Ruang publik adalah lingkungan fisik yang menjadi bagian dari cara untuk memberikan stimulus bagi perkembangan anak. Karena, perilaku anak memerlukan gerak motorik yang leluasa. Ruang publik adalah space personal dan kolektif yang dapat dijadikan ruang sosialisasi, sarana bermain, dan ruang ekspresi bakat bagi anak.
Melalui ruang publik, anak mencoba bersosialisasi, bermain peran, menjalin interaksi sosial sehingga anak-anak mendapatkan ruang ekspresi. Ruang publik bagi anak-anak juga menjadi salah satu tempat di mana mereka mencoba menjelajahi peran sebaya yang diterjemahkan dalam berbagai tindakan interaktif di luar rumah. Di sini anak-anak membentuk kolektifitas. Mereka juga melatih berjejaring memfasilitasi berbagai kebutuhan perkembangan. Anak-anak mencoba bereksperimentasi dalam berbagai cara.
Ruang publik adalah dunia bagaimana anak-anak merasa memiliki representasi kolektif yang berbeda dari ruang-ruang personal di dalam rumah. Anak-anak berusaha menuangkan kebebasan berimajinasi, mewujudkan keinginan-keinginannya, mengembangkan ketrampilan dalam berbagai bentuk secara trial and error. Dan melalui ruang publik juga, anak-anak mencipta kebudayaan. Dari ruang publik, anak-anak mereproduksi permainan dan hubungan sosial yang nyata. Tidak jarang dalam berbagai lakunya, anak-anak berdinamika dengan kreatifitas. Anak-anak menjalin interaksi untuk memerankan beragam laku kehidupan. Anak-anak mencoba belajar berbagi dengan yang lain untuk membentuk hubungan sebaya secara dinamis.
Seperti manusia pada umumnya, anak-anak ini tidak bisa hanya berdiam diri di dalam rumah. Ketersediaan ruang publik adalah bagian dari lingkungan belajar anak, kecuali anak-anak yang mengalami gangguan atau hambatan perkembangan.
Anda pernah mengalami bukan ? Saat anak-anak anda tidak ada di rumah, kemudian anda kesana kemari mencari di mana gerangan anak-anak anda. Lantas, anda kemudian menemukan anak-anak anda berada di sebuah tempat bermain dengan teman-teman sebayanya. Sadar atau alamiah, di sinilah anak-anak sedang mereproduksi ruang publiknya. Di tempat ini, mereka membentuk ruang belajar, latihan membuat keputusan-keputusan kecil yang independen dari pengaruh orang tua. Di sini anak-anak belajar membentuk kehidupan sosialnya secara langsung. Maka ruang publik bagi anak menjadi penting dan bisa dikategorikan sebagai bagian dari hak-hak perkembangan anak yang wajib disediakan dalam seluruh proses pengasuhan. Saya menilai peristiwa dan dinamika ruang publik anak adalah bagian dari cara-cara anak bermasyarakat. Berbagai studi menunjukkan, anak-anak yang miskin hubungan sebayanya menyumbangkan setidaknya beberapa kasus perkembangan neorotik dan perilaku psikotik serta kasus droup out sekolah (Berns, 2010, p. 277).
Ruang publik adalah lingkungan sosial bagi perkembangan anak. Menurut Urin Bonfrenbrenner, seorang pakar perkembangan mengatakan bahwa, anak-anak berkembang dipengaruhi oleh konteks sosial dalam kehidupan anak-anak. Ruang publik menurut teori ekologi ditempatkan sebagai mesosistem, yakni ruang kolektif di mana anak-anak melaksanakan tugas-tugas perkembangannya di luar rumah. Ruang kolektif ini sangat menentukan kualitas perkembangan anak, sehingga ruang publik adalah bagian penting dari pembentukan kualitas sosial perkembangan anak di luar rumah.
Ruang Publik Anak, antara Kota dan Desa
Mengapa saya mencoba membandingkan antara kota dan desa. Kami adalah bagian dari masyarakat urban yang bergulat melakukan transisi dari dinamika hidup asal, yakni pedesaan menuju kehidupan masyarakat kota yang memiliki caranya sendiri membentuk kehidupan. Terutama terkait dengan pengasuhan dua anak kami dan pengembangan ketrampilan sosial dalam bentuk sosialisasi dan adaptasi dengan lingkungan sebaya.
Lingkungan kota dengan padat pemukiman meniscayakan menghilangnya ruang publik anak-anak. Begitu juga pembangunan real-estate, telah mengabaikan ruang publik anak. Semuanya dipengaruhi oleh ongkos ekonomi yang tinggi dalam desain rumah tinggal. Dalam pembangunan real-estate/rumah tinggal, penyediaan ruang publik anak tidak menjadi bagian terintegrasi dengan kebijakan pembangunan sebuah kota. Itu artinya, bahwa soal kebijakan perumahan melekat didalamnya isu-isu yang perlu direproduksi selain isu lingkungan, yaitu isu tentang ruang publik anak.
Tiga kampung yang berbeda dari tempat tinggal sementara saya di Malang, nyaris ruang sosialisasi anak-anak berada dalam ruang publik yang tidak aman. Anak-anak bermain, senda-gurau, berolah raga di jalan depan rumah. Mereka berlari, saling mengejar, berolah raga, atau bermain pasir harus bergantian dan waspada terhadap pengguna jalan yang banyak lalu lalang kendaraan bermotor. Ruang publik anak-anak musti berbagi dengan pengguna jalan. Terakhir, kami berpindah untuk tinggal di perumahan. Sama persis. Ruang bermain nyaris tidak mendapat tempat, kecuali jalan di depan rumah. Ruang untuk bermain layang-layang, bersepeda, dan berolah-raga ringan juga selalu berbagai dengan pengguna jalan lain. Anak-anak beradaptasi dan bersosialisasi dengan sebaya di jalan.
Tata ruang di luar rumah pada pembangunan hunian tempat tinggal di kota telah mendiskriminasi hak-hak anak dan menciptakan lingkungan sosialisasi sebaya yang tidak aman. Hal ini berbeda ketika kami mencoba kembali ke kampung. Anak-anak kami begitu merasa menikmati ruang publik yang tersedia dan menjadi habituasi cara anak bersosialisasi. Anak-anak itu memanfaatkan halaman rumah tetangga yang luas untuk bermain sepak bola. Mereka berlarian menarik layang-layang. Mereka cair dalam pertemanan baru.
Ruang terbuka dalam seting pertetanggaan merupakan kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan anak-anak untuk mencipta ruang publik mereka. Memang, konteks hunian di desa masih longgar dan menyisakan ruang terbuka. Ruang-ruang terbuka ini niscaya menjadi bagian dari khazanah anak-anak untuk membangun peradaban dan budayanya sendiri. Para tetangga juga menyadari bahwa ruang terbuka ini boleh-boleh saja digunakan sebagai bagian dari lahan bermain. Anak-anak juga dapat menggunakan sebagai tempat petak umpet, jepretan, gateng, gedrik, dan seambrek permainan tradisional yang selalu direproduksi oleh mereka. Dalam ruang publik ini, mereka bereksperimentasi dengan ragam permainan tradisional. Anak-anak mendapat kemudahan bersosialisasi secara aman di ruang-ruang terbuka yang tersedia di rumah-rumah tetangga. Mereka membangun afilisasi sebaya dalam berbagai manifestasi. Jikalau mereka dimarahi karena berisik, anak akan berlarian ke ladang atau ke sawah di belakang rumah untuk bermain layang-layang.
Kemudahan ini meniscayakan bahwa ruang publik anak di desa yang secara natural dibentuk melalui konsep tata ruang dan hunian dengan nilai-nilai kolektif antartetangga telah menyumbangkan sebuah konsep hunian yang ramah anak. Kenyataan ini dapat dijadikan sebagai bagian dari kearifan tradisional masyarakat desa dalam konsep tata ruang pembangunan rumah tinggal. Mereka selalu menyisakan ruang terbuka. Ruang terbuka ini akhirnya dimanfaatkan anak-anak sebagai ruang tempat bersosialisasi, beradaptasi, membentuk afiliasi sebaya, dan digunakan sebagai medan menciptakan kreatifitas dalam berbagai variasi mainan tradisional.
Ruang Publik Anak, Sebuah Isu Baru
Kota, menurut saya, telah gagal menciptakan ruang publik anak dalam berbagai desain rumah tinggal sehingga anak-anak mengalami evolusi perkembangan yang terdomestifikasi dan mengarah ke pembentukan karakter-karakter individualis. Anak-anak berkembang menjadi eksklusif dan dipengaruhi oleh bentuk-bentuk permainan yang monologis. Mereka didoktrin dengan permainan konsumtif dan hanya bisa dimainkan in door, seperti game komputer, play station, dan seharian bisa saja mereka terpaku mata untuk menonton televisi.
Dunia sosialisasi dan adaptasi sebaya sebagai bagian dari proses perkembangan sosial anak tergerus oleh faktor-faktor tata ruang yang mendiskriminasi hak-hak anak. Ruang publik mereka diganti dan digerakkan secara masif bukan pada prinsip pertetanggaan, melainkan “dipaksa” diperdagangkan melalui tempat-tempat berbayar, seperti mall, tempat rekreasi, atau alun-alun kota yang dekat dengan gaya hidup konsumtif. Dunia anak-anak di kota telah dikomodifikasi menjadi perilaku konsumsi dan gaya hidup baru yang tersentral dalam doktrin-doktrin kapitalis sehingga dunia kreatifitas anak-anak tergadaikan menjadi anak yang patuh dalam dominasi dunia konsumsi.
Ruang publik anak niscaya menjadi isu mendesak yang harus terintegrasi dengan pembangunan hunian rumah tinggal. Ruang publik anak adalah bagian dari upaya membentuk kecerdasan sosial anak-anak dan menumbuhkan kolektifitas sebaya. Karena melalui dunia kolektifitas ini, anak-anak mereproduksi kreatifitas dan imajinasinya secara mandiri dan berdaya. Sekaligus mengembalikan kearifan lokal dari nilai-nilai keindonesiaan yang hidup dalam kultur pertetanggaan. Hilangnya nilai-nilai sosial ini karena secara ekonomis, perilaku orang-orang terkondisi menjadi individualistik oleh karena konsep hunian yang membatasi hubungan-hubungan sosial.
Ketika ruang sosial dihilangkan oleh cara pembangunan hunian yang terindividualisasi, maka secara behavioristik, tata ruang tempat tinggal membawa pada perilaku yang mematikan nilai-nilai sosial penghuninya, termasuk didalamnya adalah dunia sosialisasi dan adaptasi anak-anak. Dan ketika ruang publik anak-anak tidak lagi tersedia, fungsi-fungsi natural anak telah hilang dan hak sosial anak terabaikan. Padahal ruang publik adalah laboratorium keseharian anak-anak untuk mengasah anak agar kompeten membina komunikasi sosial mereka. Mereka dilatih menggunakan bahasa-bahasa komunikatif atau bagaimana mereka menjalin pertemanan. Ketika menghadapi konflik dan ketegangan, anak-anak berlatih mengambil keputusan interpersonal. Untuk memenuhi kebutuhan bersama, mereka melatih diri bagaimana membangun kerjasama (cooperation). Dunia-dunia ini musti selalu ada dan hidup menjadi konsep pertetanggaan yang perlu diadvokasi, terutama dalam konsep-konsep pembangunan hunian rumah tinggal di kota-kota yang sedang berkembang secara liar.
Doktrin kapitalisme tidak boleh menggerus ruang publik anak. Atau kehidupan kota memang telah patuh pada doktrin-doktrin semacam ini yang nyatanya memiliki khazanah peradaban yang berbeda dengan desa ? Bagaimana dengan anda, atau kapanlah berdiskusi untuk melakukan advokasi terhadap penyediakan ruang publik bagi anak-anak di sekitar hunian-hunian rumah baru di pinggir-pinggir kota ? Sehingga bagian dari kebijakan publik pada hunian baru di kota adalah bahwa pengembang wajib menyediakan ruang publik untuk anak !
No comments:
Post a Comment