Sunday, September 26, 2010

Modernisasi Pasar Tradisional atau Apa ? (Part-1)

Jika anda memasuki pasar Dinoyo, tepat di atas pintu masuk terpajang sepanduk, “para pedagang menolak dibangun mall di pasar Dinoyo”. Titik tengkar ini juga tidak kuasa dimediasi oleh DPRD Kota Malang untuk menghentikan usaha mengubah pasar Dinoyo menjadi mall semi modern. Wali Kota juga lebih memihak hasrat investor untuk mengalihkan pasar Dinoyo menjadi mall semi modern. Syahdan, problem ini akan selalu menimpa nasib pasar tradisional di perkotaan.

Pasar tradisional di kota memang tidak sebanding nilai investasinya jika dibanding dengan pasar modern. Profit sharing antara investor dan pemerintah kota pada pasar modern akan menjanjikan devisa bagi pemerintah. Dalam skala perhitungan pertumbuhan ekonomi, kehadiran pasar modern seperti mall membawa peningkatan nilai tambah ekonomi secara riil bagi politik ekonomi lokal. Namun demikian, perpindahan itu telah menggerus aktifitas ekonomi masyarakat lokal.

Pasar tradisional muncul pada abad 10 yang dikenali melalui prasasti masa kerajaan Mpu Sindok, dengan istilah Pkan. Istilah ini bergeser menjadi pengucap jawa untuk menyebub pasar dengan peken. Pasar tradisional adalah jantungnya kegiatan ekonomi masyarakat yang melekat menjadi bagian aktifitas jual beli rakyat jelata.

Pasar tradisional adalah bentuk dari politik ekonomi kewarganegaraan (citizenship economy politic). Dalam konteks civil society, pasar tradisional adalah cara masyarakat merdeka dari sistem ekonomi kapital. Pemilik modal di pasar tradisional bersifat meluas dan terdistribusi secara horisontal. Pada pasar tradisional, unsur-unsur kuasa atas perputaran modal tidak bisa semena-mena dikapling oleh pihak-pihak tertentu.

Peruntungan pasar tradisional, jika dihitung dengan nalar investasi tidak sebanding dengan mall. Sehingga, kekuasaan politik setingkat Walikota, tidak bisa mengambil untung dari aktifitas pasar tradisional kecuali retribusi yang dihitung secara ekonomis begitu kecil dan tidak berdampak pada peningkatan devisa pemerintah daerah. Namun demikian, gerak pasar tradisional menyumbangkan kemerdekaan ekonomi rakyat dan keadilan akses atas aktifitas ekonomi warga. Kegiatan pasar tradisional mencerminkan hak-hak warga terakomodasi dan menjadi media pertumbuhan ekonomi yang merata. Pasar tradisional dengan demikian memberi efek ekonomi horisontal bersifat citizenship ketimbang kapitalistik.

Jadi pasar tradisional menjadi musuh kapitalisme. Hari ini, jejak-jejak permusuhan itu sudah berjalan dalam berbagai bentuk. Renovasi menuju pembentukan pasar modern merupakan babak baru perselingkuhan politik dengan kapitalisme yang menggerus sosialisme ekonomi pada pasar tradisional. Begitulah jejak kapitalisme dijangkarkan diantara titik tengkar warga.

DPR menjadi wakil rakyat yang bisu, karena di titik ini transaksi keuntungan dinegosiasikan. Peraturan daerah dimainkan karena di titik ini pula pelaku politik kuasa akan mengeruk untung dari renovasi dan investasi modern. Atau memang renovasi pasar tradisional bagian dari transaksi politik beberapa pihak yang telah disetir oleh pemilik modal yang mengincar pasar tradisional sebagai kompensasi politik pemilihan.

Pasar tradisional adalah bisnis politik kekuasaan. Renovasi adalah media untuk mengambil alih hak dan kuasa kapitalisme atas hak-hak warga yang mayoritas pedagang-pedagang kecil. Siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang akan dirugikan ? Menurut saya, yang diuntungkan secara instans adalah “orang-orang pemilik jasa yang berselingkuh bersama pemilik modal”. Yang jelas, pemilik modal sudah menghitung untung. Yang dirugikan adalah nasib pedagang-pedagang di pasar tradisional tersebut. Mereka jelas tidak bisa dipaksa dengan instans untuk menyesuaikan dengan metode ekonomi yang termodernisasi.

Jikalau yang diperlukan modernisasi pasar tradisional, tidak seharusnya renovasi pasar Dinoyo digeser menjadi pasar modern sejenis mall. Ketika modernisasi menggunakan paradigma mall, niscaya akan memunculkan friksi kebudayaan karena sistem kerja dan dinamika ekonomi pasar tradisional memiliki kualitas yang berbeda dengan sistem ekonomi yang berkembang pada pasar-pasar modern berbasis mall. Friksi ini akhirnya mengeras menjadi konflik antarwarga dengan pemerintah karena perspektif pengembangan pasar tradisional hanya didikte melalui paham kapitalisme.

Jika yang diperlukan adalah modernisasi pasar tradisional, maka yang dibutuhkan adalah reorganisasi dan pembaruan tata-kelola pasar tradisional yang mengedepankan partisipasi pelaku pasar tradisional secara maksimal. Dengan demikian modernisasi merupakan proses mendorong perubahan sosial ekonomi warga, memberdayakan mereka dan memberikan para pedagang pasar ini untuk menentukan transformasi modernisasi pasar berdasarkan kekuatan imajinasi dan menginternalisasi pembentukan kebudayaan pada setiap aktifitas perubahan pasar.

Pendekatan ini meniscayakan sebuah praktif kebudayaan dalam mengembangkan pasar tradisional di wilayah perkotaan menuju pergeseran paradigma tata-kelola pasar tradisional agar lebih maju, meningkatkan produktifitas, dan menjawab kebutuhan warga untuk ikut serta berpartisipasi dalam memajukan ekonomi bangsa.

Perspektif demikian dapat menggerakkan nalar investasi warga. Yang menjadi investor adalah warga. Pasar tradisional bukan “obyek jual/kaplingan” atas kompensasi perselingkungan politik ekonomi kekuasaan dengan konglomerat.

Modernisasi pasar, tidak berarti mall. Modernisasi adalah pergeseran dan perubahan perilaku karena ingin meningkatkan kualitas kehidupan. Jika pasar tradisional adalah bagian dari kehidupan ekonomi, maka perspektif kehidupan menjadi modus bagi pembangunan pasar tradisional. Suatu contoh, jika sanitasi pasar tradisional sudah buruk, secara kesehatan akan mengancam fungsi hidup ekosistem bumi dan manusia, maka di situlah yang diperbarui sanitasinya sembari memberikan penyadaran lingkungan kepada pedagang pasar. Jika kebersihan menjadi bagian dari proses kesehatan pasar, maka aspek pedagangnya yang dimodifikasi perilakunya untuk mampu menjadi kendali lingkungan sehat di pasar. Modernisasi dengan demikian tidak harus memindah pelaku, tetapi menstransformasi tata kelola dan kehidupan pasar agar meningkat kualitasnya.

Jangan mau dibohongi, langgananku....biar aku tetap bisa bersendagurau ketika aku berbelanja di kiosmu…atau kalau tidak sempat belanja, saya sms dulu…nanti siang saya ambil ya….

No comments: