Wednesday, August 04, 2010

Negara yang absen



ESKALASI kekerasan terhadap kebebasan beragama begitu nyata melanda negeri kita akhir-akhir ini. Sungguh sebuah ironi, kekerasan atas nama agama terjadi di negara yang menganut asas kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.


Kekerasan terhadap kebebasan beragama itu biasanya berwujud penyerangan tempat ibadah, pelarangan beribadah, atau pelarangan mendirikan tempat beribadah. Menurut laporan Setara Institute, kasusnya terus meningkat. Yang paling mutakhir adalah serangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, pekan lalu, serta bentrokan antara massa ormas dan jemaat yang sedang beribadah di Bekasi, Minggu (1/8).

Kekerasan terhadap kebebasan beragama senantiasa berkaitan dengan dua wilayah, yaitu wilayah privat, menyangkut hak asasi warga negara dengan keyakinannya; serta wilayah publik, yaitu tegaknya hukum di ruang publik.

Dalam wilayah privat, wilayah keyakinan, kita semestinya memandang agama atau keyakinan sebagai hak konstitusional warga. Pilihannya hanya satu, yakni menaruh hormat yang tinggi kepada tegaknya hak konstitusional warga negara. Karena menyangkut hak konstitusional warga, negara mutlak harus hadir untuk menjaminnya.

Melakukan tindak kekerasan jelaslah perbuatan melawan hukum. Di wilayah ini pun jelas negara harus hadir dan berperan. Negara harus melindungi warga negara penganut agama dari kekerasan. Negara juga harus menindak para pelaku kekerasan.

Namun, kekerasan terhadap kebebasan beragama yang cenderung masif belakangan ini membuktikan absennya negara. Negara seperti pura-pura tidak tahu bahwa telah terjadi kekerasan terhadap hak konstitusional warga maupun kekerasan yang melawan hukum.

Bahkan, menurut laporan Setara Institute, negara justru terlibat dalam berbagai kekerasan terhadap kebebasan beragama, baik sebagai pelaku aktif (by commission) maupun dengan melakukan pembiaran (by omission).

Pernyataan yang pertama, bahwa negara justru merupakan pelaku aktif, adalah pernyataan yang sangat mengagetkan dan sekaligus mengerikan. Bukankah negara seharusnya berperan melindungi?

Yang paling mencolok tentulah pernyataan kedua bahwa negara telah melakukan pembiaran. Hal itu terang benderang terjadi dalam banyak kasus. Negara seperti lepas tangan, bahkan menjadi penonton.

Kekerasan terhadap kebebasan beragama yang terus dibiarkan terjadi bisa memberi legitimasi bahwa melakukannya dibenarkan negara. Ia dikhawatirkan dapat memicu kekerasan baru yang tiada kunjung putus. Oleh karena itu, kita menuntut kehadiran negara dalam setiap gejala kekerasan yang terjadi di masyarakat untuk memutus produksi kekerasan itu.

Yang jelas, meningkatnya kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama menunjukkan semakin buruknya toleransi terhadap perbedaan. Ironisnya, itu terjadi ketika negara ini dinobatkan menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.

Ironis, karena negara demokratis itu ternyata negara yang rapuh, yang absen dalam urusan yang menyangkut hak konstitusional warga.

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/04/159840/70/13/Negara-yang-Absen

No comments: