Wednesday, November 11, 2009

MEMBEBASKAN LINGKUNGAN SOSIAL ANAK DARI BULLYING


Bullying adalah bentuk perilaku yang berselingkung dengan keseharian seperti mengolok-olok, memaki-maki, mengancam, memaksa dengan serangan, mengucilkan, menggunjing di depan umum, menghina, sampai pada batas tertentu memunculkan perilaku kekerasan seperti menarik, mendorong, atau bentuk perilaku agresif lain yang menciptakan korban merasa terancam, trauma, dan tertindas. bullying bisa saja terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa. Peristiwanya terjadi di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, ruang publik dan di lingkungan sosial kemasyarakatan. Sejumlah observasi pada perilaku anak-anak, bullying sangat kental menjadi bagian dari proses menjalin hubungan sosial sebaya. Dalam dunia parenting seperti dalam keluarga, pendidikan dan lingkungan tempat tinggal, perilaku bullying menjadi bagian dari kebiasaan pengasuhan (Lines, 2008). Perilaku ini menjadi siklus kebiasaan keseharian yang kompleks. Perilaku seperti mengolok-olok, bergunjing, bentuk conformitas in-group dan out-group, kerap menjadi bagian dari kebiasaan anak-anak untuk mengucilkan satu diantara yang lain. Gang remaja juga sebagai bagian dari kecenderungan kentalnya perilaku bullying. Kegiatan saling mendominasi begitu akrab menjadi bagian dari permainan keseharian anak-anak. Kebiasaan demikian dibawa dalam proses pengambilan keputusan di antara mereka dan terinternalisasi sebagai jalan untuk mencapai apa yang diinginkan.

Bullying dapat dikatakan menjadi kondisi yang termafhumi dan menjadi perilaku kekerasan yang tidak disadari serta terakomodasi dalam berbagai praktik budaya parenting, pendidikan dan pertemanan anak dan remaja. Seorang ibu menuturkan ketika ditanya mengenai perilaku yang identik dengan bullying mengatakan bahwa anak dalam siklus perilaku bullying justru ingin menunjukkan situasi penerimaan kalau dia bisa bertahan dari situasi mengancam, misalnya, tahan untuk dipukul. Anak yang menjadi obyek pemukulan justru merasa bangga dan menunjukkan kekuatan bahwa ia mampu bertahan dari tindak pemukulan. Bullying akrab menjadi perilaku keseharian distimulasi oleh berbagai bentuk persoalan psikologis seperti internalisasi simptom-simptom dalam bentuk perilaku menarik diri, keluhan somatis, kecemasan atau depresi (Baldry, 2004) dan kondisi sosial seperti tidak mampu membayar uang ujian, karena dianggap bodoh, atau anak dengan latar-belakang sosial ekonomi tidak mampu. Anak-anak yang mengalami diskriminasi juga rentan terhadap perilaku bullying. Sebuah kasus mengenai inisiatif bunuh diri anak sebagian juga distimulus oleh perilaku bullying teman atau guru di sekolah (GATRA, Edisi 42, 29/08/2003). Baldry (2004) menemukan dalam risetnya bahwasanya ada terkait erat antara bullying dan korban dengan gambaran statistika bahwa siswa korban bullying, 63, 4 % merupakan sosok yang dijadikan obyek bullying, dan anak yang melakukan bullying, 72,2 % juga korban dari bullying dengan nilai korelasi 2= 64.68 (p <0.0001). Bullying dengan demikian seolah menjadi matarantai lingkaran setan.

Penerbitan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak sosialisasinya juga belum menyentuh ke unsur-unsur parenting dan pendidikan untuk melindungi anak agar bebas dari budaya atau praktek kekerasan sejenis bullying (pasal 4). Terbukti menurut laporan dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), angka kekerasan yang terjadi di sekolah masih mencapai 50 persen dan mengalami peningkatan pada tahun 2008 mencapai 87 kasus dari tahun 2007 sejumlah 52 kasus (Gatra Online, 15/12/2008). Di Malang, seorang guru olah raga menendang dan menampar seorang murid SMP 1 Kepanjen karena terlibat kasus yang dicurigai akan menimbulkan perkelahitan (Jawapos.co.id/14/12/2009) Studi lintas negara juga menunjukkan angka yang signifikan terjadinya perilaku bullying di sekolah. Di Hongkong, menggambarkan pada sekolah menengah pertama dan sekolah menengah umum terjadi kasus bullying fisik lebih serius daripada model pemerasan. 17,2 persen sampel SMP dan 22,5 persen sampel SMU adalah pelaku bullying. Pada saat yang sama, 18,3 persen sampel SMU dan 31,7 persen sampel SMP adalahkorban dari perilaku bullying fisik. Ini lebih tinggi untuk perilaku bullying fisik dibandingkan dengan US (United State) yaitu 13 persen pelaku bullying, 10,6 persen adalah korban, 6,3 persen adalah keduanya dari 29,9 persen sampel, termasuk mereka yang menonton bullying dan UK (United Kingdom) dinyatakan satu dari empat anak terlibat kegiatan kekerasan (Wong, 2004). Di Afrika Selatan perilaku bullying terjadi di sekolah menengah mencapai 56,4 persen (Greeff & Grobler, 2008).

Fakta yang ada menyajikan bahwa lingkungan di rumah, sekolah dan lingkungan sosial anak rentan terjadinya bullying. Persoalan demikian perlu menjadi keprihatinan bersama baik oleh orang tua, guru dan masyarakat sekitar bahwa anak-anak kita terbentuk dalam situasi rentan kekerasan dalam berbagai bentuknya, termasuk ragam perilaku bullying. Perilaku bullying ibarat lingkaran setan. Hal ini tentu dibutuhkan kepekaan dan kewaspadaan dalam mendampingi dan memberikan pengasuhan terhadap anak dan remaja yang peluang terjadinya bullying sangat tinggi. Jurnal Psikoislamika pada volume ini kemudian mencoba memaparkan sejumlah teori dan fakta terkait dengan bullying agar selain merupakan kajian akademik, isi kajian yang ada didalamnya menjadi titik pangkal untuk membangun komitmen bersama agar sedapat mungkin membebaskan anak dari habituasi dan lingkungan sosial bebas bullying. Semoga.


Tulisan ini ditulis untuk pengantar redaksi Psikoislamika, Jurnal Psikologi Islam Vol 6 No 2 Juli 2009 Lembaga Penelitian Pengembangan Psikologi dan Keislaman UIN Maliki Malang


Daftar Pustaka
Baldry, A. C. (2004). The impact of direct and indirect bullying on the mental and physical health of italian youngsters . Aggressive Behaviour, Volume 30 , 343–355.
GATRA, Edisi 42, 29 Agustus 2003
Gatra Online, 15 Desember 2008
Greeff, P., & Grobler, A. (2008). Bullying during the intermediate school phase: A South African study. Childhood, Vol 15 (1) , 127–144.
Lines, D. (2008). The bullies : The rationale of bullying. London: Jessica Kingsley Publishers.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

3 comments:

Anonymous said...

test comment

Anonymous said...

test comment

Unknown said...

pak, saya minta izin mencuplik makalah bapak untuk sebagi materi artikel di websitenya uin. di kolom dosen

www.uin-malang.ac.id

wahib