuk lebih memahami fenomena sosial ?
Psikologi sosial sebagai pendekatan sifatnya interdisipliner dalam subdisiplin psikologi. Bahwa kasus pendidikan, klinis, perkembangan, industri dan organisasi selalu ada hubungan timbal balik dalam analisisnya. Dalam perspektif ini misalnya, psikolog sosial bisa dan tidak tabu bekerja untuk pendidikan, bekerja untuk kasus klinis, bekerja untuk kasus perkembangan, bekerja untuk industri dan organisasi sangat terbuka. Nah, cuma pendekatannya nanti secara tematik berbeda misalnya dengan terapi personal atau analisis individual dan tunggal. Pendekatannya sebagaimanya yang telah dijelaskan di atas.
Mengenai persoalan persepsi, saya melihat bahwa mereka takut bahwa dengan memilih psikologi sosial, tidak mendapatkan tes A, B atau C, dia akan kehilangan orientasi kerja karena psikologi sosial yang dipahami sosial mereka harus terjun ke masyarakat luas yang dipersepsikan seolah-olah sebagai belantara yang tidak bisa dipilih apa yang dikerjakan di masyarakat. Alasan-alasan praktis kemudian menjaraki mereka dari psikologi sosial. Di psikologi pendidikan kan bisa masuk menjadi gutu PAUD, atau menjadi BK. Yang klinis, bisa masuk RS atau rehabilitasi, sementara kalau sosial mau ke mana ? Ketakutan akan orientasi kerja inilah dan peluang mendapat atau tidak mendapat tes A, B pada akhirnya mereka berpikir “disorientasi”. Padahal jika saya lihat dari mahasiswa, semula dia terfokus di klinis atau pendidikan, namun pada akhirnya mereka memilih obyek penelitian skirpsi yang sangat bernuansa psikologi sosial.
Inilah bahwa ada keluasan kajian psikologi yang tidak bisa dikotak berdasarkan norma pendidikan, klinis, sosial, atau industri. Meskipun itu penting tetapi terkadang pendekatan interdisipliner menjadi lebih penting. Pemilahan itu memang sudah ada pakemnya tetapi bagi mahasiswa S-1 pemilahan yang ketat dan membabi buta, hanya mengerdilkan kompetensi
Menurut saya yang terpenting bukan kita harus memilih psikologi sosial, industri, pndidikan, tetapi yang penting orangnya profesional to pak?Tetapi kalau kelihatannya semester 3 juga belm kelihatan gregetnya.
Psikologi tidak seperti pemahaman kebanyakan selama ini. . . betapa tidak jika mahasiswa kita sekarang sedang membangun sekat-sekat yang menghegemoni kebebasan asasi manusia untuk dapat menyusun . . . kerangka berfikir yang unniversal, setidaknya mendekati lah.
Memahami dan memilih psikologi sosial bisa diimplementasikan di berbagai ruang kehidupan dan institusi pemerintah, non pemerintah atau masyarakat. Sangat luas saya kira kerja psikologi sosial. Jika orang atau mahasiswa matang ilmu dasar psikologi, maka pemilihan psikologi sosial sebagai bentuk orientasi yang nantinya akan didalami niscaya iya akan tetap bisa “survive” untuk mampu memahami kasus-kasus psikologi baik itu di pendidikan, pusat-pusat rehabilitasi, pertolongan pascabencana, pesantren dan banyak lagi lah, bekerja di kepolisian, pusat kesehatan masyarakat, manajemen organisasi dan rekayasa sosial. Saya kira masih cukup banyak.
Suatu cerita, saya kemarin diminta bicara mengenai kawin sirri dari perspektif psikologi (sosial), toh laku juga kan. Lain waktu saya diminta membantu dalam waktu ke depan mengelola konservasi lahan kritis untuk desa sekitar hutan di Batu. Saya dituntut bukan sebatas membawa “tes psikologi” apa yang tepat di sana. Wah, kalau itu yang saya lakukan akan ditertawakan orang.
Tetapi saya harus berpikir tentang bagaimana perilaku orang di sekitar hutan, persepsi mereka tentang air/tanah/tumbuhan dan orang lain di luar komunitas sebagai kelompok terdampak jika mereka salah membangun persepsi atas hal tersebut, trust—kepercayaan bahwa tanaman baru akan menghasilkan keuntungan baru yang perlu dikaji dari aspek psikologi ekonomi, teknik-teknik mengorganisir komunitas penduduk sekitar hutan agar sadar dan mau berubah pada teknik kelola lahannya. Masih banyak lagi ilmu-ilmu psikologi saya yang ditantang untuk persoalan-persoalan terbarukan. Tidak cukup hanya profesional, tetapi dituntut berpikir kreatif. Semoga bisa membantu memahami psikologi sosial. Terima kasih telah meramaikan blog saya.
Label:
psikologi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
8 comments:
test komentar
coba lagi : Nisa, prima dan davi, bisa ngobrol di sesi komentar ini bila ingin diskusi psikologi sosial
ok pakkk...
untuk tugas psi sosial kelas B apa sudah di posting di FB pak??
Tugas psi sos udah di posting
ass..pak menindak lanjuti diskusi yg dkelasB kmrn...
1.metode bapak menurut saya sangat efektif, krn bisa mmrangsang pmikiran kritis..
2.pmbntukkan klmpok dlm observasi jg sgt mendukung agar kita smua peka dg apa yg trjadi dilapangn, serta melatih team working
3.kalau bisa utk smstr depan ini,,tetap dlanjutkan dg metode sprti ini pak..
4.apalgi wkt presentasi hasil akhir kmrn..paling tidak biar kami tidak kaget jika ujian skripsi..trims..
kemudian yg selanjutnya utk diskusi waria, sy ada beberpa pertanyaan yg masih membuat saya penasaran..
1.jika seperti yg dikatakan oleh maulin bhwa waria adalah seorang yg melanggar kodratnya(scra fisik, maka apa yg telah dilakkukan oleh bunda dorce serta dhea yg mengoperasi kelaminnya itu apakah sebuah pelanggaran agama??
2.brrti jika kita menjadi seseorang yg lebih maskulin, itu adalh hak kita??
3.sedangkan batasan makna maskulin dan feminis itu seperti apa???
trims pak..
nisa : trima kasih masukannya..semoga menjadi bekal lebih baik untuk ketrampilan penelitiannya.
Untuk waria dan kodrati, tunggu ya..hee.
terimakasih pak..
ngeehhh saya tunggu postingnya ttg waria...
amiieennn..terima kasih pak..
Post a Comment