Tuesday, October 06, 2009

Jajanan Lokal dalam Jamuan Silaturrahmi


Farid Esack, seorang pemikir muslim Afrika Selatan, dalam kesempatan diskusi di sebuah perguruan tinggi Islam di Malang pernah mengujar bahwa teologi Islam kita kurang responsif terhadap advokasi makanan lokal. Dia mengambil contoh, masyarakat muslim seringkali dan kecanduan makanan fast food seperti McDonald. Taste lokal seperti sate madura dan sejumlah produk lokal lainnya acapkali tergantikan dengan taste modern bersifat impor yang telah bermetamorfosis bersamaan dengan pasar modern.

Cara makan bangsa ini, menurutnya telah ikut mematikan dan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi makanan lokal. Bahkan teologi Islam tidak lagi mampu menyentuh gagasan pertumbuhan makanan lokal. Senarai Esack mengingatkan bahwa menjamurnya makanan impor tidak saja menggeser pasar makanan lokal tetapi membalik gaya hidup dan mengondisikan rasa pengecap kita tidak kompromi dengan taste lokal. Indera pengecap bangsa telah teradiksi taste impor.

Nasib Jajanan Lokal

Lebaran ini menjadi momentum untuk melakukan resonansi terhadap berbagai pernik kondisi dan bentuk metamorfosis makanan lokal. Lebaran yang identik dengan perayaan dan meningkatnya konsumsi dalam berbagai bentuk jajanan dapat dijadikan obyek dalam melihat seberapa banyak kehadiran jajanan lokal menjadi menu jamuan silaturrahmi. Cara pandang ini dapat menjadi analisis investasi mengenai prospek makanan tradisional yang terkait dengan intensitas pola konsumsi dan gaya hidup dalam tradisi makan keluarga. Perspektif demikian juga dapat menjadi analisis banding kekuatan pasar jajanan lokal vis a vis makanan impor yang termodernisasi.

Jajanan lokal dengan ragamnya juga telah tergantikan dengan model dan kemasan modern. Meskipun jajanan lokal tetap hadir dalam berbagai jamuan silaturrahmi, performansnya sebatas melingkupi demografi pedesaan dan lemah sebagai wacana urban. Diantara alasan yang mendasari surutnya jajanan lokal antara lain,

Pertama, jajanan tradisional tidak efektif, tidak tahan lama dan kemasannya pun konvensional, sederhana dan dalam batas tertentu tidak memikat selera makan.

Kedua, dari segi pasar, makanan lokal dan tradisional belum mampu sepenuhnya bertransformasi dalam berbagai imajinasi periklanan dan terpajang dalam showroom pusat jajanan modern. Oleh karenanya makanan lokal tidak menembus pasar kecuali dihadirkan dalam momentum khusus. Seperti di Malang, ada “Malang Tempo Doeloe” yang mencoba mengambil inisiasi pasar jananan lokal.

Miniatur pasar


Lebaran adalah momentum bangkitnya jajanan lokal pada masyarakat pedesaan dalam berbagai jamuan silaturrahmi. Berbagai jenis olahan tradisional yang lama hilang dari pasar mencoba mengambil presentasi dalam untuk menjamu kehadiran tetangga, sanak kerabat, teman lama dan rekan dalam kerja. Mereka saling berkunjung dan jamuan makanan ringan menjadi warna tradisi lebaran.

Khazanah tradisional yang tersaji pada jajanan lokal menghidupi semangat kreatifitas lokal dan spiritualitas silaturrahmi. Diversitas makanan tradisional yang masing-masing daerah memiliki karakteristiknya menyemai praktik multikulturalisme. Makanan ini dihidupi oleh kearifan lokal dan memiliki kohesi dengan berbagai praktik kehidupan yang berbeda.

Suatu misal pada sebuah komunitas, jajanan tertentu yang khas lebaran menjadi identitas keluarga dan memiliki semangat kolektif dan gambaran bersilaturrahmi, mewujudkan dinamika kreatifitas serta berebut taste yang melengkapi spirit silaturrahmi. Kadang, cerita terhadap makanan atau jajanan tertentu yang dibuat menurut ketrampilan yang diwarisi turun-temurun menjadi arena perbincangan hangat. Wicara demikian memberikan cerminan transmisi makanan tradisional agar ia bisa hidup dan menghidupi suasana batin pembuat dan penikmatnya. Lebaran menjadi arena survivalitas bagi makanan lokal yang khas untuk dipertahankan sebagai identitas batin yang termanifestasi dalam peleburan silaturrahmi sekaligus menjadi pertukaran praktis dalam berbagai bentuk transmisi pengetahuan produksi melalui wicara yang terjalin dalam silaturrahmi.

Sayang, makanan-makanan lokal yang hadir di momen lebaran dengan spirit silaturrahmi kian langka. Momentum lebaran semestinya menjadi refleksi terhadap berbagai jenis pasar jajanan lokal. Artinya, kolektifitas tradisional dalam sebuah komunitas pedesaan nyatanya mengakomodasi kreatifitas dan menciptakan pasarnya sendiri.

Teologi lebaran yang mentradisi dalam bentuk anjangsana dan jalinan silaturrahmi di lingkungan komunitas pedesaan telah mentransformasi sebagian wujud ekpresi kerajinan tangan untuk mereproduksi makanan lokal dalam berbagai karakteristik khasnya dan berkembang dalam varians metamorfosis bentuk, modifikasi rasa serta pertukaran produk yang tidak berbayar. Misalnya, sebagai bingkisan bagi kerabat yang berkunjung agar perbedaan jenis jajanan dan olahannya menjadi perekat spiritualitas kekerabatan.

Lebaran dimaknai tidak semata sebagai hari liburan. Lebaran adalah tradisi dan bahkan ritual--untuk sebagian kota tertentu seperti di Trenggalek yang terkenal dengan tradisi kupatan—untuk tetap melestarikan makanan khasnya.

Lebaran menjadi medan advokasi hidupnya makanan lokal. Ingatan kolektif ini sejatinya perlu ditransformasi untuk ditindaklanjuti bagi perluasan industri kreatif makanan lokal, berikut pasarnya. Semangat teologi lebaran adalah cerminan praktis jelmaan pasar yang perlu mendapat perhatian (pemerintah) untuk memihak terhadap ragam makanan lokal sebagai bagian dari komoditas ekonomi yang ia telah tumbuh bersama jiwa spiritualitas. Varians jajanan lokal khas yang muncul di menu lebaran sangat mungkin dicipatakan pasar alternatif dari industri pariwisata. Teologi lebaran dengan demikian merupakan ilustrasi tradisi yang mentransformasi pemihakan untuk menghidupi makanan lokal yang terjelma sebagai praktik spiritualitas dalam berbagai manifestasi silaturrahmi. Di sinilah sebenarnya makanan lokal mengambil posisi berbeda dari makanan modern. Selain berorientasi pasar, ia hadir dalam berbagai imajinasi dan praktik spiritualitas yang nyata sebagai cerminan kearifan lokal.

No comments: